Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Menimbang Kata

30 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eko Endarmoko

  • Penyunting, sekretaris redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam.

    Ungkapan Nuansa Asri, yang dipakai untuk menguatkan merek dagang oleh sebuah kompleks perumahan, mungkin sekali meneladan pada bentuk Nuansa Pagi, nama acara berita salah satu stasiun televisi swasta. Kedua ungkapan ini terkesan puitis tapi bermasalah, enak di telinga tapi tidak mengantar pengertian yang jelas. Sebab, nuansa merujuk pada perbedaan yang tipis, seperti perubahan berangsur-angsur dari gelap ke terang atau warna tua ke muda. Sejumlah kata pun bisa memiliki nuansa makna: wafat, meninggal, mati, kojor. Oleh karenanya, kita mungkin hanya dapat meraba-raba apa kiranya yang dimaksud dengan Nuansa Asri dan Nuansa Pagi.

    Peneraan label Nuansa Asri pada perumahan tadi mengantar pengertian seolah-olah di sana ada blok yang sangat asri, ada yang asri, ada yang kurang asri, ada juga blok yang tidak asri, dan perbedaan keasrian blok-blok itu berhubungan dengan harga jual. Tetapi, jangan-jangan peneraan label tersebut bermaksud mengatakan bahwa lingkungan perumahan itu menyuguhkan suasana yang asri. Lebih kabur adalah ungkapan Nuansa Pagi. Sebenarnya, yang bisa punya nuansa adalah warna langit pada pagi hari, bukan pagi sebagai satuan waktu. Mungkin frase ini juga mengandung maksud suasana pagi hari, yang dalam konteks itu, diisi aneka berita.

    Pemakaian kata nuansa yang rada ganjil dalam kedua contoh itu menunjukkan ketidakcermatan memilih kata, sebuah gejala kebahasaan yang kian lumrah kita temukan di mana-mana. Kalimat berita ”Hujan lebat mewarnai unjuk rasa korban lumpur Lapindo di Jakarta hari ini” adalah contoh lain. Bagaimana bisa hujan lebat memberi warna pada unjuk rasa? Sejauh-jauhnya, kata warna lazim dipakai dalam arti suasana atau pengaruh. Misalnya dalam kalimat, ”Keharuan mewarnai pertemuan keluarga yang lama terpencar akibat perang itu.”

    Memilih kata di dalam berbahasa, dengan demikian, tidak semudah yang kita sangka. Akan selalu terasakan sesuatu kata kurang persis mewakili sesuatu maksud. Namun juga, akan selalu ada godaan untuk bergaya-gaya demi memikat khalayak, satu hal yang justru dapat mengakibatkan pe-san menjadi kabur.

    Barangkali ada yang menyimpulkan, kekeliruan memakai sebuah kata dapat terjadi karena si pengguna tidak tahu persis maknanya ditambah kemalasan membuka-buka kamus. Tapi akan saya katakan, bersiap kecewalah bila mencari keterangan tentang sebuah kata, apalagi kata dari bahasa asing, dalam kamus bahasa Indonesia. Kata ideal, umpamanya. Kamus Besar Bahasa Indonesia—sejak 1988 hingga 2005 sudah dicetak 17 kali dan diperbaiki dua kali—hanya menerangkannya sebagai adjektiva begini: ”sangat sesuai dng yg dicita-citakan atau diangan-angankan atau dikehendaki”. Ini agak mirip dengan penjelasan Kamus Badudu-Zain (1994): ”memuaskan karena cocok dengan keinginan”. Sedangkan kamus Poerwadarminta (1976) merumuskannya sebagai ”yg dicita-citakan atau diangan-angankan, sesuai dng yg dikehendaki atau diinginkan”.

    Padahal, makna kata itu kita tahu sangat kaya. Ia sebagai nomina bersaudara dengan acuan, arketipe, cermin, contoh, eksemplar, model, paradigma, pola, teladan, juga dengan dambaan, idaman, impian. Dan sebagai adjektiva, ia bukan hanya semakna dengan kamil, komplet, lengkap, sempurna, tetapi juga dengan abstrak, hipotetis, teoritis, transendental, serta paradigmatis, representatif.

    Walhasil, kalaupun seseorang tidak tahu persis makna sebuah kata, dan kemudian ia membuka kamus bahasa Indonesia, tidak ada jaminan ia akan mendapatkan pengertian yang memadai. Tidak berlebihan rasanya bila kita katakan, salah satu kelemahan mendasar kamus bahasa Indonesia terletak pada perumusan yang tidak jelas akan arti banyak sekali lema. Nilai sebuah kamus umum bukan terletak pada banyaknya lema melainkan pada bobot informasi yang ia sajikan.

    Bila benar kebiasaan tidak cermat berbahasa kian meluas maka soalnya bukan karena orang malas membuka-buka kamus atau sebaliknya, karena kamus kita tidak memadai. Saya curiga, jangan-jangan benar kita tergolong bangsa yang mudah takjub, mudah pula melupakan akal dan nalar. Gampang terpesona pada kata indah, pada bentuk, pada sesuatu yang lahiriah.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus