Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bivitri Susanti, dosen hukum di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dalam seminar nasional yang diselenggarakan program studi Ilmu Politik Unpad bertemakan “Demokrasi di Persimpangan Jalan: Mau Dibawa Ke Mana Demokrasi Kita?” menyebut demokrasi Indonesia bukan lagi di persimpangan jalan, melainkan u turn atau putar balik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyebut penegakan hukum menjadi penyebab terjadinya hal ini. Menurutnya, hukum menjadi salah satu kunci yang membuat pikiran masyarakat tentang demokrasi terbolak-balik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Yang salah adalah ketika para penguasa memutar balikkan akal sehat, kompas moral, dicap dengan hukum, jadi apa yg kita yakini sebagai benar dibilang salah dan yang diyakini salah dibilang benar,” kata Bivitri Susanti di Kampus Iwa Koesoemasoemantri Unpad, Dipatiukur, Bandung pada Kamis, 14 November 2024.
Bivitri menyebut tugas negara melalui demokrasi adalah untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak warga. Caranya adalah dengan demokrasi yang dijaga dengan akuntabilitas perangkat hukumnya. Ia menyebut bahwa hukum dibuat oleh penyelenggara negara yang seolah melibatkan partisipasi warga, namun pada kenyataannya tidak seperti itu.
Bivitri menyinggung tentang aksi Peringatan Darurat Agustus lalu yang akhirnya membatalkan disahkannya revisi Undang-Undang Pilkada. Ia menyebut kebijakan yang tergesa itu memantik warga untuk turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi.
“Dengan ilustrasi resistance blue (warna yang digunakan Peringatan Darurat) ini kita bisa lihat bahwa ternyata hukum itu justru digunakan untuk merusak demokrasi. Kita tahu putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90 yang bikin Gibran jadi wakil presiden itu salah kompas moral kita aja udah tahu bahwa ini salah, ga usah belajar hukum, kompas moral akal sehat udah bilang itu salah,” katanya.
Bivitri menyebut demokrasi yang menjadi u turn adalah akibat adanya autocratic legalism, kekuasaan yang tidak bisa dicek yang merusak demokrasi dibuat legal. Hal ini mengakibatkan banyak dari masyarakat yang berpikir bahwa tidak ada masalah karena ada perangkat hukum yang mendasarinya.
Ia menyebut contoh untuk kondisi ini adalah presiden yang meng-endorse kepala daerah. Menurutnya secara moral hal ini merupakan hal yang salah, namun sebetulnya tidak ada perangkat hukum yang mengaturnya.
“Kita bisa bilang salah, kemudian ditanya presiden mana pasalnya, padahal ga ada sebetulnya pasal yg spesifik membicarakan itu,” kata dia.
Bivitri menyebut bahwa pemerintah selalu mempertanyakan pasal terkait suatu hal yang dianggap tidak benar. Padahal menurutnya masyarakat sendiri sudah dituntut oleh pikiran-pikiran tentang demokrasi dan moralitas.
“Sebenarnya sudah dituntut oleh pikiran-pikiran tentang demokrasi oleh moralitas tapi ditanya terus soal pasalnya mana, hukumnya mana, seolah-olah hukum yang ngatur padahal hukum sendiri dibuat oleh orang-orang yang punya kuasa,” kata Bivitri