Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOFYAN Ali mengenang peristiwa pahit itu dengan hati teriris. Suatu hari di bulan Ramadan tahun lalu, mobilnya dicegat tiga lelaki bersenjata api. Mereka tak bertopeng, tapi tiga laras pistol langsung mengarah ke jidat Sofyan. Peluru memang tak jadi melesat. Hanya, satu pertengkaran sengit sempat meletup, dan berakhir dengan badan Sofyan babak-belur. "Mereka semua pernah sepiring makan dengan saya," ujar Sofyan, 54 tahun, tentang tiga lelaki yang menghajarnya itu.
Yang "sepiring makan" dengan Sofyan tak lain dari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Bireuen, kota kecil yang sibuk dan padat di Aceh Utara. Di kota itu pula Sofyan terkenal sebagai Tuan Kontraktor. Dia pernah mewakili Golkar parlemen lokal. Tapi, begitu Aceh disapu kembali oleh gelombang pemberontakan bersenjata, dia sempat juga berbalik gagang. Salah satu tokoh GAM di Bireuen berbisik kepada TEMPO, Sofyan pernah duduk di majelis GAM setempat.
"Waktu itu, siapa yang tak takut dengan GAM?" kata Sofyan. Dia mengaku dekat dengan kelompok bersenjata itu karena tertindih situasi. Gerakan itu, kata Sofyan, sempat mengendalikan pemerintahan lokal dan mengutip duit yang disebut "pajak nanggroe". Tapi, ketika gerakan itu mulai brutal, seperti menculik untuk mendapat tebusan duit, kata Sofyan, kebenciannya pun memuncak. Menjelang darurat militer berlaku di Aceh, dia datang ke petinggi TNI dan polisi. Dari mulutnya pun mengalir berbagai pengakuan, termasuk alasan mengapa dia terpaksa dekat dengan gerakan bersenjata itu.
Itulah sebabnya, pada hari ulang tahun GAM, 4 Desember lalu, Sofyan seakan menegaskan tempatnya berpijak. Hari itu, patung besar Teungku Hasan di Tiro, pemimpin GAM yang bermukim di Swedia, diseret massa ke alun-alun kota. Dengan segera api melalap patung itu dan juga dua lembar bendera GAM. "Tak ada tempat buat separatisme," teriak Sofyan berapi-api di tengah ribuan orang. Dia kini menjadi pemimpin puncak Front Perlawanan Separatis GAM.
Dari Bireuen, aksi serupa menjalar ke seluruh bumi Aceh. Di kaki bukit Peukan Biluy, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, satu rapat besar digelar, dua pekan silam. Mereka menamakan diri Front Perlawanan Anti-Separatis Aceh. Yang hadir pun umumnya anak muda. Penampilan mereka nyaris sama: ikat kepala merah-putih plus bambu runcing dan kelewang di tangan. "Ini bentuk perlawanan rakyat terhadap GAM," ujar Komandan Kodim Aceh Besar, Letkol Joko Warsito. Di Aceh, petinggi militer, bupati, ataupun camat kerap hadir dalam acara serupa ini.
Banda Aceh pun tak ketinggalan. Awal Januari lalu, muncul Front Penyelamat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Ribuan orang dari unsur siswa sekolah, pemuda desa, dan aneka organisasi masyarakat memadati Lapangan Blang Padang.
Acara yang menegangkan terjadi di Aceh Barat. Kelompok itu bernama Front Penyelamat Bumi Teuku Umar. Tak kurang dari 10 wartawan diterbangkan dari Banda Aceh dengan helikopter TNI ke sana untuk meliput acara apel akbar itu. Cuma, ada sedikit halangan. Dua warga sipil dan lima anggota TNI tewas ditembak gerilyawan GAM saat mau menghadiri hajatan politik itu. Karena penghadangan itu, acara makin panas. Mereka membakar poster empat tokoh GAM: Hasan Tiro, Zaini Abdullah, Muzakkir Manaf, dan Sofyan Daud.
Tapi, selain mengadakan rapat atau apel akbar, apa sebenarnya tugas front anti-GAM itu? Sofyan menyebutnya sebagai penangkal atau semacam "pagar betis". Soalnya, TNI dan Kepolisian RI saja, kata Sofyan, tak cukup untuk menahan gerakan gerilya di Aceh. Tugas para anggota front hanya satu: membantu aparat menunjuk siapa dan di mana anggota GAM berada.
Anatomi pendukung front ini pun menarik disimak. Latar belakang aktivisnya juga mengejutkan. Di Lhok Seumawe, misalnya, terkenal kelompok anak muda di bawah pimpinan M. Satria Insan Kamil. Nama organ mereka Benteng Rakyat Anti-Separatis (Berantas). Berantas memang dikenal berani melawan GAM meski mereka mengaku tidak punya senjata.
Satria pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam dan juga sempat bergabung dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ketika terjadi tragedi Simpang KKA (Lhok Seumawe) yang menewaskan puluhan orang pada 1999. Dulu tentu saja kegiatannya itu membuat dia berseberangan sikap dengan TNI. Tapi sekarang Satria banting setir. Kini dia justru menganjurkan agar orang menjadi pemburu anggota GAM di kampung-kampung.
Di tiap kampung, kata Satria, Berantas merekrut 10 pemuda—yang disebutnya kader inti. Para pemuda ini digosok pikirannya dengan soal keberadaan dan tujuan organisasi. Kata Satria, ada tiga tugas pokok front. Pertama, menghilangkan pengaruh GAM. Kedua, memberikan informasi. Dan ketiga, melawan GAM. Kini anggota mereka ribuan orang, mencakup semua kecamatan di Aceh Utara. "Melawan GAM bukan cuma dengan senjata, tapi juga memutus logistik," ujarnya.
Soal teknik memutus logistik ini, dengarlah cerita Hasbi Yunus, pemimpin front anti-GAM di Aceh Jaya. Pertama, "Kami akan memberitahukan lokasi GAM kepada pihak aparat keamanan." Lalu, kata Hasbi lagi, mendata semua keluarga GAM setempat. Para keluarga itu diberi waktu 10 hari untuk membujuk anggota keluarganya yang terlibat GAM agar menyerah. Bila menolak, keluarga itu justru diungsikan ke tempat lain. Alasannya, agar jalur logistik GAM terputus. Mereka juga tak gentar dengan GAM yang bersenjata. "Aparat berada di belakang kami," kata Hasbi.
Komandan Kodim 012 Teuku Umar, Kolonel Infanteri Geerhan Lentara, membantah militer berada di balik pembentukan front itu. "Ini murni berasal dari masyarakat," ujarnya. Dia juga menegaskan tak ada pelatihan militer untuk kelompok anti-GAM itu. Tapi Geerhan memberikan sinyal lain: "Untuk bela negara, latihan militer toh selalu terbuka." Milisi?
Penguasa Darurat Militer Aceh Mayjen TNI Endang Suwarya langsung menangkis tuduhan itu. Menurut dia, semua front itu muncul dari bawah dan tidak direkayasa. Soalnya, kata Endang, "Rakyat sudah bosan terus-menerus ditipu GAM." TNI juga sudah punya strategi sendiri untuk Aceh. Misalnya, menurut Endang, meningkatkan daya tangkal rakyat dengan penyuluhan anti-GAM. Pada awal darurat militer, rupanya misi itu belum berhasil. "Baru mendapat dukungan 30 persen saja," ujarnya kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Tapi Bupati Aceh Barat, Nasruddin, punya harapan lain. Menurut dia, pihaknya mungkin akan memberikan pelatihan dasar militer kepada front anti-GAM. Soalnya, pelatihan bela negara, kata sang Bupati, adalah kewajiban masyarakat. Bahkan, di Aceh Barat, "Pelatihan ini sudah diberikan kepada para lurah dan pegawai negeri," kata Nasruddin.
Kepada TEMPO, seorang pegawai di Aceh Barat mengaku pernah mendapat pelatihan dasar militer, Juli lalu. Saat itu, kata dia, sekitar 500 pegawai negeri diberi pelatihan sebagai antisipasi jika dihadang kelompok GAM. Mereka, kata si pegawai yang namanya tak mau disebut, diajari pengenalan aneka senjata, seperti M-16, AK-47, dan SS-1. "Kami diajari menembak masing-masing tiga sampai lima peluru," ungkapnya.
Setelah merata muncul di 22 kabupaten di Aceh, front itu akan punya agenda besar, Februari ini. Menurut Sofyan Ali, mereka akan menggelar semacam kongres untuk menyatukan semua kekuatan anti-GAM dalam satu wadah. Data anggotanya, kata Sofyan, bakal dirahasiakan. Soalnya, "Ini mendukung program kerja intelijen TNI menumpas separatisme," ujarnya.
Nezar Patria, Yuswardi Suud (Banda Aceh), Zainal Bakri (Lhok Seumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo