Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA pria itu saling memandang penuh arti. ”Yang dibutuhkan sekarang adalah koalisi alternatif untuk mencari pemimpin baru,” kata Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir. Dia lalu menunjuk Bursah Zarnubi, Ketua Umum Partai Bintang Reformasi, dan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto, yang duduk di sampingnya. ”PAN, Hanura, dan PBR sebaiknya bergabung,” katanya bersemangat.
Ajakan yang dilontarkan Soetrisno pada acara buka puasa di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, akhir September lalu itu disambut hangat rekan bicaranya. Wiranto langsung membenarkan. Bursah bahkan melangkah lebih jauh. ”Kami akan mengadakan konvensi untuk memilih calon presiden,” katanya. ”Siapa pun silakan ikut, termasuk Mas Tris dan Mas Wiranto ini.”
Kemesraan antarpetinggi partai kerap digagas menjelang pemilihan umum legislatif April tahun depan. Sebelumnya, pada akhir Agustus, sesepuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Taufiq Kiemas, datang ke perhelatan Partai Golkar dan blak-blakan menawarkan duet Banteng-Beringin. Gandeng-renteng dua partai gajah ini bahkan sudah dirintis sejak akhir tahun lalu, ketika banteng bermoncong putih dan Golkar menggelar silaturahmi nasional di Medan.
Tapi Taufiq ternyata tak hanya mengincar Golkar. Sehari setelah merayu partai kuning, dia mengajukan tawaran yang sama ke Partai Keadilan Sejahtera. ”Kemungkinan koalisi selalu terbuka,” kata TK—demikian suami ketua umum sekaligus calon presiden dari PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, ini biasa disapa. ”Apalagi Partai Keadilan Sejahtera sekarang sudah plural.” Tawaran ini tak ditampik. ”Kami juga terbuka untuk semua, termasuk dengan PDI Perjuangan,” kata sekretaris jenderal partai itu, Anis Matta.
Tak hanya dua kubu itu yang memasang ancang-ancang. Sinyal kesiapan Susilo Bambang Yudhoyono—yang sampai kini masih menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat—dicalonkan kembali menjadi presiden sepaket bersama Jusuf Kalla, di pengujung bulan lalu, juga dibaca sebagian khalayak sebagai benih kubu ketiga: koalisi Partai Demokrat dan Partai Golkar. ”Saya tak bisa menjawab sekarang, kita tunggu saja hasil pemilihan legislatif,” kata Kalla kepada Wahyu Muryadi dari Tempo, saat bertandang ke Paris, Prancis, seusai Lebaran lalu.
Enam bulan sebelum pemilu, semua partai tampaknya mulai pasang kuda-kuda: menjajaki siapa kawan seiring dan siapa yang kira-kira menjegal. Tujuan akhirnya apa lagi kalau bukan berkoalisi merebut takhta RI-1. Namun, mengingat rapuhnya sejarah persekutuan partai di negeri ini, seberapa serius upaya partai membangun koalisi kali ini?
Koalisi partai politik di Indonesia pasca-Orde Baru selalu diwarnai bongkar-pasang dan pertikaian internal. Pasca-Pemilu 1999, PDI Perjuangan dikeroyok koalisi Poros Tengah dan Golkar yang kemudian berhasil mendudukkan Ketua Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa Abdurrahman Wahid di kursi presiden. Koalisi pendukung Wahid saat itu dimotori Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, selain tentu saja Partai Kebangkitan Bangsa.
Dua tahun memerintah, Wahid kehilangan dukungan di parlemen. Koalisi partai pemerintah pecah berantakan. PDI Perjuangan dan Golkar bergabung dengan Poros Tengah, meninggalkan Partai Kebangkitan Bangsa, sampai akhirnya Wahid jatuh dari kursi presiden setelah memerintah selama 22 bulan. Ia digantikan Megawati.
Konstelasi ini berubah lagi pada Pemilu 2004. Pada putaran pertama pemilihan presiden, ada lima kubu calon presiden yang bertarung. Golkar, PDI Perjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan mengajukan jagoan mereka sendiri-sendiri. Hanya pasangan calon terakhir, Yudhoyono-Kalla, yang didukung koalisi. Itu pun gabungan partai gurem: Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, plus Partai Demokrat.
Masuk putaran kedua—saat Yudhoyono harus head to head dengan Megawati—peta bumi koalisi kembali bergeser. Golkar lompat ke perahu PDI Perjuangan membentuk koalisi kebangsaan. Sementara itu, biduk tiga partai pendukung Yudhoyono yang diperkuat Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan menjadi koalisi kerakyatan.
Pascapemilu, peta ini bukannya solid, malah terus berubah, terutama jika terjadi pergantian figur ketua umum partai. Guncangan paling drastis terjadi ketika Desember 2004, Wakil Presiden Jusuf Kalla merebut kepemimpinan Golkar dan memimpin partai itu meninggalkan PDI Perjuangan sendirian di barisan oposisi. Partai-partai lain yang masih berseberangan pun satu demi satu diajak masuk kubu Yudhoyono.
Sejak itulah koalisi partai pendukung pemerintah menjadi amat cair.
”Pertimbangan pragmatis dalam pembentukan sebuah koalisi memang sangat menentukan,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Rully Chaerul Azwar terus terang. Pemilu legislatif yang digelar sebelum pemilihan presiden dan adanya persyaratan persentase jumlah suara tertentu untuk mencalonkan kandidat RI-1 membuat partai berhitung sebelum berkoalisi. ”Perekat koalisi akhirnya hanya kesamaan mengusung calon presiden tertentu,” kata Rully.
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Zulkifli Hassan sependapat. ”Tidak realistis berharap ada koalisi permanen sebelum pemilihan legislatif berlangsung,” katanya. Bahkan, menurut dia, koalisi partai politik berdasarkan kesamaan ideologi atau agenda juga sama tidak realistisnya. ”Lihat saja pemilihan kepala daerah, semuanya koalisi taktis, campur aduk, tak ada yang berdasarkan platform,” kata Zulkifli.
Walhasil, semua pihak yang dihubungi Tempo mengaku masih menunggu hasil pemilu legislatif. Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie, misalnya, dengan enteng menepis kabar koalisi partainya dengan Golkar. ”Rencana itu memang sinyal dari pemimpin kami,” ujarnya. ”Tapi teknisnya masih harus menunggu hasil pemilu legislatif,” kata Marzuki pekan lalu. Penegasan yang sama disampaikan kubu Golkar. ”Belum ada komitmen apa-apa,” kata Rully.
Kemesraan itu tampaknya masih sebatas saling menjajaki. ”Kami menjalin komunikasi dengan siapa saja,” kata Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta. ”Kalau ada kesamaan agenda, baru kita bicarakan berikutnya,” katanya lagi. ”Berikutnya” yang dimaksud Anis tentu bermakna ”siapa calon presidennya”. Taufiq Kiemas juga memberikan sinyal serupa. Saat berbuka puasa di rumahnya di Kebagusan, Jakarta Selatan, pertengahan September lalu, Taufiq jelas-jelas menyebut arah koalisi partainya ”belum spesifik memastikan dengan Partai Keadilan Sejahtera”.
Lalu bagaimana dengan ”koalisi alternatif” tiga serangkai PAN-Hanura-PBR? Jawabannya, terlampau dini untuk dimulai. ”Bagaimana mau berkoalisi sekarang? Semua partai merasa yakin bisa dapat 10 persen suara,” kata Zulkifli Hasan buka-bukaan. Apalagi, ”Karena semua merasa sama besar, bagaimana menentukan siapa yang RI-1 dan siapa yang RI-2 saja?” katanya lagi.
Riwayat tiga embrio koalisi ini belum tamat. Ada satu instrumen hukum yang bisa ”memaksa” semua partai peserta pemilu lebih serius merancang aliansi. Instrumen itu adalah Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden yang kini masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Satu pasal yang belum disepakati adalah soal persentase perolehan suara partai atau gabungan partai sebagai syarat pencalonan presiden.
Sejak awal, PDI Perjuangan dan Golkar mendesak agar hanya partai atau gabungan partai politik dengan perolehan suara minimal 30 persenlah yang berhak mengajukan kandidat. Menurut Wakil Ketua Panitia Khusus yang membahas rancangan peraturan ini, Yasonna Laoly, persyaratan dukungan suara yang besar akan mendorong konsolidasi partai-partai politik. ”Jumlah partai akan berkurang sehingga sistem presidensial pun diperkuat,” katanya. Namun pemerintah dan partai papan tengah di Dewan Perwakilan Rakyat menuntut angka itu diturunkan separuhnya.
Wahyu Dhyatmika, Sahala Lumbanraja, Kurniasih, Sutarto, Aqida Swamurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo