Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan, pembukaan modeling Budidaya Ikan Nila Salin (BINS) seluas 80 hektare di Karawang, Jawa Barat, karena adanya permintaan pasar yang sangat besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eks Gubernur DKI Jakarta ini mencatat, selama tahun 2024, keuntungan dari komoditas perikanan mencapai sekitar Rp 230 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini harus kita manfaatkan tapi juga jangan langsung membuat yang gede. Saya setuju bahwa dibuat model dulu, ada modellingnya dulu," kata Jokowi saat meresmikan modeling BINS seluas di Karawang, Jawa Barat, Rabu, 8 Mei 2024.
Kepala negara juga mengatakan pembukaan modeling BINS ini diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan.
Bisikin ke pemerintah baru
Lahan tambak ikan nila ini awalnya merupakan tambak udang yang dibangun oleh Presiden Soeharto sejak 1984 dengan nama Proyek Pandu Tambak Inti Rakyat dan berhenti pada 1998.
Lahan tambak udang itu menjadi aset negara tanpa fungsi selama puluhan tahun. Tambak udang di Pantai Utara Jawa (Pantura) yang telah lama kosong ada sekitar 78 ribu hektare. Jokowi pun meminta hal ini ditinjau ulang dengan kalkulasi Rp 13 triliun untuk kembali mengaktifkannya.
"Kalau sangat visible akan saya siapkan di APBN 2025, 2026, dan saya akan bisikin pada pemerintah baru, pada presiden terpilih agar mimpi besar ini betul-betul bisa direalisasikan," kata Jokowi.
Target KKP
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menargetkan Modeling BINS yang berada di Kawarang, Jawa Barat, ini dapat menghasilkan 10 ribu ton ikan per tahun.
"Harapannya produksinya 1 tahun 10 ribu ton, karena satu siklus itu kan delapan bulan sehingga 1 tahun kira-kira 10 ribu ton," ujar Trenggono usai peresmian Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang, Jawa Barat, Rabu, 8 Mei 2024.
Trenggono menyebut, khusus budidaya ikan nila salin di Karawang, diharapkan beratnya kurang lebih hanya 1 kilogram.
Penuhi kebutuhan pasar lokal
Menurut Trenggono, hal ini bertujuan agar bisa diproduksi untuk fillet atau daging tanpa tulang dan sisik. Produksi dari ikan nila salin Karawang, 90 persen untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, di mana saat ini mencapai 1,3 juta ton per tahun.
Lebih lanjut, Trenggono mengatakan, pasar ikan nila di Indonesia cukup besar, bahkan untuk budidaya di Karawang sudah memiliki offtaker atau pembeli hasil panen.
Oleh karenanya, pemanfaatan lahan tambak di sepanjang Pantai Utara Jawa harus terus ditambah, di mana total tambak yang bisa digunakan seluas 78 ribu hektare.
Potensi tambak seluas 78 ribu hektare
Trenggono mengatakan, Indonesia memiliki potensi lahan tambak seluas 78 ribu hektare di sepanjang wilayah Pantai Utara Jawa (Pantura) yang bisa dimanfaatkan untuk BINS.
Trenggono menyampaikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melakukan revitalisasi tambak udang windu menjadi modeling BINS seluas 80 hektare di kawasan Karawang, Jawa Barat, yang risetnya telah dilakukan sejak 2021.
"Mudah-mudahan kita punya potensi 78 ribu hektare di Pantura, untuk kemudian apabila dikerjakan maka kita akan mampu memproduksi (ikan nila salin) kurang lebih sekitar 4 juta ton satu siklus," ujar Trenggono.
Potensi pasar global ikan nila
Berdasarkan data KKP, potensi pasar global ikan nila untuk 2024 sebesar 14,46 miliar dolar AS, sedangkan proyeksi untuk 2034 bisa mencapai 23,02 miliar dolar AS.
Pada 2023, beberapa negara tujuan ekspor ikan nila terbesar antara lain Amerika Serikat sebesar 849 juta dolar AS, Meksiko 152 juta dolar AS, Uni Eropa 130 juta dolar AS, Timur Tengah 128 juta dolar AS dan Pantai Gading 73 juta dolar AS.
Lebih lanjut, Trenggono mengatakan, Pemerintah menargetkan untuk memiliki satu komoditas unggulan untuk dikembangkan pada tambak-tambak tak terpakai di wilayah Pantura.
Tahan berbagai penyakit
Ikan nila salin pun dinilai sangat cocok karena tahan dari berbagai macam penyakit hewan.
"Kita targetkan supaya punya satu komoditi, satu yang jumlahnya signifikan dan valuable, yang paling penting nilainya cukup. Jadi jangan industrinya kecil-kecil, begitu ada permintaan tinggi, enggak standar (kualitas berbeda), itu yang terjadi di kita, kita minta ubah mindset-nya," kata Trenggono.
DANIEL A. FAJRI | ANTARA