Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAUH terbang ke Stockholm, akhir Agustus lalu, 20-an anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pulang dengan tangan hampa. Misi Panitia Khusus Rancangan Qanun Wali Nanggroe ini menemui Hasan Tiro, pemimpin Gerakan Aceh Merdeka, di ibu kota Swedia itu tak terlaksana.
Rombongan hanya bisa menemui Husaini Hasan, tokoh Gerakan Aceh Merdeka angkatan 1976. Padahal mantan ”menteri pendidikan” Gerakan Aceh Merdeka ini pun mengatakan sudah puluhan tahun tak berjumpa dengan Hasan Tiro. Seorang petinggi Gerakan lainnya justru menghardik. ”Jangan bertemu saya. Kalau bertemu kalian, nanti saya ditikam orang Aceh,” kata petinggi itu, seperti ditirukan Mukhlis Mukhtar, Ketua Panitia Khusus, yang memimpin rombongan.
Pertemuan dengan Hasan Tiro dianggap penting untuk membahas satu hal: posisi Wali Nanggroe. Pembentukan lembaga ini diatur dalam nota kesepahaman pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang diteken di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang disahkan tahun berikutnya mengatur hal yang sama.
Dalam rancangan qanun (hukum lokal), Wali Nanggroe didefinisikan sebagai pemimpin lembaga adat yang independen sebagai pemersatu masyarakat. Lembaga ini berwenang mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, pemberian gelar kehormatan dan derajat, serta upacara-upacara adat Aceh. Wali Nanggroe juga berwenang menangani sengketa antarlembaga pemerintah.
Dalam rancangan yang sama, Wali Nanggroe dipilih dalam musyawarah khusus pemilihan. Pesertanya antara lain para ketua lembaga adat, ulama, unsur perempuan, Ketua Majelis Adat Aceh, juga unsur pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Masa tugas Wali Nanggroe disebutkan lima tahun.
Masalahnya, menurut Mukhlis, seorang juru runding pemerintah memberikan informasi tambahan. Isinya, ada kesepakatan lisan pada putaran ketiga perundingan di Helsinki bahwa Hasan Tiro akan langsung ditunjuk menjadi Wali Nanggroe. Itu sebabnya Mukhlis dan Panitia Khusus berkepentingan menemui Hasan Tiro ”buat menjernihkan informasi ini”.
Para petinggi Gerakan Aceh Merdeka kabarnya khawatir pertemuan Panitia Khusus Qanun Wali Nanggroe dengan Hasan Tiro akan dipolitisasi. Mereka yang kini diwadahi dalam Komite Peralihan Aceh itu cenderung menunda pembahasan Qanun Wali Nanggroe hingga usai Pemilihan Umum 2009. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh tahun depan dianggap lebih aspiratif karena melibatkan enam partai lokal. Itu sebabnya mereka kini menutup akses anggota Dewan ke Hasan Tiro.
Juru bicara Komite Peralihan Aceh, Ibrahim Syamsuddin, mengatakan Hasan Tiro tidak ingin menduduki jabatan Wali Nanggroe. Hasan Tiro, yang memiliki kewarganegaraan Swedia, pun belum memastikan akan tinggal di Aceh. ”Kita lihat saja bagaimana qanun-nya dulu.”
Ibrahim mengatakan Gerakan Aceh Merdeka ingin kewenangan Wali Nanggroe diperluas menjadi layaknya Yang Dipertuan Agung di Malaysia. Dengan begitu, Wali Nanggroe memiliki kuasa untuk memecat kepala daerah dan membubarkan parlemen dalam situasi darurat. ”Kalau kewenangannya sekadar mengurusi adat istiadat, bagusnya tidak usah dibuat saja,” kata Ibrahim.
Ahmad Farhan Hamid, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Aceh, mengatakan kewenangan Wali Nanggroe diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh 2001 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh 2006. Perluasan kewenangan Wali Nanggroe, kata Farhan, bisa dilakukan dengan merevisi undang-undang itu.
Panitia Khusus kini berharap bisa menemui Hasan Tiro, yang dijadwalkan tiba di Banda Aceh pada Sabtu pekan lalu. Surat permohonan pun telah dikirim bulan lalu. ”Kami enggak tahu kenapa dipersulit,” kata Mukhlis.
Yuliawati, Adi Warsidi (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo