Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sekadar melongok kabinet

Kaum politikus dan birokrat berharap-harap cemas kejatuhan "wahyu" menjadi menteri. ada beberapa ide begaimana dpr bisa meningkatkan pengawasan, termasuk para menteri yang menjadi mitra kerjanya. mampukah dpr mengontrol?

20 Maret 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-hari ini pasti banyak pejabat pemerintah, pengusaha, politikus Golkar, atau mantan menteri betah tinggal di rumah. Barangkali, orang-orang penting itu tak akan jauh beranjak dari pesawat telepon. Harap maklum, Soeharto, yang sudah dilantik untuk keenam kalinya sebagai presiden Kamis lalu, tentu segera akan menunjuk siapa saja yang akan menjadi pembantunya. Menurut Presiden Soeharto, Kabinet Pembangunan VI akan diumumkan sebelum Lebaran, 25 Maret mendatang. Kebiasaan Pak Harto dalam menyusun kabinet selama ini, para calon menteri itu akan ditelepon ajudannya. Isi telepon, mereka yang kejatuhan ''wahyu'' atau beruntung menjadi menteri diminta menghadap Presiden di kediaman Jalan Cendana, kantornya di Bina Graha, peternakan Tri S di Tapos, Bogor, atau tempat lain yang ditentukan oleh sang ajudan. Atau, karena ini bulan puasa, bisa saja Pak Harto mengundang salat tarawih, dan setelah rakaat akhir sang calon menteri akan diberi tahu sesuatu. Banyak cara bisa dilakukan. Maka, kalau Anda diundang kepala negara dalam waktu dekat ini, apa pun acaranya, bersiaplah untuk menerima ''tugas''. Kalau toh sampai akhir acara belum juga ada ''tandatanda'', ba rangkali itu karena Anda memang benar-benar diundang untuk acara tadi, bukan untuk mendapat jabatan bergengsi sebagai menteri. Harap maklum. Seorang menteri kabinet periode yang baru lalu berseloroh: ''Kalau Anda mau tahu siapa yang berambisi jadi menteri nanti, telepon lima atau enam orang untuk datang ke suatu tempat, dan lihat siapa yang benar-benar datang.'' Dia lalu menyebut beberapa nama yang dianggapnya punya ambisi atau sungguh ''ngebet'' jadi menteri. Pak menteri yang gemar guyon ini tampaknya tahu benar bahwa kans dia ''dipakai'' lagi menjadi pembantu Pak Harto sungguh kecil. Toh di antara koleganya banyak yang ingin terpakai lagi dalam kabinet mendatang, apalagi ini masa-masa penting menjelang lepas landas. Tambahan pula, gaji pokok menteri baru saja dinaikkan menjadi Rp 2,5 juta. Kalau plus segala macam tunjangan jabatan, angkanya konon mencapai Rp 8,5 juta lebih. Dan ini belum termasuk ''penghasilan'' yang lain. Sejauh ini, di antara para menteri Kabinet Pembangunan V, yang yakin akan tetap menjadi pembantu Pak Harto dalam kabinet mendatang adalah Menteri B.J. Habibie. Dalam sebuah wawancara dengan harian Media Indonesia, Habibie menyatakan keyakinannya bahwa dirinya masih akan dipercaya Presiden Soeharto untuk memimpin jajaran riset dan teknologi. Dan tentu Pak Harto punya penilaian tersendiri untuk Habibie, yang sering menunjukkan dirinya sangat dekat dengan Kepala Negara itu. Evaluasi atas hasil kerja para menteri Kabinet Pembangunan V memang sepenuhnya berada di tangan Presiden. Pasal 17 ayat 2 UUD 45 juga menyebutkan bahwa ''menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden''. Inilah salah satu konsekuensi dari sistem kabinet presidensiil yang dianut saat ini. Sri Soemantri, guru besar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Bandung dan rektor Universitas 17 Agustus Jakarta, menjelaskan bahwa secara teoretis presiden bisa memberhentikan menteri. Tapi, katanya, hal ini tak pernah dilakukan di sini. Biasanya, menteri yang dinilai salah atau kurang berhasil tak diangkat lagi dalam kabinet masa berikutnya. Soemantri melihat DPR juga mempunyai fungsi pengawasan. Para wakil rakyat bisa menilai apakah para menteri sudah bekerja baik dengan tolok ukur GBHN yang kemudian dijabarkan dalam Repelita dan APBN. Ini butuh perhatian penuh. ''Anggota DPR tak bisa kerja ''sambilan'', asal jalan saja. Persoalannya, sampai seberapa jauh DPR bisa memberikan memorandum ke presiden,'' kata pakar hukum tata negara ini. Memorandum yang dimaksudnya adalah masukan kepada mandataris MPR atas suatu hal yang dinilai melenceng dari GBHN. Dia memberi contoh soal kenaikan harga listrik dan tarif tol. ''DPR bisa menilai, apakah kenaikan harga itu tak menyalahi apa yang digariskan GBHN. Beranikah anggota DPR memberikan bobot persoalan ini hingga bisa dibuatkan memorandum?'' tanya Soemantri. Tugas pengawasan DPR ini tentu berpulang kepada kejelian para wakil rakyat terhadap hasil kerja menteri-menteri tadi. Yang selama ini banyak dipersoalkan, kata Soemantri, adalah soal keperluan untuk menciptakan mekanisme kerja antara DPR dan presiden. ''Misalnya kalau pemerintah ingin menaikkan harga, apakah perlu diketahui DPR? Menurut saya, mekanisme persetujuan ini perlu diciptakan,'' ujar Soemantri lebih lanjut. Sri Bintang Pamungkas lebih tegas menginginkan DPR sebagai lembaga pengawasan atas kerja menteri, selain pengawasan oleh presiden. ''DPR punya hak untuk itu. Pemerintah harus mendengarkan suara DPR, termasuk mengawasi kerja para men terinya,'' kata Bintang, anggota DPR, ''bintang''nya Partai Persatuan. Hak yang dimaksud Bintang itu diatur dalam Tap MPR III tahun 1978, bahwa DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan GBHN oleh eksekutif. Masalahnya, ujar anggota dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini, dominasi pemerintah masih terlalu kuat. Contoh terjelas adalah soal penyusunan RAPBN. ''Dalam pembahasan RAPBN seharusnya yang datang adalah para menteri yang bisa ditanya ini dan itu. Di situ dimungkinkan adanya evaluasi terha dap menteri,'' kata Bintang lagi. Dalam forum hearing pun, DPR dinilainya tercecer. ''Sebenarnya forum hearing itu kontrol terhadap menteri. Tapi nyatanya DPR tak berdaya, dari komisi satu hingga komisi sepuluh,'' katanya bersemangat. Pasalnya, kata doktor lulusan Iowa State University ini, ''Ada keengganan pemerintah untuk melengkapi DPR dengan staf ahli sehingga DPR tak pernah mampu menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang. Sepanjang Orde Baru ini, DPR memang belum pernah memakai hak inisiatif, hak bujet, apalagi hak amandemennya. Bahkan para anggota DPR sendiri, menurut pengumpulan pendapat TEMPO di kalangan mereka, kurang setuju mempunyai hak yang lebih ''bergengsi'', yakni memberikan konsultasi kepada presiden dalam menyusun kabinetnya. Dan gagasan ini pernah dilontarkan oleh Kharis Suhud ketika menjadi ketua DPR/MPR periode 1987-1992. Apa kata para anggota DPR? Ternyata hampir 60% anggota dewan yang menjadi responden itu tak setuju. Hanya 25% yang menganggap konsultasi seperti ide Kharis Suhud itu diperlukan. Forum hearing yang merupakan satusatunya kesempatan mengevaluasi menteri itu pun, menurut Sri Bintang, sangat dibatasi tata tertib DPR. ''Misalnya, kalau DPR ingin memanggil menteri untuk kasus tertentu, itu harus disesuaikan dulu dengan agenda yang telah dijadwalkan sebelumnya. Jadi, kalau saya melihat ada gejala tak benar di departemen dan ingin memanggil menterinya, saya harus menyurati pimpinan DPR. Kalau pimpinan tak peduli, ya, sudah,'' katanya keras. Dia mencontohkan kasus pencopotan bekas direktur utama PT Telkom Cacuk Sudarijanto. ''Untuk bicara soal itu, DPR harus menunggu agenda. Akibatnya, sulit untuk tatap muka. Padahal urusannya lagi hangat dan kritikal,'' ucap Sri Bintang. Seharusnya, usulnya, bisa saja komisi yang berhubungan kerja dengan Departemen Pa riwisata, Pos, dan Telekomunikasi memanggil menterinya untuk bersidang. Contoh lain yang disebutnya adalah soal perumahan Pantai Indah Kapuk, yang dinilai pakar lingkungan merusak hutan bakau di kawasan pantai itu. ''Mestinya cukup pimpinan komisi memberi memo kepada Emil Salim (Menteri Negara KLH) dan Ciputra (pengusaha yang membangun Pantai Indah Kapuk),'' katanya. Soal kepada siapa menteri harus bertanggung jawab, ini pernah juga dibahas Adnan Buyung Nasution. Pengacara beken yang baru saja memperoleh gelar doktor dari Universitas Utrecht, Belanda, dengan disertasi tentang konstituante ini berpendapat bahwa menteri seharusnya juga bertanggung jawab kepada DPR. ''Jadi, mereka itu tak cuma berlindung di balik ketiak presiden,'' kata Buyung Nasution kepada TEMPO beberapa waktu lalu. Guruh Sukarno Putra mengemukakan bahwa konsekuensi Dekrit Presiden 1959 adalah kembali ke UUD 45 dan sistem kabinet presidensiil. ''Karena itu, secara konstitusional, menteri memang hanya bertanggung jawab kepada presiden,'' kata anak bungsu presiden Indonesia pertama itu. Dan evaluasi yang langsung itu, ujar Guruh, adalah presiden sendiri. Guruh menilai, proses yang belum jalan adalah hubungan antara eksekutif dan legislatif. ''Seharusnya legislatif punya pengaruh dan kekuatan yang cukup besar sehingga bisa mengontrol ekse kutif,'' ujar Guruh. Sri Soemantri berpendapat, penilaian terbuka masyarakat terhadap menteri dimungkinkan sejalan dengan perkembangan demokrasi. ''Untuk bisa menilai dan mengevaluasi seperti itu, kita harus mempunyai clean government. Keterbukaan adalah hal yang mutlak,'' kata Soemantri. Evaluasi secara tak langsung, katanya, juga sudah dilakukan masyarakat. Lewat pers, LSM, Kotak Pos 5000 yang menampung keluhan masyarakat atas segala hal tentang birokrasi atau penyelewengan oleh aparat pemerintah. Kalau saja DPR masih seperti yang dikritikkan Sri Bintang itu, bisa jadi saluran di luar DPR yang akan lebih ''lantang'' terdengar. Toriq Hadad, Wahyu Muryadi, Bambang Sujatmoko, dan Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus