Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Seorang Lelaki di Bawah Hujan

Setelah hampir 30 tahun hidup di pengasingan, Hasan Tiro pulang kampung. Reportase wartawan Tempo Arif Zulkifli, yang mengikuti perjalanannya dari Kuala Lumpur hingga Banda Aceh.

13 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah langit mendung Putra Jaya, lelaki itu tengadah. Dipandanginya pucuk-pucuk kubah masjid dan gedung-gedung jangkung di pusat kota Kuala Lumpur itu. Sesekali ia menunduk membiarkan matanya mengintip dari balik kacamata yang melorot hingga ke pipi.

Hari itu ia tampil necis: setelan jas abu-abu, dasi marun, sepatu hitam yang nyaris tak menyimpan debu. ”It’s a beautiful place,” katanya. ”Aceh harus seperti ini di kemudian hari,” saya menyergah. Ia tersenyum lalu menjawab singkat, ”I think so.”

Kamis pekan lalu adalah hari keenam Hasan Muhammad Ditiro, 83 tahun, berada di ibu kota Malaysia itu. Sabtu, 4 Oktober 2008, Presiden National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS), organisasi yang lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka, itu mendarat di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur setelah terbang 8.000 mil dari Stockholm, Swedia, negeri tempatnya selama ini bermukim.

Seminggu setelah itu, ia tiba di tanah kelahiran. Inilah untuk pertama kalinya Hasan Tiro mengunjungi kampung halaman yang hampir 30 tahun lalu ia tinggalkan.

Dari Stockholm hingga Kuala Lumpur ia didampingi tujuh anggota rombongan, di antaranya Zaini Abdullah yang merupakan juru runding GAM, juga bekas Panglima Gerakan Muzakir Manaf, dan Muzakir Abdul Hamid, staf pribadinya.

Mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 1976, hidup Tiro bagaikan roller coaster. Menjadi pengusaha di New York, Amerika Serikat, pada awal 1970-an, ia memutuskan angkat senjata pada 1976. Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat membuatnya masuk hutan. Beberapa tahun di gunung, ia hengkang ke Malaysia karena diburu tentara. Dari Malaysia ia kemudian mendapat suaka politik di Stockholm, Swedia.

Perundingan damai Helsinki pada 2005 mengubah segalanya. Bekas Perdana Menteri GAM Malik Mahmud serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Hamid Awaludin meneken kesepakatan damai antara dua seteru itu. GAM diberi kompensasi ekonomi dan politik sebagai syarat tak lagi menggali kapak perlawanan. Salah satu ”imbalan”, GAM boleh mendirikan partai lokal—tempat anggota gerakan perlawanan itu diharapkan berkiprah.

Tiga tahun setelah perjanjian damai itu, Tiro kembali. Berita kepulangan itu telah menyebar sejak sebelum Ramadan.

Itulah sebabnya beberapa jam sebelum rombongan tiba di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, massa sudah menyemut. Mereka datang dengan truk dan puluhan mobil dari pelbagai wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Dua truk khusus disiapkan untuk menampung puluhan pemain rapa’i, rebana yang dimainkan bersama-sama, dari Passe. Hari itu Banda Aceh macet total.

Tiro berangkat dari Bandar Udara Subang, Kuala Lumpur, pukul 10.30 waktu setempat. Di kabin pesawat Firefly ATR 72-500 ia duduk di kursi 01A. Di sebelahnya duduk Malik Mahmud. Tepat di belakang Malik tercogok Farid Husein, juru runding Indonesia dalam perundingan Helsinki, dan Juha Christensen, salah satu penengah konflik GAM-Indonesia.

Di atas ketinggian 18.000 kaki dari permukaan laut, setengah jam sebelum pesawat mendarat, Tiro tiba-tiba bangkit.

Melihat Wali Nanggroe—begitu Hasan Tiro biasa disapa—tegak, Malik Mahmud bangkit mendampingi. Usman Syarif, asisten pribadi Tiro, juga sigap berdiri. Di usianya yang telah lanjut, ke mana pun pergi, Tiro selalu didampingi asisten.

Ia lalu bergerak ke arah belakang, ke kursi 08D yang diduduki Amir Rasyid bin Mahmud. Amir adalah kakak Malik Mahmud dan kawan seiring Tiro di awal-awal GAM berdiri. Tak seperti Tiro, Amir memang tak masuk hutan. Ia datang dari keluarga pedagang, bermukim di Singapura dan banyak membantu pergerakan GAM dari tanah seberang. ”Lon meushen. Aku rindu,” kata Tiro kepada Amir pelan. Yang dipeluk balas memeluk. Keduanya menangis, tapi tak terisak.

Tangis kedua Tiro terlihat ketika bersalaman dengan Putjut Sariwati di landasan pesawat. Perempuan tua berkerudung putih itu adalah istri Muhammad Usman Lampoh Awe, salah satu petinggi GAM yang pada 3 Oktober lalu meninggal. Usman adalah salah satu anak buah kesayangan Tiro.

Di tangga pesawat Hasan Tiro disambut azan dan sayup-sayup alunan rapa’i. Panggilan salat itu selesai, ia berteriak Allahu Akbar tiga kali. Sebentar kemudian ia sujud syukur di atas sajadah merah yang telah disiapkan panitia.

l l l

MUDIK ini dipersiapkan dengan seksama dan dengan kerahasiaan tinggi. Persiapan pulang, menurut Muzakir Abdul Hamid, dilakukan tiga bulan yang lalu. Panitia disiapkan di tiga tempat: Stockholm, Kuala Lumpur, dan Banda Aceh. Di Stockholm, Ustad, begitu Muzakir biasa disapa, ambil peranan. Ia mengurus tiket, visa, dan segala tetek-bengek.

Muzakir telah sepuluh tahun bermukim di Stockholm. Sebelumnya, pada pertengahan 1990-an ia tinggal di Malaysia sebagai pelarian politik. Ketika pemerintah Indonesia menekan Malaysia agar menangkap pelarian asal Aceh, Muzakir berlindung ke UNHCR—badan PBB yang mengurus pengungsi. Setelah negosiasi sekian lama, oleh lembaga dunia itu ia lalu disalurkan ke Swedia.

Di Malaysia, Hasan Tiro tinggal di Hotel Concorde Shah Alam, Negara Bagian Selangor. Meski sudah di luar kota, hotel itu sejatinya tak teramat terpencil. Menumpang taksi dari bandar udara, penginapan itu bisa dicapai dalam waktu satu jam.

Pada hari pertama kedatangan Tiro, tak banyak orang yang tahu di mana delegasi akan menginap. Sebuah situs berita nasional, misalnya, menyebut Tiro menginap di kediaman Duta Besar Swedia di Kuala Lumpur. Petinggi GAM memang tutup mulut soal lokasi menginap Wali Nanggroe itu. Tanda pengenal rombongan yang akan terbang bahkan baru diberikan beberapa menit sebelum berangkat. ”Untuk mencegah dipalsukan,” kata seorang panitia.

Anggota delegasi juga tak diumumkan dengan pesawat apa mereka terbang. ”Kami sendiri baru diberi tahu lima hari sebelumnya,” kata Angelina C. Fernandez, Kepala Divisi Komunikasi Firefly, maskapai yang disewa Tiro. Semua kru diminta tutup mulut tentang rencana perjalanan ini.

Ada dua pesawat yang dipakai, masing-masing berkasitas 72 tempat duduk. Menurut Eddy Leong, Direktur Pelaksana Firefly, umur pesawat mereka baru satu bulan. Kabin kapal terbang bermesin baling-baling itu apik. Kursinya berlapis kulit sintetis.

Berapa GAM membayar sewa pesawat? Panitia tutup mulut. Tapi Hishamuddin Ahmad, Kepala Divisi Jaringan dan Penjadwalan Firefly, memberikan ancar-ancar. Katanya, pesawatnya biasa disewa 15 ribu ringgit per jam atau sekitar Rp 45 juta. Dua jam perjalan bolak balik dua pesawat (biaya pulang pesawat juga ditanggung penyewa) total perlu Rp 360 juta. ”Tapi kami memberikan harga khusus untuk perjalanan ini,” kata Hishamuddin. Seorang sumber yang dekat dengan GAM membisikkan Gerakan hanya membayar 50 ribu ringgit atau sekitar Rp 150 juta.

l l l

LOBI Hotel Concorde sudah seperti meunasah saja. Setiap hari, puluhan orang asal Aceh berkerumum di tempat itu. Sembilan sofa untuk 18 orang itu tak pernah sepi penumpang. Yang satu berlalu, yang lain datang. Tamu yang baru tiba biasanya akan menyalami mereka yang lebih dulu duduk.

Mereka yang hadir akan dipanggil bergilir untuk menghadap Tiro. Umumnya dalam waktu tak lama. Ia pun tak banyak cakap: bersalaman, berfoto, lalu pertemuan usai. Kata yang kerap disebutnya kepada para tamu cuma thank you dan thank you.

Saya adalah orang kesekian yang diizinkan bertemu Hasan Tiro, Kamis pekan lalu. Menaiki lift hotel ke lantai 15, pintu kamar Tiro dijaga oleh seorang pengawal. Kamar-kamar lain di lantai itu tampaknya dipesan untuk anggota delegasi.

Selama beberapa menit, saya dibiarkan teronggok di pintu. ”Tunggu Ustad, tunggu Ustad,” terdengar suara dari dalam. Tak lama Muzakir Abdul Hamid datang dengan berlari kecil.

Belok ke kiri dari pintu masuk, ada ruang tamu sekitar 15 meter persegi. Dindingnya cokelat senada dengan warna sofa.

”Saya harap Anda masih mengenal saya,” kata saya membuka pembicaraan. Zaini Abdullah berbisik, mengingatkan Tiro bahwa saya pernah bersua dengannya di Stockholm delapan tahun lalu. Tiro tersenyum. Dari matanya tampak ia berusaha mengingat-ingat.

Ketika itu, Mei 2000, musim semi hampir berakhir Eropa. Matahari sudah terik menyengat, tapi angin dingin masih terasa menusuk. Kami bertemu di lantai lima apartemen Hasan Tiro di kawasan Alby, Stockholm bagian selatan.

Kala itu damai masih jauh dari Tanah Rencong. Pemerintah memang telah memprakarsai perundingan yang kemudian dikenal dengan Jeda Kemanusiaan, tapi kemudian batal karena pemerintahan Megawati menetapkan Aceh sebagai daerah darurat militer.

Pertemuan dua jam itu tak disertai wawancara. Sejak awal Tiro menolak percakapan kami direkam. Tapi tanpa wawancara formal, Tiro justru menunjukkan sisi kemanusiaannya. Ia menyetel musik klasik, menunjukkan sejumlah buku karangannya, bahkan meminta saya membacakan beberapa paragraf naskahnya itu.

Ia tak banyak bicara. Sekali ia mengajak ke serambi memandang laut Malaren yang berpendar-pendar airnya. Pada waktu yang lain ia meradang. Ketika tahu saya adalah lulusan Universitas Indonesia, ia menyemprot: ”That’s stupid!” (lihat ”Dua Jam Bersama Hasan Tiro”, Tempo, 4 Juni 2000).

Baginya, Indonesia adalah gagasan yang absurd. Dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada November 1980, ”The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law”, Tiro menyebut penyerahan kedaulatan Aceh dari Belanda kepada Indonesia pada 1949 adalah ilegal. Basis hukum yang dipakainya adalah Resolusi PBB yang mewajibkan negara kolonialis menyerahkan daerah jajahannya kepada penduduk asli. Indonesia, menurut Tiro, bukanlah penduduk asli Aceh. ”Penyerahan kedaulatan itu dilakukan tanpa pemilihan umum yang menyertakan seluruh masyarakat, termasuk masyarakat Aceh,” katanya dalam wawancara dengan televisi Hilversum, Belanda, pada 1996.

Pendapat ini berbeda dengan sikap Tiro pada 1950-an. Dalam Demokrasi untuk Indonesia, buku yang ditulisnya di Amerika pada 1958, yang menjadi pusat kritiknya adalah gagasan negara persatuan Soekarno. Menurut Tiro, dengan wilayah yang luas, sangat tidak mungkin jika Indonesia dipaksakan menjadi negara persatuan. Dalam buku itu Tiro mengusulkan federalisme sebagai pilihan yang terbaik untuk demokrasi Indonesia. Artinya, pada era ini Tiro masih memberikan alternatif bagi penyelesaian hubungan pusat-daerah.

Setelah Helsinki 2005, masihkah ia memimpikan kemerdekaan? Dalam amanatnya yang dibacakan Malik Mahmud di Masjid Baiturrahman, ia menyatakan mendukung perdamaian. Tentang perjuangan memerdekaan Aceh, Malik berujar: ”Setelah damai itu tidak ada lagi”.

l l l

DI Putra Jaya, hujan datang mengguyur. Angin kencang membuat air berhamburan—seperti sapuan kuas pada lukisan cat air.

Tiro dan delegasi bergegas ke Selera Putra, pusat makanan yang terletak agak ke bawah. Tempat makan itu tak ramai sangat. Ustad memilih sebuah pojok lalu menyatukan tiga meja agar bisa menampung Tiro dan sejumlah pendampingnya.

Mengapit Tiro duduk bekas Panglima GAM, Muzakir Manaf dan Zakaria Saman, bekas Menteri Pertahanan. Syarif Usman tak jauh dari situ. Di depan Tiro duduk Muzakir Abdul Hamid.

Para anggota delegasi memilih minuman: teh manis, teh tarik, atau jus. Tiro memilih sekaleng Coca-Cola yang dituangnya di gelas besar. ”Wali suka sekali coke,” kata Zaini Abdullah. Di luar, Tasik Putra Jaya, danau buatan yang membelah kota itu, bercipratan airnya diterpa hujan.

Di meja tersaji sejumlah jajan pasar: kue talam, black forest, kue kasui—penganan berbahan terigu yang dilumuri parutan kelapa— dan beberapa kue lainnya. Ustad yang duduk di depan menyiapkan makanan dan menuangkan air untuk Tiro.

Ketika acara makan ringan itu berakhir, hujan belum reda. Naik eskalator ke lantai atas, rombongan tertahan di ujung tangga. Ruang terbuka itu sesak oleh pengunjung. Dua pengawal Tiro mengapitnya seraya menadahkan payung. Seperti melupakan usia yang tak lagi muda, Tiro merebut dan memegang sendiri payung itu. Lalu lelaki itu menjauh, kemudian hilang ditelan hujan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus