Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A Tour of Duty: Changing Patterns of Military Politics in Indonesia in the 1990s | ||
Penulis | : | Douglas Kammen & Siddarth Chandra |
Penerbit | : | Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, 1999 |
Monograf ini adalah karya terakhir yang menulis tentang militer di Indonesia lewat suatu perspektif yang berbeda. Inilah penelitian yang melakukan penjelasan struktural dan institusional atas penempatan jabatan-jabatan dalam tubuh ABRI. Douglas Kammen adalah pengamat militer Indonesia generasi baru di bawah generasi Harold Crouch, Ben Anderson, atau Ulf Sundhaussen.
Kammen berargumentasi bahwa perubahan-perubahan pada rotasi jabatan dalam ABRI tidak didasari oleh sekadar faktor politik, atau klik kelompok dan manuver politik yang terjadi dalam dekade 1990. Tapi, penjelasan utamanya adalah perubahan struktural dan institusional yang terjadi dalam sekolah penggodokan calon perwira ini, yaitu Akabri (sebelumnya dikenal sebagai Akademi Militer NasionalAMN). Antara tahun 1964 dan 1975 terjadi inflasi lulusan AMN, dengan total lulusan rata-rata 359 orang per tahun. Sementara itu, dalam periode "normal" antara 1976 dan 1991, rata-rata lulusan pertahunnya 189 orang.
Menurut Kammen, ada banyak implikasi dari inflasi lulusan AMN tersebut. Implikasi pertama adalah jabatan dalam ABRI, ketika suatu angkatan dominan, tidak pernah lama dipegang karena harus membagi jatah kepada rekan-rekan lain yang juga menapaki karir yang sama. Akibatnya yang lebih lanjut, tak ada kesempatan dari perwira ini untuk mengenali suatu daerah atau posisinya dengan baik karena ia segera dipindah ke tempat lain atau posisi lain (alias tour of duty), dengan aneka alasan formalnya. Lebih serius dari itu, periode ketika jumlah lulusan perwira mengalami inflasi adalah periode sewaktu di berbagai wilayah Indonesia banyak terjadi pertikaian sosial. Karena kurang mengenal lapangan dengan baik, indikasi untuk terjadinya pertikaian sosial sering gagal mereka deteksi sebelumnya.
Dalam periode ketika jumlah perwira lulusan Akabri sudah lebih sedikit daripada masa sebelumnya, para perwira baru ini lebih mengakar dengan persoalan yang ada, dan karena itu mereka mampu menjadi perwira profesional karena mereka tak dipindahkan ke posisi lain secara terburu-buru. Generasi lulusan 1970-an ini cenderung menjabat posisi Panglima Korem dan Pangdam dalam usia yang lebih muda ketimbang generasi-generasi sebelumnya.
Penjelasan Kammen ini memberikan sumbangan penting atas pemahaman tentang reposisi peran militer Indonesia saat ini. Presiden Abdurrahman memang melakukan demiliterisasi yang cukup signifikan dengan meletakkan orang sipil sebagai Menteri Pertahanan, mencopot jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan mengajukan para pelanggar hak asasi manusia dari kalangan militer di Aceh dan Timor Timur. Sebelumnya, jumlah anggota DPR dari militer sudah dikurangi banyak.
Namun, banyak hal yang masih jadi pekerjaan rumah untuk dipikir dan dikerjakan di masa yang akan datang. Era inflasi para jenderal ini masih terasa dalam situasi nasional karena para perwira yang tak kebagian jabatan atau keburu pensiun cepat masih menempati posisi-posisi sipil di berbagai tempat, dari mengurusi perusahaan, menjadi gubernur, bupati, camat, sampai komisaris di berbagai perusahaan. Tanda-tanda demiliterisasi untuk sejumlah posisi di tingkat daerah dan juga dalam berbagai bisnis yang dikelola ABRI tampaknya masih belum jelas.
Pertanyaan soal penempatan militer ini menjadi lebih penting terutama ketika di masa yang akan datang, otonomi daerah akan ditetapkan secara konsisten: apakah akan memiliki peran yang dominan dalam politik lokal, atau akan kurang berperan karena adanya penolakan masyarakat yang makin keras atas peran ganda militer tersebut? Lalu, ke mana larinya para perwira yang menganggur ini?
Tetapi, yang terutama paling penting untuk pergeseran peran militer dalam politik adalah perubahan paradigma dan pemahaman posisi ABRI sendiri dalam melihat dirinya dan lingkungan sekitarnya, dan bagaimana ABRI menjadi lebih profesional sebagai penjaga wilayah teritorial ketika berhadapan dengan negara lain, ketimbang sebagai alat represi status quo, yang selama ini dijalankan lebih dari 40 tahun sejak zaman Demokrasi Terpimpin.
Ignatius Haryanto
Mahasiswa Pascasarjana , Universitas Nasional Singapura
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo