Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Era Aksi Jalanan Berlalu

Bekas aktivis mahasiswa 1998 ramai-ramai jadi calon anggota legislatif. Sejarah lama yang kembali berulang.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah bekas aktivis mahasiswa 1998 duduk berkumpul di sebuah restoran di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Tak seperti lima tahun silam ketika mereka merencanakan demonstrasi menggulingkan rezim Orde Baru, kali ini raut mereka lebih rapi dan bersih. Beberapa memang mengenakan T-shirt dan berjins, tapi tak ada lagi sepatu apak dan celana dengan robek di dengkul.

Yang dibahas adalah tudingan sejumlah rekan sesama aktivis bahwa mereka sudah berkhianat. Ada pula yang menjuluki mereka pemburu uang. Dalam diskusi sesama aktivis yang kini mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif Pemilu 2004 itu, mereka saling geram. "Kami bukan mahasiswa lagi. Kami jadi racun kalau masih berdemonstrasi mengatasnamakan mahasiswa," kata Taufan Hunneman, bekas aktivis Front Nasional yang juga hadir dalam pertemuan itu. Selain Taufan, yang merupakan calon legislatif Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), juga hadir malam itu Achmad Fachruddin (PAN), A. Budi Prasetyohadi, Wahab Talaohu (Partai Pelopor), dan Bernard Haloho (Golkar).

Telah lama, memang, sejumlah aktivis mahasiswa risau dengan dicalonkannya mereka sebagai anggota legislatif. Ini memang soal lama. Dengan masuk Senayan, dikhawatirkan mereka akan larut dalam politik dagang sapi ala parlemen selama ini. Apalagi beberapa di antara mereka memilih ke parlemen melalui Golkar, partai yang dulu mereka gugat. "Mereka cuma memikirkan karier politik semata. Indonesia ambruk kalau semua hanya memikirkan kepentingan sendiri," kata Syafi' Aliel'ha, bekas aktivis Forum Kota (Forkot). Bagi Syafi', menggantung pada partai, seperti Golkar, tak banyak gunanya. "Mana mungkin politikus memotong ranting tempat mereka bergantung," ujarnya lagi. "Golkar sudah busuk, ya, busuk saja," ujar dedengkot Forkot, Adian Napitupulu.

Ini memang bukan perdebatan baru. Tak sedikit mahasiswa angkatan 1966 hingga 1980 yang kemudian jadi politikus partai. Dari Akbar Tandjung (Golkar) sampai Heri Ahmadi (PDIP), sebelum masuk Senayan, dulunya adalah aktivis mahasiswa. Dalam setiap periode selalu saja ada mahasiswa lain yang memilih berada di luar struktur. Di awal Orde Baru dulu, almarhum Soe Hok Gie pernah mengirim bedak dan beha kepada rekan mereka sesama aktivis yang duduk di parlemen. Menurut Gie, aktivis mahasiswa yang bercokol di Senayan tak ubahnya pelacur yang menjajakan diri.

Seperti juga pendahulunya, para aktivis calon penghuni Senayan 2004 bukan tak punya argumentasi. Mereka menilai aksi-aksi jalanan tak lagi relevan. Setelah lima tahun reformasi berlalu, inilah saatnya menceburkan diri ke partai untuk memperbaiki keadaan dari dalam. Selain itu, "Kami masih memiliki ikatan moral dengan perjuangan mahasiswa," kata Achmad Fachruddin, bekas aktivis Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) yang biasa disapa Kasino.

Partai yang dipilih memang tak semata-mata Golkar. Wahab, misalnya, merasa dirinya pengamal Marhaenisme sehingga klop bergabung ke Partai Pelopor pimpinan Rachmawati Soekarnoputri. Taufan memilih PKB karena cocok dengan platform partai yang religius dan pluralis.

Kasino, yang menjadi calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Barat IX, memilih PAN karena berasal dari keluarga Muhammadiyah. Bernard dalam pertemuan Selasa malam itu cuma nyengir waktu disebut kualat karena masuk Golkar, partai yang dulu hendak dirobohkannya. "Saya mengalami pertentangan batin tatkala ditawari masuk ke Golkar setahun lalu," ujarnya. Tapi, belakangan ia memutuskan memakai jaket kuning. "Golkar sudah berubah. Saya juga mengubah cara pandang saya," katanya.

Politikus Golkar, Rully Chairul Azwar, tak menyangkal bahwa godaan untuk larut dalam politik sesaat di parlemen bisa menyeret mahasiswa untuk menanggalkan idealismenya. "Godaan berperilaku seperti politikus lama sungguh sulit ditaklukkan. Apalagi, berdasarkan pengalaman sejak 1966, biasanya mereka jadi larut," kata Rully terus terang.

Akankah kekhawatiran Rully itu terbukti? Belum bisa dipastikan. Apalagi tak semua aktivis berada pada nomor jadi dalam urutan daftar calon legislatif. Kasino, misalnya, adalah calon nomor urut 3 untuk wilayah Jawa Barat IX. Wahab mewakili Partai Pelopor untuk kawasan Jawa Barat VIII di nomor 3. Budi juga di nomor urut 3 untuk wilayah Jawa Barat VII. Melihat besarnya partai dan pengalaman Pemilu 1999 lalu, sebetulnya tak banyak harapan bagi mereka untuk terpilih.

Itulah sebabnya, di mata pengamat politik Syamsuddin Haris, pilihan aktivis masuk ke partai politik sebenarnya tak banyak gunanya. Menurut peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, bagaimanapun aksi ekstra-parlementer masih efektif membuat perubahan. "Makanya, mereka mesti jaga stamina," ia menambahkan. Tapi para mantan aktivis memang sudah mengambil pilihan: kursi DPR, bagaimanapun, terlalu menggairahkan. Namun, untuk sementara mereka mungkin cuma bisa jadi penggembira.

Jobpie Sugiharto dan Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus