Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencari Kantor untuk Mega

Mega Center gagal mengantarkan pasangan Mega-Hasyim ke Istana Merdeka. Lembaga apa yang akan dibentuk Megawati?

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TETAMU itu mengalir ke ruang tengah di rumah Jalan Teuku Umar 33, Jakarta Pusat. Mereka datang dari berbagai pelosok dan duduk berbaur. Ada yang tertawa-tawa, ada yang sekadar mengobrol. Ngabuburit di ruangan besar pada hari puasa yang kedua belas, 27 Oktober silam, tampak meriah.

Sudah lama rumah mentereng itu sepi. Biasanya hanya petugas pasukan pengamanan presiden yang terlihat berjaga di sekitar rumah itu. Bandingkan dengan tujuh bulan silam, saat Mega Center, yang bermarkas di rumah itu, diresmikan. Ratusan bahkan ribuan orang datang dan pergi. "Dulu, setiap hari sekitar 500 sampai 1.000 orang datang ke Mega Center," kata Daryatmo Mardiyanto, Kepala Sekretariat Mega Center. Yang datang beragam, dari politisi, pengusaha, sampai pengamen. Ada yang memberi dukungan, ada juga yang sekadar mampir untuk makan dan minum gratis.

Didirikan 6 April 2004 sehari setelah pemilu legislatif, Mega Center jadi sumber harapan Megawati Soekarnoputri untuk menaikkan pamornya dalam pemilu presiden. Ide pendirian ini muncul setelah menyaksikan kecenderungan turunnya suara PDIP dalam pemilu legislatif. Terutama setelah "mesin partai" dianggap tak cukup mampu menyokong pencalonan Mega.

Orang yang diajak bergabung ke Mega Center tak semuanya "kader banteng". Ini dimaksudkan agar bisa menyedot simpati di luar pemilih PDIP. "Strukturnya sangat longgar, tidak kaku, dan tak ada ketua. Jadi, semua orang menyangga beban yang sama," kata Daryatmo. "Intinya, semua kelompok dibangun untuk membangun citra Mega dan memperluas jaringan."

Daryatmo, mantan Sekretaris Fraksi Golkar, ini diajak Taufiq Kiemas, suami Megawati, bergabung ke Mega Center. Daryatmo waktu itu yakin, Mega akan memenangi pemilu presiden. Namun, ketika Mega-Hasyim ternyata kalah, ia tak meninggalkan Mega Center. Cuma, rumah itu sekonyong-konyong senyap. Apalagi setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan secara resmi kemenangan SBY-Kalla, nyaris tak ada orang yang datang ke Mega Center. Aktivitas pun berhenti total.

Hingga tibalah Rabu dua pekan lalu itu, ketika rumah itu kembali ramai. Sang empunya rumah, Megawati, muncul bersama Taufiq Kiemas. "Apa kabar semuanya?" Megawati menyapa. Ketua Umum PDI Perjuangan itu lantas ikut berbaur duduk lesehan. Puan Maharani, putri Mega, menyusul kemudian. Suasana tiba-tiba senyap. Sekitar seratusan orang yang hadir terdiam. Mega membuka pertemuan itu dengan mengatakan: "Saya menyatakan Mega Center sebagai tim sukses telah selesai."

Buka puasa pun dimulai dengan topik percakapan bagaimana perjuangan Mega ke depan. Mereka yang hadir diminta urun rembuk. "Kalau kita mau menang lagi tahun 2009, sebaiknya Mbak Mega tetap sering turun ke bawah. Sering menyapa rakyat. Ibaratnya, kalau ada iring-iringan orang meninggal, Mbak Mega juga harus turun untuk melayat. Siapa pun orangnya," kata salah satu peserta dari Jawa Tengah.

Nasib Mega Center pun dipersoalkan. Salah satu orang dekat Mega menuturkan, ada rencana Mega Center akan diubah menjadi sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang kemanusiaan, pendidikan, sosial, dan budaya. Terutama bagaimana upaya memberdayakan masyarakat. Namun, konsep itu, menurut Wakil Sekjen PDIP Pramono Anung, belum jelas betul. "Pola dan bentuk kontribusinya seperti apa, itu yang kini mulai dibahas," kata Pramono.

Memang, sejumlah wacana mengenai kelembagaan sempat terlontar. Misalnya, Mega akan mengikuti jejak James "Jimmy" Earl Carter, mantan Presiden Amerika Serikat ke-39, yang mendirikan Carter Center. Seperti diketahui, meski telah lengser, Carter masih aktif mengikuti perkembangan dunia lewat Carter Center, yang bermarkas di Atlanta. Ia kerap memantau proses pemilu dan proses demokrasi di negara berkembang. Paling tidak, lembaga independen nirlaba yang didirikan Carter itu telah tercatat dan berhasil melakukan tugasnya di Honduras, Filipina, dan Nigeria. Carter, penerima Nobel Perdamaian 2002 di Oslo, Norwegia, ini juga sempat memantau dua kali pemilu di Indonesia. Hingga saat ini, Carter dan lembaganya telah memantau sekitar 47 kegiatan pemilu di 24 negara di dunia.

Selain Carter, masih ada lagi yang bisa ditiru, yakni Nelson Mandela. Mantan Presiden Afrika Selatan itu kini aktif di berbagai kegiatan sosial. Usai melepas jabatannya pada 1999, Mandela lebih suka mengabdikan dirinya di Nelson Mandela Foundation (NMF), Johannesburg, sebuah lembaga sosial yang peduli pada masalah HIV/AIDS. Lembaga ini juga membuka klinik pengobatan di Lusikisiki, Eastern Cape, serta membangun 140 sekolah di seluruh pelosok Afrika Selatan.

Nah, mana yang pas ditiru Megawati setelah gagal menjadi presiden untuk masa jabatan yang kedua? Inilah pekerjaan rumah yang berat bagi orang-orang di sekitarnya. Yang jelas, Megawati harus dibuatkan "kantor", entah apa namanya dan ke mana arahnya.

Widiarsi Agustina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus