Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Selesai Perkara Secara Adat

Komisi Pemberantasan Korupsi tak kunjung mengajukan permohonan peninjauan kembali perkara Budi Gunawan. Ada "hambatan" di Mahkamah Agung.

4 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDRIYANTO Seno Adji masih mengingat dengan jelas pernyataan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dalam pertemuan dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, awal Maret lalu. Saat itu dia bersama pimpinan KPK yang lain datang meminta pendapat tentang rencana mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan praperadilan yang membatalkan status tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan.

Menurut Indriyanto, saat itu Hatta Ali hanya menjelaskan secara umum perihal upaya hukum luar biasa itu. "Tidak ada diskusi khusus kasus Budi Gunawan," ujarnya Selasa pekan lalu.

Namun, di tengah perbincangan, Hatta memberi sebuah tip berharga kepada pimpinan KPK dalam penyelesaian konflik dengan kepolisian. Hatta, kata Indriyanto, mengatakan persoalan hukum tidak selalu diselesaikan lewat jalur hukum. "Tapi perlu juga dengan pendekatan secara adat," katanya mengulang pernyataan Hatta. Mantan dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini memahami bahwa perlu ada pendekatan informal yang bisa mencairkan ketegangan yang terjadi belakangan ini.

Kedatangan pimpinan KPK ke Mahkamah Agung, selain membahas soal kemungkinan PK atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Februari lalu, juga mencari masukan bagaimana meredakan ketegangan dengan Markas Besar Kepolisian RI.

Ketegangan dipicu pengusutan Budi oleh KPK. Waktu itu Budi adalah calon Kepala Polri yang sedang digodok persetujuannya di Dewan Perwakilan Rakyat. Sekarang Budi menjabat Wakil Kepala Polri. KPK menetapkan Budi sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi ketika menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir Polri pada 12 Januari lalu. Sepekan berikutnya, Budi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim tunggal Sarpin Rizaldi yang memimpin sidang membatalkan penetapan tersangka Budi.

Dalam pembicaraan KPK dengan MA, menurut seorang pejabat yang mengetahui pertemuan tersebut, Taufiequrachman Ruki mengawali pembicaraan dengan meminta MA mengeluarkan surat edaran yang isinya penetapan tersangka bukan obyek praperadilan. Ruki mengacu pada Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. "Untuk membendung permohonan praperadilan para tersangka korupsi di KPK," katanya.

Ruki juga meminta pandangan MA mengenai rencana PK atas pembatalan tersangka Budi. Tim KPK bahkan membawa bundelan draf permohonan PK yang disusun setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak pengajuan kasasi KPK terhadap putusan Sarpin pada 23 Februari lalu. Draf dimatangkan setelah sekitar 500 pegawai KPK pada awal Maret lalu mendesak Ruki agar mengajukan PK.

Keempat Wakil Ketua KPK ikut bersuara. Zulkarnain, misalnya, menegaskan bahwa Sarpin keliru mengambil keputusan. Para hakim agung yang menjadi ketua kamar diberi kesempatan berbicara. Semuanya menyampaikan pendapat kecuali Ketua Kamar Pidana Artidjo Alkostar.

Namun, menurut pejabat tadi, Hatta menolak mengeluarkan surat edaran dengan alasan sudah banyak surat edaran yang dikeluarkan. Bahkan ia memberi sinyal akan menolak PK jika diajukan. "Hatta mengatakan, yang boleh mengajukan PK adalah terpidana." Sebaliknya, dia justru memuji putusan Sarpin sebagai terobosan hukum.

Hatta membantah menolak keinginan KPK. "Yang berhak menolak adalah majelis, bukan dalam pembicaraan antarlembaga seperti itu," ujarnya di Istana Negara, Selasa pekan lalu. Hatta mengatakan dalam pertemuan itu dia mempersilakan KPK mengajukan permohonan PK.

Juru bicara MA, Suhadi, menampik jika Hatta disebut memuji-muji Sarpin dalam pertemuan dengan KPK. "Pak Hatta tak pernah menyebut nama Sarpin," ucapnya Kamis pekan lalu. Tapi dia menuturkan bahwa, menurut Hatta, MA tak bisa mengintervensi hakim dalam memutus perkara. "Hakim itu independen."

Namun, menurut seorang penyidik, jawaban Hatta dalam pertemuan itu telah "memadamkan" semangat KPK untuk mengajukan permohonan PK. Menurut dia, muncul kekhawatiran upaya itu hanya akan sia-sia dan semakin memberi pukulan terhadap lembaga antirasuah itu. Ketika dimintai konfirmasi, Indriyanto mengatakan rapat pimpinan KPK belum membahas pengajuan PK. "Belum ada rapat soal itu," katanya.

Tak hanya kekhawatiran akan kembali kalah, menurut aparat penegak hukum tadi, pimpinan KPK juga masih trauma dengan ancaman kriminalisasi dari polisi. Serangan balasan itu terjadi ketika Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka pemalsuan dokumen kependudukan serta Wakil KPK Bambang Widjojanto dijerat dengan pasal mengarahkan keterangan saksi palsu di sidang Mahkamah Konstitusi. Keduanya dinonaktifkan karena berstatus tersangka lalu digantikan Ruki dan Johan. Adapun Indriyanto menggantikan Busyro Muqoddas, yang habis masa tugasnya pada Desember tahun lalu.

Zulkarnain dan Adnan Pandu juga diadukan ke polisi. Zulkarnain dilaporkan menerima suap dalam pengusutan program penanganan sosial-ekonomi masyarakat pada 2010. Saat itu ia menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Sedangkan Adnan dituduh memanipulasi kepemilikan saham PT Desy Timber di Berau, Kalimantan Timur.

Polisi belum menghentikan pengusutan empat orang tersebut. Bahkan pekan lalu, ketika melakukan pemeriksaan, penyidik polisi "nyaris" menahan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Polisi juga menyasar para penyidik kasus Budi. Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso berkali-kali mengatakan penyidik polisi sedang mengusut kemungkinan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan penyidik KPK ketika menetapkan Budi sebagai tersangka. Untuk memperkuat dugaannya, Bareskrim berencana melakukan gelar perkara kasus Budi, Selasa tiga pekan lalu. Mulanya kasus ini ditangani KPK, lalu dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Kejaksaan menyerahkannya ke polisi pada awal April lalu.

Tidak seperti biasanya, dalam gelar perkara itu penyidik mengundang tiga ahli hukum, pemimpin redaksi media massa, KPK, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Tapi, beberapa jam sebelum dimulai, acara mendadak dibatalkan.

Seorang penyidik membisikkan pembatalan ini tidak terjadi begitu saja. Menurut dia, sebelum gelar perkara dibatalkan, Ruki lebih dulu menelepon Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti. "Apa polisi ingin mempermalukan KPK? Kalau begitu, akan kami buka semuanya," katanya menirukan ucapan Ruki. Ruki, yang dimintai konfirmasi, tak bersedia berkomentar. Dia tidak membalas pesan pendek yang dikirimkan Tempo.

Badrodin mengakui Ruki menghubunginya lewat telepon. "Ruki hanya memberi saran untuk ditunda dulu," katanya. Badrodin mengatakan polisi akan mengagendakan lagi gelar perkara kasus Budi. Adapun rencana PK yang tak kunjung terealisasi ini menjadi sorotan pegawai KPK. Ketua Wadah Pegawai KPK Faisal mengatakan sikap pegawai tetap sama ketika menyampaikan pandangan kepada pimpinan pada Maret lalu. "Sikap kami tetap sama, KPK harus mengajukan permohonan peninjauan kembali," ucapnya.

Rusman Paraqbueq, Reza Aditya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus