Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENETAPAN Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai Menteri Sosial menunjukkan Presiden Joko Widodo lebih mendahulukan kepentingan elektoral dirinya ketimbang menciptakan pemerintahan yang bersih dan profesional. Pekan lalu, politikus Golkar itu diangkat menjadi pembantu Presiden menggantikan Idrus Marham, yang mundur karena menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alih-alih mengangkat menteri dari kalangan profesionalyang bisa menjamin terlaksananya program pemerintah tanpa vested interest partai politikJokowi kembali mempercayakan Kementerian Sosial dipimpin politikus Golkar. Padahal Kementerian Sosial adalah lembaga strategis dalam penyaluran bantuan dan upaya penanggulangan kemiskinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini, Agus tak dikenal memiliki rekam jejak dan pengalaman dalam urusan bencana dan kemiskinan. Di tengah ancaman pelbagai kesusahan, pemerintah memerlukan menteri yang lincah agar dalam waktu yang sempit di akhir pemerintahan Jokowi anggaran negara di bidang bantuan sosial bisa efektif disalurkan. Dengan mengangkat Agus, Jokowi juga mencampuradukkan tugas pejabat negara dengan tim pemenangan. Sebelum ditunjuk sebagai menteri, Agus merupakan bendahara tim sukses Jokowi-Ma’ruf Amin.
Motif elektoral Jokowi ini layak disesali. Presiden sebetulnya punya kesempatan mengembalikan kepercayaan publik kepada pemerintah dengan mengurangi jatah partai di dalam kabinet. Mencemaskan masa depan koalisi dengan menunjuk wakil partai di kabinet merupakan tindak berlebihan. Bagaimanapun, koalisi pendukung Jokowi sudah terbentuk dengan Golkar sebagai salah satu penyokong. Dengan menunjuk menteri nonpartai, Jokowi justru berkesempatan meraih lebih banyak simpati publik.
Gelagat penerapan politik elektoral oleh Jokowi sebetulnya sudah terlihat ketika mengangkat Idrus Marham sebagai Menteri Sosial pada Januari lalu. Ketika itu, Idrus menggantikan Khofifah Indar Parawansa, yang mundur karena mencalonkan diri sebagai kandidat Gubernur Jawa Timur. Penunjukan Idrus sempat menjadi omongan karena, dalam pemilihan presiden 2014, ia adalah "panglima tempur" tim Prabowo Subianto, rival Jokowi.
Pengangkatan Idrus melengkapi sikap terbuka Jokowi terhadap Partai Golkar. Sebelumnya, Presiden mengangkat Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian. Airlangga adalah Ketua Umum Partai Golkar, setelah Setya Novanto, ketua sebelumnya, tersingkir karena perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik. Jokowi membuka pintu kepada Golkar untuk memperkuat koalisi pemerintah menjelang pemilihan umum tahun depan.
Apa yang terjadi pada Idrus Marham semestinya mengingatkan Jokowi tentang perlunya berhati-hati dalam memilih menteri. Idrus merupakan menteri pertama dalam pemerintahan Jokowi yang menjadi tersangka korupsi. Ia diduga terlibat pengaturan suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pada 2017. Anggaran proyek ini dibahas dua tahun lalu. Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Eni Saragih diduga menerima suap Rp 4,8 miliar dari Johannes B. Kotjo, pengusaha yang mengerjakan proyek tersebut. Penyidik KPK menangkap Eni di rumah dinas Idrus ketika tuan rumah sedang merayakan pesta ulang tahun anaknya.
Setelah menangkap Eni, KPK menggeledah rumah Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Seperti hasil sementara penyidikan KPK, diduga ada perencanaan korupsi antara DPR, PLN, dan pengusaha dalam proyek tersebut. Karena itu, penyidikan terhadap Idrus harus terus dikembangkan sampai otak utama korupsi PLTU senilai Rp 12,87 triliun itu tercokok. Idrus terkait dalam korupsi ini karena posisinya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar. Eni adalah kader dan anak buah Idrus di partai itu.
Perkara Idrus Marham hendaknya membuka mata Jokowi bahwa pertimbangan elektoral tak selalu menguntungkan dirinyajuga orang ramai. Mengajak sebanyak mungkin partai koalisi masuk kabinet boleh jadi dapat memperkuat pemerintahan, tapi hal sebaliknya dapat pula terjadi: pemerintah terbebani oleh kepentingan partai. Perkara Idrus Marham menambah panjang daftar mudarat itu: coreng hitam kini tertoreh di wajah pemerintah pada usia yang belum genap empat tahun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo