''SASARAN pelayanan kesehatan adalah masyarakat luas,'' kata Adhyatma ketika diangkat menjadi Menteri Kesehatan lima tahun lalu. Dalam menjalankan tugas, selama masa jabatannya sebagai menteri Kabinet Pembangunan V, ia tampaknya konsekuen. Langkahnya yang besar dalam melaksanakan pernyataannya itu adalah memerangi harga obat. Tingginya harga obat adalah masalah laten yang sulit diselesaikan karena melibatkan masalah perdagangan dan industri. Programnya ternyata berhasil menurunkan harga obat 1015%. Khususnya harga obat esensial (obat yang diperlukan rakyat banyak). Setahun duduk di kursi menteri, Adhyatma memasyarakatkan pemakaian obat generik. Ia mewajibkan semua fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah menggunakan obat ini. Tujuannya, kembali memerangi harga obat yang tinggi. Obat generik adalah obat asli tanpa variasi. Karena itu harganya murah. Khasiatnya? ''Sama saja dengan obat bermerek. Saya jamin itu,'' kata menteri yang ter kenal jujur itu. Masih dalam rangka menyehatkan penggunaan obat, Adhyatma menarik 285 merek obat yang khasiatnya diragukan. Ia mempertahankan sikapnya walau perusahaan-perusahaan farmasi berteriak. Sayangnya, banyak gagasan Adhyatma yang cemerlang mengalami hamba tan dalam pelaksanaannya. Penarikan obat, misalnya, tak terdengar lagi kelanjutannya. Suplai dan perluasan penggunaan obat generik juga semakin tersendat. Beberapa sumber berpendapat, tersendatnya berbagai program itu karena Adhyatma kurang tegas terhadap bawahannya. Namun pendapat lain percaya bahwa kemacetan itu terjadi karena aparat pemerintah di Departemen Kesehatan tak mampu menyerap gagasan-gagasan menterinya. Barangkali karena keadaan semacam itu, Adhyatma tidak hanya mengandalkan aparat pemerintah. Ia berusaha memobilisasi sektor swasta untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat. Pada tahun pertama masa jabatannya, ia segera menyederhanakan prosedur pemberian izin praktek dokter. Para dokter tidak lagi memerlukan rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk meminta izin praktek ke Departemen Kesehatan. Di samping itu, izin praktek yang semula berlaku setahun diubah menjadi tanpa batas waktu. Ketua IDI Dokter Kartono Mohamad membenarkan, Adhyatma banyak menyertakan sektor nonpemerintah dalam menjalankan program kesehatan. ''Hubungan antara IDI dan Departemen Kesehatan juga semakin akrab,'' katanya. Langkahnya yang berani, mengizinkan dokter lulusan baru untuk langsung terjun ke swasta. Setelah menjalankan kewajiban berpraktek di daerah, dokter boleh memilih, menjadi pegawai negeri atau masuk ke swasta. Rumah sakit swasta juga diperbolehkan merekrut dokter spesialis. ''Karena peranan rumah sakit swasta sangat penting,'' katanya. Kecenderungannya mengutamakan masyarakat terlihat pada sikapnya menghadapi wabah AIDS. Ia berani membuka masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan seks ini, untuk mencegah penyebarannya. Ia mengumumkan jumlah penderita AIDS ketika pemerintah negara lain di Asia masih menutup-nutupi angka itu. Sebelum masa jabatannya berakhir, menteri yang dikenal bersih dan sederhana ini mengegolkan Undang-Undang Kesehatan. ''Undang-undang ini mempunyai arti penting bagi pengaturan kesehatan nasional,'' katanya. Bapak tiga putra ini memang orang lapangan dalam bidang kesehatan masyarakat. Karena itu, bukan kebetulan bila programnya tercermin dalam kemajuan tingkat kesehatan masyarakat. Selama masa jabatan nya, angka kematian bayi menurun 3,4% . Angka harapan hidup naik dari rata-rata 52,2 tahun pada 1980, menjadi 61,5 tahun pada tahun 1990. Universitas Berkeley, Amerika Serikat, tempat ia menyelesaikan studinya di bidang kesehatan masyarakat, memberinya pengharagaan sebagai alumni yang berhasil. Adhyatma dinilai mampu membuat terobosan, menghadapi masalah kesehatan yang rumit di Indonesia. Gatot Triyanto dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini