Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama saya Abdullah. Usia 29 tahun. Dua tahun terakhir saya bekerja di Jeddah sebagai sopir untuk sebuah keluarga Arab di distrik Al-Naim. Ini pertama kali saya pulang kampung ke Lumajang, Jawa Timur, untuk siap-siap menyambut Lebaran.
Kepada kawan-kawan pekerja migran lain saya juga mengaku bernama Su-prapto, Jusuf, atau Paiman. Jangan tanya mengapa saya punya banyak nama. Saya hanyalah seorang buruh yang sendirian di belantara manusia di bandar udara besar ini.
Semua orang punya nama—sesuatu yang diberikan orang tua untuk membedakan kami dari yang lain. Tapi apakah orang-orang di sini, maksud saya para petugas itu, peduli pada nama kami? Di mata mereka kami hanyalah sekumpulan sosok: statistik yang bergemuruh, membawa dencing gobang—riyal atau dolar—untuk kemudian diperas sehabis-habisnya. Terkadang yang tersisa hanya beberapa lembar uang lecek, sekadar oleh-oleh serta foto anak atau istri yang selama merantau kami pandangi untuk menahan kangen.
Di tempat ini nama menjadi nisbi. Kami dibedakan dari penumpang lain tidak dari nama melainkan dari cara kami berpakaian: norak atau wajar. Juga dari ekspresi: tenang atau gugup. Jika kami norak—bergincu tebal bagi yang perempuan, menggantung telepon genggam di leher—dan tampak cemas, para petugas akan menggiring kami ke barisan tenaga kerja Indonesia (TKI), sebuah kategori yang mengantarkan kami ke penderitaan tak berujung.
Jadi, masihkah nama menjadi penting dalam kisah ini?
Hari itu saya mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta ketika matahari siang melelehkan kepala. Jarum jam menunjukkan angka satu. Berarti telah 10 jam saya terkatung-katung dalam perjalanan udara dari Jeddah.
Di dekat saya berdiri Dini, perempuan lulusan SMA asal Yogyakarta yang sejak pertengahan 2001 menjadi pembantu rumah tangga di Taif, kota di barat daya Mekah. Kami berdiri menjelang antrean imigrasi yang panjangnya mencapai belasan meter. Di kerumunan itu Dini kelihatan waswas.
Dari kawan-kawan sesama sopir di Jeddah yang biasa mangkal di warung-warung makan Indonesia, sudah sangat sering saya mendengar peringatan ini. "Awas, hati-hati kalau masuk Cengkareng." Saya berusaha waspada, terutama kepada orang-orang berseragam di bandara.
Mendadak tiga petugas memanggil Dini dan beberapa perempuan di dekatnya. Segera mereka mendekat ke meja besar di sebelah kanan, sekitar sepuluh meter menjelang jalur antrean. Lima menit kemudian Dini kembali dengan air mata hampir tumpah. "Mereka memaksa saya menukar riyal," katanya.
Riyal Dini dan dua temannya ditukar dengan kurs Rp 2.000—lebih rendah Rp 200 dari nilai tukar yang beberapa jam lalu saya tanyakan kepada awak kabin Garuda. Saya menelan ludah.
Baru sepuluh meter selepas meja imigrasi, beberapa orang kembali memanggil-manggil para TKI agar menukar uang. "Harus tukar di sini!" kata seorang pria sambil menunjuk kantor sebuah bank pemerintah. Dua wanita lain mengucapkan hal yang sama tapi menunjuk tempat penukaran uang berbeda di sebelahnya.
Saya mencoba tak peduli. Tapi kantong saya tak lagi menyimpan rupiah. Padahal sebentar lagi saya pasti membutuhkannya. Terpaksa saya menerima penukaran dengan nilai Rp 100 di bawah angka resmi. Belum selesai menghitung kerugian, beberapa orang berseragam keamanan bandara sudah memanggil-manggil lagi. "Kamu TKI kan? Lewat sini," kata para petugas yang sebagian berseragam biru dan sebagian lainnya berseragam cokelat. Mereka menunjuk ke sebuah pintu menuju lorong yang diberi petunjuk "Jalur Khusus TKI".
Saya tak tahu naluri apa yang membuat mereka sangat fasih membedakan TKI dan bukan TKI dalam kerumunan yang riuh itu. Pernah ada teman sesama buruh yang memberikan nasihat. "Berlagak cuek saja dan langsung keluar lewat pintu di Terminal II," katanya. Tapi hari itu seorang laki-laki muda dengan setumpuk barang di troli tertangkap ba-sah karena mencoba trik ini. "Ini aturan!" kata seorang petugas sambil menghardiknya kembali ke jalur Terminal III—terminal khusus TKI. Pemuda itu beringsut ciut.
Saya tak ingin mengikuti nasib lelaki itu. Saya mencoba patuh: masuk lorong menuju tempat menunggu bus yang akan membawa kami ke terminal itu.
Pukul 13.40. Antrean menuju bus berjumlah lima baris dengan panjang lebih dari 20 meter. Hampir semua manusia yang menunggu di sana adalah perempuan. Termasuk saya, hanya ada sekitar 10 lelaki di tempat itu.
Saya mulai cemas membayangkan berapa lama harus menunggu sambil berdiri berdesakan di ruang setengah terbuka yang panas dan penuh asap knalpot itu. Rupanya pada jam yang sama ada pesawat dari Hong Kong baru mendarat dan membawa banyak TKI dari Hong Kong dan Taiwan. Mereka segera memperpanjang antrean kami.
Maria Maftuh, TKI setengah baya asal Cianjur, terlihat pucat dengan keringat membasahi jubahnya. Tak seperti saya, ia menumpang maskapai Timur Tengah dan transit di dua negara sehingga menempuh perjalanan 13 jam lebih. "Famili saya sudah menunggu di Terminal III sejak pukul 9 pagi," katanya. "Saya tidak tahu bagaimana memberi tahu mereka bahwa saya masih di sini."
Melihat Maria menimang-nimang telepon genggam, seorang petugas kebersihan mendatanginya. Petugas kebersihan? Ya, petugas kebersihan: saya mengenalinya dari seragam dan perlengkapan bersih-bersih yang ia bawa.
Dengan suara keras, lelaki muda berseragam oranye ini menawarkan segepok kartu perdana telepon seluler. "Di dalam harganya Rp 100 ribu, sama saya cuma Rp 75 ribu," katanya menawarkan kartu telepon yang di kemasannya jelas-jelas mencantumkan harga Rp 50 ribu. Saya tahu benar, di luar bandara kartu itu dengan gampang bisa didapat dengan harga Rp 35 ribu.
Tapi Maria tak peduli. Ia butuh menghubungi keluarganya yang sedang menunggu. Beberapa perempuan muda yang baru datang dari Taiwan juga membeli. Lalu mereka saling pamer telepon genggam. Nani, yang mengaku dari Lampung, menggantungkan ponsel Sony-Ericsson di leher.
Seperti kebanyakan mereka yang datang dari Hong Kong dan Taiwan, Nani mengenakan pakaian ketat dan dengan bagian terbuka di sana-sini. Penampilannya sangat berbeda dengan pekerja yang datang dari Timur Tengah yang menutup rapat tubuh dengan jilbab dan jubah.
Dua jam berlalu sejak saya mendarat, ketika akhirnya saya berada di urutan antrean itu. Jam makan siang sudah lewat dan perut saya mulai menggerutu. Tiba-tiba seorang ibu di depan saya menjerit. "Aduh, jangan dibanting begitu," teriaknya kepada enam kuli yang menaikkan barang-barang ke atas bus yang di lambungnya tertulis nama koperasi milik sebuah yayasan TNI. Bus-bus bergaris biru langit itu hanya berkapasitas 25 penumpang. Di bagian belakang kabin tertumpuk puluhan koper milik para buruh.
Tak lama kembali terdengar keluhan ibu tadi. "Hancur, deh, semua piring hias hadiah majikanku." Di depannya petugas angkut tak peduli. "Ngasih cuma lima ribu saja minta dilayani," kata seorang kuli setengah berteriak. Ia kembali membanting sebuah koper hitam.
Di dalam bus, ketika semua penumpang sudah duduk, kuli yang lain berpidato. "Kami tidak memaksa, tapi mohon pengertiannya," katanya tentang ongkos menaikkan koper. Lalu dari depan ke belakang ia menagih uang ke setiap penumpang. Ketika para penumpang menyodorkan pecahan Rp 20 ribu atau lima riyal, ia tersenyum. Jumlah itu ia sebut sebagai "pengertian yang wajar".
Hampir pukul setengah empat, kami sampai di Terminal III. Seorang polisi perempuan berpangkat brigadir satu segera naik memberikan wejangan. Intinya, di luar bus keadaan sangat tidak aman. Ada banyak penjahat yang mungkin mengincar harta bawaan para TKI. Karena itu semua harus hati-hati, termasuk menyimpan rapat-rapat semua barang berharga.
Nani, yang duduk si sebelah saya, tampak kurang senang ketika diminta menyimpan telepon genggam kebanggaannya. Begitu juga Maria Maftuh, yang disuruh mencopoti enam cincin emas di jemari tangannya. Saya heran: Maria bercerita pada 2001 ia pernah diperas Rp 7 juta oleh sindikat yang bekerja sama dengan para awak angkutan yang mengantarnya dari Terminal III. Tapi hari ini ia kembali memamerkan cincin emasnya.
Semua wajah sudah kuyu ketika kami diminta lagi mengantre untuk didata di meja petugas Departemen Tenaga Kerja. Di loket itu paling rendah Rp 5.000 duit TKI diporot. Ini harga resmi. Ketika seorang TKI yang tak punya pecahan itu mengeluarkan 20 ribuan, ia hanya menerima kembalian setengahnya. "Pelit amat sih," kata si petugas ketika hendak dimintai sisa uang.
Sekali lagi saya melihat Dini hampir menangis. Katanya keluarganya dari Kulon Progo sudah tiba di bandara Yogyakarta sejak pagi. Menjelang sore ia belum tahu pasti kapan akan bisa keluar dari Terminal III.
Bangunan terminal ini adalah sebuah hanggar hampir seluas lapangan bola yang pada 1996 pernah dipakai pameran dirgantara. Awalnya terminal itu dioperasikan untuk memudahkan administrasi TKI. Nyatanya, belakangan ia jadi sarang pemerasan.
Hanya ada satu pintu masuk dan satu pintu keluar, masing-masing di ujung yang berlawanan. Ada belasan bagian ruang, mulai dari kantor polisi, loket pendataan, loket angkutan yang menjual tiket berharga selangit, sejumlah kantor dan warung penjual oleh-oleh. Jangan harap para TKI bisa duduk di tempat ini karena memang tak tersedia kursi.
Di meja pendataan semua TKI ditanyai ini dan itu. Berjam-jam. Berpeluh-peluh. Empat jam berlalu semenjak saya menjejakkan kaki di Jakarta. Perut yang keroncongan makin berteriak-teriak. Panas semakin menekan.
Selepas dari meja pendataan, neraka itu belum juga mau berakhir. Di dekat pintu keluar seorang petugas kembali memaksa menawarkan jasa angkut barang. Setelah itu ia menyentak, "Memangnya gratis nurunin barang segitu banyak?" katanya sambil menyodorkan telapak tangan yang terbuka. Saya mencoba bersabar. Yang ada di pikiran hanya cepat berlalu dari keletihan itu.
Sambil menyeret koper, saya melihat pintu keluar di depan seperti oase di padang gersang. Tinggal beberapa langkah lagi. Tapi seorang anggota TNI Angkatan Udara berpangkat sersan kepala dan dua karyawan Induk Koperasi Polisi berdiri di tengah pintu menahan laju langkah. Mereka meminta saya keluar melalui pintu penjemputan dan membeli tiket angkutan. Para buruh migran tak diberi kesempatan memilih sendiri kendaraan untuk pulang. Saya tahu ini adalah pemerasan yang lain: harga tiket bisa dilambungkan hingga berkali-kali lipat.
Darah saya mendidih. Saya tak tahan lagi. "Saya wartawan yang baru pulang liputan dari Jeddah!" kata saya menjerit. Ketiganya mendadak ramah. "Silakan jalan," kata mereka.
AZ/Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo