LAPORAN TEMPO tentang Lembah Besoa (29 April, 6 Mei dan 13 Mei) menarik perhatian seorang mahasiswa Fakultas Biologi Unas, Jakarta, Sunarjo Prapto. Empat tahun lalu, dia telah melakukan penelitian penyakit schistosomiasis selama 3 bulan dengan bantuan Depkes RI dan US Namru (Navy Medical Research Unit) Detachment Jakarta. Tulisannya buat TEMPO tentang berbagai masalah sosial di Lembah Besoa dan Lembah Napu di dekat Danau Lindu, mungkin masih menarik untuk dikemukakan kepada pembaca. Setiap desa di Lembah Besoa maupun tetangganya, Lembah Napu, selalu memilih letak dekat sungai. Soalnya, scmua kebutuhan air penduduk banyak bergantung kepada sungai -- selain mata air di gunung. Sumur -- dan juga jamban/kakus -- belum merupakan kebutuhan atau sarana hidup penting. Air sungai atau air gunung sebagian besar diangkut ke rumah dalam bambu panjang, dipikul oleh kaum wanita di puncak mereka. Ketergantungan pada sumber air mengalir ini, dibarengi kebiasaan membuang hajat besar dan kecil di kuala. Dua hal ini merupakan faktor kritis yang mempermudah penularan penyakit schistosomiasis di sana. Terutama di Lembah Napu, yang paling dekat dengan Danau Lindu. Schitosomiasis adalah salah satu penyakit cacing yang terdapat di beberapa negara tropis. Antara lain di lembah sungai Nil, Mesir dan di Indonesia di Sulawesi Tengah itu. Dari survei yang dilakukan Depkes dan US Namru tahun 1973 dan 1974 ternyata bahwa mulai dari Lembah Napu sampai seluruh desa di Lembah Besoa ditemukan penderita penyakit itu. Yaitu melalui pemeriksaan tinja. Penyakit endemis ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, juga di Danau Lindu. Di sana, kematian akibat penyakit itu sekali pun kecil tetap ada. Tapi penularannya hanya terjadi bila ada hewan perantara penularan (intermediate host). Di Lembah Napu telah ditemukan cukup banyak hewan penular itu dalam beberapa lokasi (focus) yang luas totalnya melebihi yang ada di pinggir Danau Lindu. Sementara di Lembah Besoa, belum didapati keong penular tersebut. Hewan tersebut adalah keong kecil oncomelania hupensis yang berwarna hijau kehitam-hitaman dan hidup dalam dua alam. Melalui keong ini, cacing schistosoma dapat ditularkan ke manusia atau hewan lain melalui air. Cacing mini yang berenang di air dan masuk melalui pori-pori kulit manusia dapat menyerang hati. Gejalanya seperti demam disentri dan bisa menyebabkan anaemia serta pembengkakan hati. Selain manusia, binatang menyusui lain juga bisa terinfeksi, seperti rusa, kerbau, sapi, dan juga babi hutan. Percobaan pengobatan dan pemberantasan keongnya sedang dilakukan. Hasilnya akan terlihat setelah penelitian US-Namru di laboratorium Badan Litbang Depkes di Jakarta selesai. Mengingat adanya rencana Departemen P & K serta Direktorat PPA menjadikan Lembah Napu dan Lembah Besoa sebagai taman berburu, taman nasional serta taman purbakala, dianjurkan agar para peneliti lapangan sebaiknya berhubungan dengan Depkes lebih dahulu. Maksudnya agar terhindar dari penularan penyakit cacing itu apabila berjalan atau berendam di sungai, sawah, parit atau sumber air lainnya. Bekerja di lapangan sebaiknya juga dilengkapi sepatu karet panjang (fishing boots). Petunjuk ini tentunya berlaku pula bagi para pengunjung lain yang bukan peneliti dan bukan pemburu. Faktor lain yang perlu diingat oleh para pengunjung Danau Lindu maupun lembah-lembah dataran tinggi sekitarnya, adalah infra-struktur yang sangat sederhana. Besoa mencakup 9 desa yang masing-masing jauh terpisah. Jarak antara desa satu dengan lainnya hanya bisa ditempuh dengan kuda atau berjalan kaki. Karena jalan yang sesungguhnya belum ada, kecuali jalan setapak Beberapa desa yang terpisah dari kelompok utama -- yakni Dodolo dan Katu yang keduanya terletak berdekatan di bukit-bukit nan subur -- lebih tinggi posisinya dari desa-desa di tepi lembah. Jalanan yang rata dan datar hanya bisa ditemui antara Doda dan Hanggira serta Bariri. Selain itu, semua jalan berbukit dan seringkali menembus hutan. Bila hujan, semua jalanan di Lembah Besoa dan Lembah Napu semakin tak berbentuk -- apalagi di daerah perbukitan. Dan jangan lupa, hujan di daerah ini lebih sering dan lebih lebat dari pada di Palu, ibukota propinsi. Untungnya, penduduk kedua lembah di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso itu sudah terbiasa naik kuda dari kecil sampai tua, baik lelaki maupun wanita. Begitu pula penduduk di tepi Danau Lindu, yang masih termasuk Kabupaten Donggala. Namun tak jarang kuda pun harus dituntun, atau sama sekali tak bisa dibawa serta. Misalnya bila orang harus menyeberangi jembatan rotan sepanjang 30 meter antara Watutau dan Wanga di perbatasan Lembah Napu. ***** TABEL. Penderita Schistosomiasis di Lembah Napu dan Besoa. =================================================== NAPU (1973/1974) BESOA (1974) Desa % Desa % 1. Sedoa46.0 1. Talabosa 2.0 2. Watumaeta 20.0 2. Rompo 0.0 3. Wuasa18.0 3. Katu 0.0 4. Kaduwaa51.0 4. Dodolo 0.0 5. Alitupu64.0 5. Torire 8.0 6. Winowanga67.0 6. Doda 1.0 7. Maholo65.0 7. Bariri 1.0 8. Tamadue64.0 8. Hanggira 0.0 9. Watutau12.0 Sumber: peneliti Depkes RI & US-Namru, Juli s/d September 1974.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini