Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritik rencana Presiden Prabowo Subianto yang ingin mendirikan berbagai jenis sekolah baru, termasuk sekolah rakyat dan sekolah unggulan garuda. P2G menilai kebijakan tersebut berpotensi melanggar konstitusi karena menyimpang dari mandat Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan untuk membentuk satu sistem pendidikan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pilihan editor: Pemerintah Abai Melindungi Pers dari Serangan Siber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Ini jelas bertentangan dengan Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan bahwa pemerintah harus menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Bukan malah memperbanyak sistem dengan kementerian yang masing-masing bikin sekolah sendiri," ujar Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri kepada Tempo pada Jumat, 11 April 2025.
Menurut Iman, saat ini saja sistem pendidikan di Indonesia sudah terlalu kompleks. Selain sekolah umum yang dikelola Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), ada madrasah di bawah Kementerian Agama, sekolah unggulan garuda yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek), dan kini akan ditambah sekolah rakyat di bawah Kementerian Sosial
“Kita sedang menyaksikan upaya sistematis menciptakan banyak sistem pendidikan yang berbeda. Ini bertolak belakang dengan amanat konstitusi dan justru menambah kekacauan tata kelola pendidikan nasional,” kata Iman.
Ia menyoroti bagaimana rencana pendirian sekolah rakyat menuai banyak kejanggalan. Awalnya, pemerintah menyebut guru-guru di sekolah ini akan diambil dari ASN dan PPPK yang belum mendapat penempatan.
Belakangan, narasi itu berubah lagi, yakni guru akan direkrut dari lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang belum mengajar. Tak lama kemudian, Mensos Saifullah Yusuf kembali meralat bahwa guru yang direkrut dan menjadi prioritas adalah ASN dan PPPK, setelah itu opsi keduanya adalah PPG.
"Ini menunjukkan tidak ada konsep yang matang. Bahkan urusan siapa yang akan mengajar saja masih berubah-ubah. Padahal ini menyangkut masa depan anak-anak dan guru," ujar Iman. Belum lagi sistem penggajiannya yang belum dibahas dengan matang sampai hari ini.
Iman juga mengkritik rencana penggajian guru untuk sekolah unggulan yang disebut bisa mencapai Rp 20 juta lebih, jauh melampaui gaji guru honorer di sekolah umum yang banyak di antaranya hanya digaji ratusan ribu rupiah.
“Ini menciptakan ketimpangan serius. Guru-guru honorer yang sudah lama mengabdi justru tetap diabaikan, sementara sekolah baru malah akan merekrut guru baru dengan gaji tinggi,” kata dia.
Pilihan editor: Ide Prabowo Evakuasi Warga Gaza Didukung DPR, tapi Ditentang MUI