Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Lindu Berminggu-minggu

Porak-poranda oleh gempa bertubi-tubi, sejumlah kantor pemerintahan di Lombok sempat lumpuh. Masalah menumpuk, dari distribusi bantuan yang tak merata hingga lemahnya koordinasi antarlembaga. Terjebak perdebatan status bencana.

25 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pendataan Rumah di Lombok Barat Rampung pada September

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH truk tanpa muatan memasuki halaman kantor Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada Kamis pekan lalu. Truk lalu berhenti di depan pos komando bencana gempa kecamatan itu. Seorang penumpangnya melompat turun dan segera menemui Camat Sambelia, Zaitul Akmal. "Pak, kami diutus kepala desa mengambil barang," kata pria yang mengaku perwakilan Desa Padak Guar tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut pria itu, Kepala Desa Padak Guar memintanya menyiapkan tujuh kendaraan untuk mengangkut terpal dan logistik lain dari kantor kecamatan. Zaitul Akmal mengernyit. Ia merasa tak pernah memerintahkan kepala desa di wilayahnya mengambil logistik bagi pengungsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Informasi yang simpang-siur itu membikin Zaitul jengkel. Apalagi stok logistik dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang ia tunggu hari itu tak kunjung tiba. "Katanya hari ini," ucapnya. "Kok, tiba-tiba ada perintah mengambil barang? Ini isu."

Distribusi logistik menjadi salah satu persoalan dalam penanganan pascabencana di Lombok. Gelombang gempa mengguncang Nusa Tenggara Barat sejak 29 Juli lalu. Mulanya 6,4 skala Richter. Lalu, pada 5 Agustus, gempa dengan kekuatan 7 skala Richter yang berpusat di Lombok Utara meluluhlantakkan sejumlah kawasan di Pulau Lombok. Hingga Selasa pekan lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat terjadi 1.005 gempa dengan berbagai magnitudo.

Menurut data penanganan darurat bencana, hingga Kamis pekan lalu, gempa menewaskan 555 orang. Sebanyak 390 ribu penduduk mengungsi karena tempat tinggal mereka ambruk dan khawatir terjadi gempa susulan. Lombok Utara dan Lombok Timur menjadi kawasan paling parah tertimpa bencana.

Di Lombok Timur, Kecamatan Sambelia merupakan salah satu titik dengan dampak gempa paling gawat. Di kecamatan ini ada 11 desa dengan penduduk sebanyak 23 ribu. Semuanya menjadi pengungsi hingga Sabtu pekan lalu. Mereka belum berani beraktivitas di dalam rumah karena gempa terus terjadi.

Zaitul mengeluhkan minimnya uluran pemerintah. Bantuan justru ia dapatkan dari sumbangan masyarakat. "Kami membutuhkan banyak terpal untuk di rumah masing-masing," ujarnya.

Aktivitas pemerintahan di Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, juga berjalan tertatih-tatih. Camat Pringgabaya, Ahmad Masfu, mengatakan, setelah gempa besar pada 5 Agustus, pegawainya mengalami trauma. "Kantor dan rumah kami porak-poranda," kata Ahmad. Sempat tak bekerja selama beberapa hari, mereka kini berkantor di sebuah tenda besar.

Di tengah kekalutan karena gempa susulan terus terjadi, Ahmad mendata kerusakan di wilayahnya. Dia menerangkan, data tersebut sudah diserahkan pada awal pertengahan Agustus kepada BPBD Lombok Timur. Namun bantuan yang datang jauh dari harapan. Pada Kamis pekan lalu, satu truk logistik bermuatan makanan, air, terpal, dan kebutuhan bayi tiba di kecamatan itu. Satu desa dijatah dua kardus air minum. "Ya tentu tidak cukup. Mau bagaimana lagi?" tuturnya.

Ahmad mengatakan warganya membutuhkan selimut, air bersih untuk minum dan mandi, serta logistik. Tenda yang tersedia, menurut dia, tak lebih dari 10 persen kebutuhan. Toko-toko di kecamatan itu tak lagi menjual terpal karena sudah diborong penduduk. Waktu kedatangan logistik dari BPBD pun tak menentu. "Kadang empat hari sekali, kadang seminggu sekali," ucapnya.

Kecamatan Suela di Lombok Timur juga sempat lumpuh. Mulanya, gempa hanya meretakkan bangunan. Namun, setelah diguncang gempa berturut-turut, sebagian besar bangunan di delapan desa di kecamatan itu rata dengan tanah. Kini, sebanyak 53 ribu penduduknya mengungsi di berbagai titik.

Camat Suela, Sukarma, mengeluh lantaran pemerintah provinsi tak pernah turun ke wilayahnya. Bukan cuma itu, pendataan korban di tengah musibah pun rumit. Korban mesti memperlihatkan data administrasi berupa kartu keluarga dan kartu tanda penduduk.

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie, melawat ke Lombok pada 8 dan 9 Agustus lalu. Menurut Alvin, koordinasi antara pemerintah daerah dan aparat di bawahnya macet. Alvin melihat banyak bantuan yang terkumpul tak terdistribusikan. "Akhirnya banyak relawan yang jalan sendiri-sendiri," ujarnya.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei mengatakan kekacauan distribusi logistik disebabkan oleh banyaknya pihak yang turun ke lapangan tanpa berkoordinasi. Menurut dia, ada organisasi yang datang sendiri tanpa membagikan informasi kegiatannya kepada pos komando. Idealnya, kata Willem, "Mereka datang dan bilang, ’Pak, kami datang dengan kemampuan ini. Kekurangannya di mana?’"

Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi mengakui banyak keluhan mengenai distribusi bantuan yang tidak merata. "Selalu ada kurang-lebih," katanya.

Sekarang, Zainul menambahkan, pemerintah telah memperbaiki manajemen distribusi, terutama ke wilayah episentrum gempa seperti Bayan, Gangga, dan Kayangan. Distribusi bantuan terlambat sampai karena daerah-daerah itu berada di perbukitan. Zainul mengklaim distribusi kini merata karena dia mengerahkan petugas bersepeda motor untuk mengangkut bantuan ke atas bukit.

l l l

SEHARI setelah diguncang gempa besar ketiga pada Ahad, 19 Agustus lalu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat berkumpul di rumah dinas Ketua DPRD Baiq Isvie Rupaeda di Jalan Langko, Mataram. Pertemuan itu membahas kerusakan akibat gempa yang berentetan terjadi sejak 29 Juli. Mereka pun membicarakan pelayanan bagi masyarakat karena banyak aparat pemerintah menjadi korban.

Menurut Baiq Isvie, meski kantor pemerintahan tak sepenuhnya tutup, aktivitas di sana tak berjalan optimal. "Gempa di Lombok jangkauannya sangat luas, masif, dan berulang," tuturnya.

Semua fraksi berpendapat pemerintah daerah tak sanggup lagi mengatasi keadaan. Pertemuan akhirnya menyepakati bahwa mereka akan bersurat kepada Presiden Joko Widodo agar gempa Lombok ditetapkan sebagai bencana nasional. "Sebenarnya, yang penting pemerintah pusat membantu," ujar Baiq Isvie.

Kemauan DPRD sebenarnya serupa dengan keinginan Gubernur Zainul Majdi. Kepala Badan Search and Rescue Nasional Marsekal Muda Muhammad Syaugi mengungkapkan, Zainul meminta kenaikan status dalam rapat kabinet pada 10 Agustus di Istana Kepresidenan. "Sudah disampaikan Pak Gubernur, tapi Presiden arahannya tidak bencana nasional," kata Syaugi.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan pemerintah tak menaikkan status gempa Lombok karena khawatir mengganggu sektor pariwisata. Status bencana nasional bakal membuat seluruh Pulau Lombok ditutup untuk wisatawan. Ia khawatir Indonesia mengalami kerugian lebih besar. Sebab, banyak negara bakal mengeluarkan travel warning tidak hanya untuk berpesiar ke Lombok, tapi juga ke wilayah lain di Indonesia. "Dampak luar biasanya itu yang tidak diketahui publik," ucap Pramono.

Belakangan, Gubernur Zainul berubah sikap. Ia menyatakan sebagian daerah di Nusa Tenggara Barat masih berdenyut. Misalnya Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Senggigi, dan Pulau Moyo. Menurut Zainul, daerah-daerah tersebut masih bisa dikunjungi wisatawan. "Apabila gempa Lombok ini dinyatakan sebagai bencana nasional, Pulau Lombok dan Sumbawa akan ’mati’ dan pemulihannya akan lama," tuturnya.

Anggota Ombudsman, Alvin Lie, mengkritik pemerintah menggunakan sektor pariwisata sebagai alasan tak meningkatkan status bencana gempa Lombok. Ia menyebutkan kabar mengenai gempa Lombok telah tersiar ke seluruh dunia. Tanpa kenaikan status menjadi bencana nasional, wisatawan akan berpikir dua kali untuk berkunjung ke Lombok. "Enggak ada wisatawan datang ke daerah bencana," ujar Alvin.

Ia menilai perubahan status bencana cenderung politis. "Ada keengganan dari pemerintah untuk mengaku kalah."

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan penyematan status bencana nasional bakal berdampak buruk bagi Indonesia. Status tersebut justru akan menunjukkan lemahnya Indonesia dalam menangani bencana. Apalagi, kata Sutopo, Gubernur Zainul Majdi menyatakan sanggup mengatasi keadaan. "Kalau sedikit-sedikit bencana nasional, daerah akan lepas tanggung jawab."

Hingga pekan keempat Agustus, mekanisme penyaluran bantuan untuk Lombok tak kunjung jelas. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengeluarkan edaran agar gubernur dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia membantu masyarakat Lombok. "Surat Mendagri untuk memfasilitasi sekaligus bersifat imbauan," katanya.

Dalam suratnya, Tjahjo menyebutkan dasar hukum pemberian bantuan keuangan ini. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 menyatakan daerah bisa memberikan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus kepada pemerintah daerah lain. Menurut Tjahjo, untuk bantuan penanggulangan bencana alam, pemerintah daerah dapat memanfaatkan saldo sisa anggaran tahun sebelumnya. Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Syafruddin mengatakan surat Tjahjo tidak bersifat wajib.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan BNPB menyiapkan anggaran sebesar Rp 1,1 triliun dalam program penanggulangan bencana. Sebanyak Rp 557,7 miliar telah dicairkan untuk makanan, perlengkapan keluarga, sandang, dan tenda. Sejumlah kementerian pun, Sri Mulyani menambahkan, telah mengalokasikan dana senilai total Rp 428,1 miliar.

Pada Kamis pekan lalu, Presiden Joko Widodo akhirnya menerbitkan instruksi presiden tentang penanggulangan dan rehabilitasi gempa Lombok. Menurut Jokowi, inpres ini akan menjadi tatakan hukum bagi kementerian dalam menangani korban gempa. Ia berjanji terbang ke Lombok untuk memantau kondisi pengungsi. "Mungkin minggu ini atau minggu depan," katanya.

Wayan Agus Purnomo, Budiarti Utami Putri, Andita Rahma, Ahmad Faiz, Friski Riana (Jakarta), Linda Trianita (Lombok)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wayan Agus Purnomo

Wayan Agus Purnomo

Meliput isu politik sejak 2011 dan sebelumnya bertugas sebagai koresponden Tempo di Bali. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk menyelesaikan program magister di University of Glasgow jurusan komunikasi politik. Peraih penghargaan Adinegoro 2015 untuk artikel "Politik Itu Asyik".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus