Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMIM Mubham hanya memandangi lembaran kertas yang tergeletak di mejanya. Sekretaris Partai Kebangkitan Bangsa Cabang Gresik itu tak tahu, sejak kapan lembaran itu mampir di situ. Dengan masygul, ia membaca kalimat-kalimat dalam berkas yang dikirim Kantor Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas) Gresik, Jawa Timur. Rupanya lembaran itu kuisioner berisi pertanyaan tentang persepsi masyarakat terhadap Pemilu 2004.
Tapi mendadak Hamim mengerutkan dahi. Ia merasa tidak srek pada beberapa pertanyaan di lembaran itu. Apalagi daftar pertanyaan itu dikirim Kantor Kesbang Linmas. Pada zaman Orde Baru, kantor ini dikenal dengan nama Kantor Dinas Sosial Politik, yang berperan dalam menentukan "hitam putihnya" kehidupan sosial politik di daerah. "Karena itu saya malas mengisi," ujarnya kepada TEMPO pekan lalu.
Toh tak wajib diisi, pikirnya. Pula, tak ada sanksi. Hamim cuek saja. Ia enggan mengirim balik kuisioner itu ke Kantor Kesbang Linmas Gresik. Petugas pengirim angket juga tak ada yang datang untuk "menagih" jajak pendapat itu. Akhirnya, kuisioner bikinan Kantor Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, induk kantor Linmas tadi, hilang tak tentu rimbanya. Hamim tak sempat menyimpannya dalam arsip.
Dua lembar kuisioner itu berisi sejumlah pertanyaan. Garis besarnya dua tema, yakni tentang persepsi masyarakat terhadap Pemilu 2004 dan ihwal calon presiden yang ideal. Presiden pilihan responden juga diperinci latar belakangnya: dari kalangan partai politik, pengusaha, tokoh masyarakat, TNI, birokrat, atau yang lain. "Saya menduga ada agenda tertentu di balik kuisioner itu," ujarnya. Bukankah Menteri Susilo Bambang Yudhoyono—biasa disapa SBY—tengah bersiap maju sebagai calon presiden?
Kuisioner serupa terbang sampai ke Borneo. Seorang Ketua Komisi Pemilu (KPU) Kabupaten/Kota di Kalimantan, yang enggan disebut namanya, juga disodori. Ia curiga, jangan-jangan polling itu digelar untuk kepentingan Menteri Susilo, yang resmi dicalonkan sebagai presiden oleh Partai Demokrat. "Setelah sharing dengan rekan lain, ternyata mereka punya kecurigaan yang sama," ujarnya.
Angket rupanya menggali kesiapan rakyat untuk mencoblos. Soal sosialisasi sistem pemilu baru pada calon pemilih juga ditanyakan. Kantor Kementerian Koordinator juga bertanya tentang jumlah kursi di legislatif, cara pendaftaran, penetapan peserta pemilu, hingga pengajuan calon anggota DPR, DPRD I dan II, serta Dewan Perwakilan Daerah. "Dalam situasi seperti ini, sah-sah saja kita curiga," ujarnya. Apalagi pertanyaan itu juga dikirimkan untuk KPU daerah, gubernur, bupati, dan para pejabat daerah, serta kepala kepolisian setempat.
Kerja tim angket rupanya sudah dirintis lama. Sejak Oktober tahun lalu, 19 staf Kementerian anggota tim monitoring evaluasi dan pengamanan pemilu turun ke 24 provinsi dan 24 kabupaten/kota. Tim itu dipimpin Sekretaris Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Letjen Sudi Silalahi. Daerah yang disurvei antara lain Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, dan Irian Jaya.
Jajak pendapat itu tentu punya motif. Menurut Deputi II Politik Dalam Negeri Kementerian Polkam, M. Yasin, angket dimaksudkan untuk mengetahui keadaan riil di daerah menjelang pelaksaan Pemilu 2004. Perwira tinggi berbintang dua itu pun menunjukkan lembaran bersisi Surat Keputusan Menteri Nomor Kep-50/Menko/Polkam/10/2004 tentang pembentukan tim. "Jadi ini program resmi Polkam, bukan untuk kepentingan pencalonan SBY," kata Yasin. Laporan jajak pendapat itu kini tengah disusun.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Ecep S. Yasa, Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo