Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Islam, misalnya, menurut Abdul Rachman, anggota Majelis Taklim Salamullah yang kini menjadi orang kedua setelah Lia Aminuddin, sejatinya agama yang perenialis. Islam mengakui dan menghormati kebenaran yang dikandung agama monoteis. Pendapat Abdul Rachman itu sejalan dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr, cendekiawan Iran, dalam buku Perennialisme, Melacak Jejak Filsafat Abadi (terbitan Tiara Wacana, Yogya, 1996).
Seyyed Hossein mengatakan, bagi Islam wahyu adalah penegasan terhadap ajaran tauhid, dan agama-agama lain dipandang sebagai repetisi ajaran keesaandalam berbagai tradisi dan bahasa yang berbeda. Menurut cendekiawan Komarudin Hidayat, Islam, seperti terlihat dalam Alquran, jelas mengabadikan, melestarikan, dan melanjutkan ajaran-ajaran agama sebelumnya. "Ini pula kenapa Islam tidak membedakan nabi-nabi sebelum Muhammad," kata Komaruddin.
Bagaimana pandangan Katolik terhadap perenialisme? Menurut cendekiawan Jesuit, Mudji Sutrisno, ajaran Katolik menghargai perenialisme sepanjang bukan kesesatan. Definisi sesat, menurut Mudji, jika kemudian pencarian yang dilakukan itu tidak lagi memberikan kebahagiaan kepada umat manusia. Perenialisme yang merupakan pencarian kebenaran akan diuji oleh tiga aspek: bonum (Kebaikan), ferum (Kebenaran), dan fulcrum (Keindahan). "Jika perenialisme sudah dapat diuji dan terbukti bahwa tiga aspek tadi terpenuhi, itu adalah perenialisme yang bersumber dari ajaran Tuhan," kata Mudji.
Dalam teologi Katolik, menurut Mudji, perenialisme biasanya diuji oleh pengalaman otentik si pencarinya. Ini biasanya banyak terjadi di kalangan kaum mistikus seperti Anthony de Mello S.J. Konsili Vatikan II, menurut Mudji, memandang perenialisme secara positif, jika memang itu berasal dari kerinduan dan pencarian terhadap Tuhan. Sebaliknya, ia akan dipandang negatif jika ia merupakan sempalan yang menyesatkan. Ada dua indikator perenialisme yang dianggap sesat, yaitu ketika ia memberhalakan diri sendiri dan ketika membuat isolasi yang eksklusif.
Perenialisme ternyata tidak begitu berkembang di kalangan penganut agama Kristen Protestan. Penyebabnya, menurut Th. Sumarthana, cendekiawan Kristen, karena Protestan sangat formalistik dan intelektualis. Meski bukan paham yang populer dalam Kristen, akar perenialisme dalam Kristen Protesten sebenarnya ada, yaitu eukomenisme, yang merupakan ajaran tentang kesatuan umat Kristen dan umat manusia secara keseluruhan. Eukomenisme ini muncul pada abad pertama. Kristen Ortodoks di Rusia cukup subur mengembangkan paham perenialisme, termasuk yang dianut oleh sastrawan besar Rusia, Leo Tolstoy. Selain itu, ada juga Kristen di India yang memiliki kecenderungan sufistik. Hal ini disebabkan masyarakat Kristen di India dihadapkan pada dua permasalahan, yakni pluralisme agama dan kemiskinan.
Pendek kata, perenialisme ada di semua agama. Ibarat walau Tuhan hanya satu, pintu untuk masuk ke kerajaan Tuhan banyak.
KMN, Agus Hidayat, R. Fajri (Yogya)
Satu Tuhan, Banyak Pintu
MARKAS Majelis Taklim Salamullah
di Jalan Mahoni, Jakarta, adalah
rumah yang megah bertingkat, ber-
sih dan tenang. Ruang dalam tam
pak artistik dengan beberapa lampion berhiaskan bunga kering menggelantung di langit-langit. Di dinding tembok putih tergantung sebuah lukisan kaligrafi. Di rumah itu, Sabtu siang dua pekan lalu, tampak bekas-bekas kesibukan yang tak biasa. Berkas-berkas selebaran berserakan di setiap jengkal lantai marmer. Sejumlah laki-laki dan perempuan dewasa berbusana serba putih yang menutup aurat tampak sedang memasukkan selebaran-selebaran ke dalam amplop. "Kami akan mengirimkan amplop-amplop itu ke lembaga-lembaga agama seluruh Indonesia," kata seorang pria setengah baya.
Kesibukan itu tak terelakkan sejak Lia Aminuddin, sang pemimpin majelis taklim, mendeklarasikan agama baru yang disebut Salamullah, Jumat dua pekan lalu. Acara yang berlangsung di markas Mahoni itu bersifat intern, sederhana, dan dihadiri puluhan anggota majelis taklim tersebut dan sejumlah penganut Kristen. Pers? "Kami tidak mengundang mereka," kata Dunuk Luxfiati, anggota majelis taklim. Sebagai gantinya, mereka mengirimkan beberapa selebaran ke berbagai media melalui pos. Majelis taklim itu menargetkan bisa mengirim 6.000 surat dalam setahun.
Isi selebaran antara lain seruan untuk bertobat dan pernyataan bahwa ajaran Salamullah mengakui kebenaran semua agama monoteis (menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa). Lia Aminuddin dalam selebarannya menyatakan bahwa akidah Salamullah adalah perenialisme sufistik. "Kami berbaiat kepada pemahaman penyatuan semua agama," kata Lia dalam selebaran itu.
Menurut kaum teolog, perenialisme adalah filsafat keabadian kebenaran yang dikandung agama-agama. Mengapa mereka menggunakan istilah asing? "Istilah perenialisme dipakai hanya untuk memudahkan kami menyebutnya," kata Abdul Rachman, juru bicara yang mewakili Lia Aminuddin yang sedang berpuasa bicara. Lalu, istilah sufistik dipakai untuk menunjukkan bahwa Salamullah lebih mengkritisi aspek maknawi (usuliyah) agama daripada aspek ibadah (fikih).
Deklarasi agama baru itu, menurut Abdul Rachman, merupakan otokritik terhadap praktek Islam di Indonesia. Di mata Salamullah, belakangan ini semakin banyak ulama yang menyekutukan Tuhan dan mengultuskan Nabi Muhammad. Contohnya, seperti yang ditulis Lia dalam selebaran, ada muktamar ulama yang memakai jin sebagai pasukan keamanan, juga ada tokoh yang berdoa di kuburan. Berbagai konflik sosial seperti yang terjadi di Maluku dan Mataram, menurut Lia, juga karena kesombongan pemuka agama yang menganggap keyakinannya paling benar.
Lalu, bagaimana dengan "agama" baru ini? "Salamullah sesungguhnya menegakkan kembali ajaran tauhid, yang menjadi rahmat bagi alam semesta," kata Lia. Dalam pergaulan sosial, jemaah Majelis Taklim Salamullah, yang kini berjumlah 80 orang, sering berdoa bersama umat Kristen dan menyanyikan lagu-lagu rohani bersama. Walau begitu, toleransi beragama itu tidak sampai mengarah ke sinkretisasi agama. "Kami tetap menjalankan syariat Islam," kata Lia. Secara teologis, mereka mengakui bahwa Isa, Musa, Ibrahim, dan lain-lain adalah nabi Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian jemaah Salamullah juga membaca Injil.
Menurut cendekiawan Islam dari Yayasan Paramadina, Komarudin Hidayat, secara umum saat ini manusia semakin sadar akan pluralisme agama sehingga terjadi dialog yang bisa menggali beberapa persamaan ataupun perbedaan. Adanya persamaan-persamaan inilah yang kemudian dapat melahirkan keyakinan bahwa ternyata ada kebenaran yang sifatnya universal. Karena itu, Komarudin menilai, Lia tidak bisa mengklaim bahwa perenialisme adalah paham miliknya dan milik jemaah Salamullah. "Dia hanya berpartisipasi dalam wacana perenial. Tapi, saya lihat titik tekan perenialisme Lia Aminuddin ingin lebih mempertemukan Islam dengan Kristen, sehingga menjadi perenial yang terbatas," kata Komarudin kepada Endah dari TEMPO.
Kalau kemudian ada beberapa penganut perenialisme yang dalam tataran ibadat melakukan percampuran, hal itu karena sifat perenialisme memang cenderung lintas agama dan melewati batas-batas ritual dan sakralisme. "Akan ada sebagian pihak yang mengatakan itu bid'ah. Tapi, ada juga yang akan mengatakan ada benarnya karena perenial menitikberatkan pada pencarian persamaan antara agama," kata Komarudin.
Lia Aminuddin memang sebuah fenomena. Wanita berusia di atas baya itu pernah menghebohkan sebagian publik karena pengakuannya bahwa ia telah memperoleh wahyu dari Malaikat Jibril, seperti yang tertuang dalam buku Perkenankan Aku Menjelaskan Takdir, pada 1998.
Lebih jauh, Lia Aminuddin menyatakan dirinya sebagai Imam Mahdi dan anaknya, Ahmad Mukti, sebagai Nabi Isa. Buku tersebut tampaknya untuk menangkis tudingan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, yang pernah mengeluarkan fatwa bahwa pengakuan Lia tersebut sesat dan menyesatkan, pada Desem-ber 1997.
Toh, Lia jalan terus dengan keyakinannya. Bahkan, salah satu selebaran pekan lalu adalah surat terbuka kepada MUI, berjudul "Peringatan Terakhir Jibril". Isinya protes karena lembaga ulama itu dinilainya tidak peduli terhadap kebenaran Salamullah.
Bagaimana reaksi MUI atas protes itu, juga terhadap deklarasi agama baru itu? Hingga kini, reaksi dari lembaga ulama itu belum terdengar. Tapi, ketika dimintai komentarnya, Ketua Komisi Fatwa MUI, K.H. Ibrahim Hosen, kepada Purwani Diyah Prabandari dari TEMPO mengatakan, "Dia itu aneh, mengaku bertemu dengan Malaikat Jibril. Jangan diladeni orang macam begitu. Anggap saja mereka orang sinting. Lagi pula, mengapa mau me-ladeni yang menyimpang dari ilmu Allah?"
Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo