Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rame-Rame Pindah Hotel Prodeo

143 narapidana GAM dipindahkan ke beberapa penjara di Jawa Tengah. Padahal penjara di Jawa Tengah pun penuh.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEWI Marlina meraung-raung di ruang tamu Lembaga Pemasyarakatan Keudah, Banda Aceh, Kamis sore pekan lalu. Ia sangat terkejut ketika seorang tahanan memberi tahu bahwa Fakhruddin, suaminya, tak lagi menginap di hotel prodeo itu. Padahal sehari sebelumnya mereka masih sempat bercengkerama dari balik jeruji besi. "Tak ada yang memberi tahu. Seharusnya saya bisa nitip baju dan uang ala kadarnya," kata Dewi sambil terisak.

Dewi terlambat beberapa jam. Kamis pagi, suaminya yang tengah didera rematik telah dibawa ke Semarang. Ia dipindahkan ke salah satu penjara di kota itu bersama 53 narapidana anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lainnya. Lelaki 33 tahun itu ditangkap aparat akhir Mei lalu karena memeras dan memungut pajak Nanggroe bagi GAM dan diganjar hukuman 3,5 tahun penjara.

Bukan hanya keluarga yang tak tahu menahu soal pemindahan, para narapidana pun baru mengetahui pada Kamis subuh ketika mereka dibangunkan. Kasak-kusuk pemindahan, menurut seorang narapidana, sebetulnya santer beredar sejak sepekan sebelumnya. Hanya, tak ada pemberitahuan resmi mengenai siapa saja yang akan dipindahkan.

Semula, lima mantan juru runding GAM disebut-sebut akan ikut dipindahkan, yakni Sofyan Ibrahim Tiba, Nashiruddin bin Ahmed, Amni bin Ahmad Marzuki, Muhammad bin Usman, dan Teuku Kamaruzzaman. Mereka divonis 12-15 tahun penjara karena melanggar Pasal 106 KUHP tentang makar dan Undang-Undang Antiterorisme.

Kabar itu sempat membuat keluarga mereka resah. "Saya mohon, Bapak jangan dipindahkan," kata Sri Rahma Yanti, 28 tahun, putri Sofyan, sambil terisak. Menurut dia, orang tuanya yang kini berusia 56 tahun mengidap komplikasi penyakit jantung dan diabetes. Selama ini ia pun tak bisa makan menu tahanan.

Tapi, ternyata para juru runding tersebut urung dipindah karena mereka masih dalam proses kasasi.

Sementara itu, desas-desus di Penjara Keudah makin panas. Rabu malam, 13 tahanan LP Keudah diambil dari selnya dan dipindah ke ruangan lain bersama 41 narapidana yang baru tiba dari berbagai penjara di Aceh. "Paginya, kami baru tahu merekalah yang akan dipindahkan," kata seorang tahanan.

Kamis pagi, dalam kawalan ketat TNI/Polri, ke-54 narapidana itu diangkut dengan truk polisi ke Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar. Mereka tampak lusuh dengan seragam penjara warna biru dan tangan dirantai satu sama lain. Wajah mereka menunduk makin dalam ketika wartawan memotret.

Pagi itu juga, pukul 10.00, pesawat Hercules TNI terbang membawa ke-54 napi. Mereka ditempatkan di LP Ambarawa, LP Magelang, dan LP Pekalongan.

Sehari kemudian, 89 narapidana GAM lainnya diterbangkan dari Bandara Malikussaleh, Lhok Seumawe. Para napi rombongan kedua ini ditempatkan di LP Kelas I Semarang, LP Permisan Nusakambangan, LP Kembang Kuning, dan LP Batu Nusakambangan.

Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan pemindahan hanya berlaku bagi narapidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pertimbangannya, lembaga pemasyarakatan di Aceh sudah penuh dan Departemen Kehakiman tengah memperbaikinya. Hal ini adalah konsekuensi Departemen Kehakiman yang tidak setuju menjadikan Pulau Nasi sebagai penjara. "Sebagai narapidana biasa, policy-nya adalah policy pembinaan," kata Yusril.

Namun Direktur LSM Imparsial, Munir, menyatakan bahwa alasan penjara di Aceh sudah penuh tidak bisa dijadikan dalih karena lembaga pemasyarakatan di Jawa Tengah juga sudah penuh. Munir menduga, alasan pemindahan sesungguhnya adalah untuk pengasingan. "Kalau di Aceh penuh, mengapa tidak dipenjara di Medan saja?" ujar Munir.

Hamzah, Dewan Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), bahkan menyamakan langkah pemindahan itu seperti politik isolasi Belanda terhadap Panglima Perang Aceh Cut Nyak Dien. Setelah tertangkap pada 16 November 1905, pahlawan Perang Aceh itu diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, hingga wafatnya. "Solusi pemerintah bertambah irasional dan kekanak-kanakan," ujarnya.

Penguasa Darurat Militer Aceh, Mayjen Endang Suwarya, memberi dua alasan pemindahan. Pertama, dari sisi kemanusiaan, narapidana diharapkan mendapat pembinaan lebih manusiawi dan tak berdesak-desakan dalam tahanan. Kedua, dari aspek ideologi, pemindahan bertujuan memutus hubungan mereka dengan anggota GAM yang masih berkeliaran. "Di Aceh atau di Medan, mereka akan diganggu anggota GAM terselubung yang sulit dideteksi," ujarnya.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Yuswardi A. Suud, dan Tjandra Dewi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus