Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah tenda, delapan perempuan muda meriung di depan sebuah tungku yang meruapkan aroma rempah. Salah seorang dari mereka memangku piring penuh nasi. Seseorang yang lain kemudian berseru: "Sudah matang. Ayo, makan!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah memberi aba-aba, perempuan itu kemudian mencedok kuah dari tungku ke atas nasi. Ketujuh perempuan lain telah bersiap dengan sendok masing-masing dalam genggaman. Dari piring yang sama, mereka bergantian menyantap nasi berkuah tanpa lauk itu hingga licin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah seorang dari mereka bangkit, lalu mengambil lima bungkus mi instan. Mi mentah itu kemudian ditenggelamkan di tungku berisi kuah tadi. Setelah mi matang, mereka segera melahapnya sampai tandas. "Tadi masih lapar," kata Delia, salah seorang dari mereka. "Beginilah kami makan."
Selama tiga pekan terakhir, para perempuan yang rata-rata berumur menjelang 20 tahun itu hampir selalu bersantap bersama. Setelah rumahnya di Dusun Sajang di Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ambruk, mereka tinggal di pengungsian di lapangan kampung di desa yang menjadi gerbang ke Gunung Rinjani itu. Pada Rabu pekan lalu, saya menginap di tenda pengungsi bersama mereka.
Ada sekitar 450 orang berdiam di Posko 1 Dusun Sajang. Mereka menghuni 12 tenda berukuran 4 x 8 meter. Sebuah tenda bisa ditinggali 30-40 orang. Saat malam tiba, saya menyempil di antara Delia dan para sahabatnya.
Adapun 600-an warga Sajang lain berada di Posko 2, yang terletak sekitar 500 meter tak jauh dari Posko 1. Sebagian lagi tinggal di tenda yang didirikan di dekat puing rumah masing-masing. Hanya ada dua kakus portabel yang berfungsi di sisi selatan lapangan. Dua kakus lain, di sisi utara, masih terbungkus plastik.
Hampir semua rumah di Desa Sajang luluh-lantak diguncang gempa berkekuatan 6,4 skala Richter pada Ahad, 29 Juli lalu. Salah satunya rumah keluarga Eni, perempuan muda di tenda tempat saya menginap. "Saya, kakak, inak (ibu), dan amak (ayah) berhasil ke luar rumah, tapi masih kena luka di kepala," ujarnya.
Waktu itu Eni sedang membantu ibunya menyiapkan sarapan untuk tamu penginapan. Keluarganya membuka penginapan kecil, yang menyatu dengan kediaman mereka, untuk menampung para pendaki yang ingin naik ke puncak Rinjani atau yang baru turun dari gunung dengan ketinggian 3.726 meter itu. Di penginapan paman Eni, yang bersebelahan dengan kediaman Eni, saat itu ada tujuh tamu warga Malaysia menginap sehabis mendaki Rinjani.
Belum lagi sarapan selesai dihidangkan, Eni merasakan lantai yang dipijaknya berayun. Lalu terdengar retakan tembok disusul suara bergemuruh. Keras sekali. Eni berlari keluar meski runtuhan tembok sempat menimpa kepalanya. Dengan darah mengucur dari ubun-ubun, ia mengecek keberadaan anggota keluarganya. Semua selamat, tapi satu dari tujuh tamu Malaysia di penginapan paman Eni tewas. "Dia tertimpa pilar," kata Eni.
Sejak saat itu, Eni tinggal di pengungsian dibayangi ketakutan. Gempa datang bersusulan pada pagi, siang, juga malam. Pada 5 Agustus, gempa lebih besar mengguncang. "Kami sudah di tenda, tapi tetap berhamburan keluar karena takut dan panik," ujarnya. Kembali terdengar gemuruh dari rumah-rumah warga yang sebelumnya hanya retak. Kini bangunan-bangunan tersebut ambruk dan rata dengan tanah.
Saya menyusuri Desa Sajang pada Rabu dan Kamis pekan lalu. Hanya tinggal 12 rumah yang masih tegak. Semuanya terbuat dari kayu. Bangunan lain, termasuk tempat ibadah, yang kebanyakan berdinding bata roboh bergelimpangan. Salah satu desa tempat singgah para pendaki yang hendak ke Rinjani itu tinggal nama.
Tak ada lagi keramaian pendaki, yang biasanya berlalu-lalang di Sembalun sepanjang musim. Pada puncak musim pendakian, biasanya Juli-Agustus, pelancong bahkan sampai menggelar matras di tepi jalan di kaki Rinjani itu karena kamar penginapan ludes. Kini, sehabis isya, Sembalun seperti kampung mati. Hanya ada pengungsi yang berdiam di tenda masing-masing. "Di atas jam 7 malam, kampung jadi senyap," kata Lala, relawan dari Tim Penanggulangan Bencana Muhammadiyah (MDMC).
Lala bersama 12 kawannya berangkat dari Solo, Jawa Tengah, menuju Sembalun untuk menjadi relawan sepekan sebelum bertemu dengan saya. Menurut Lala, ketika ia tiba di sini, tak ada relawan penuh waktu yang membantu pengungsi. Ia melihat anak-anak tak bersekolah dan mengalami trauma. Demikian juga orang dewasa. "Warga bingung tidak tahu harus beraktivitas apa. Mereka mulai stres," ujarnya.
Andi Suhasdi, ketua rukun tetangga di sana, mengatakan warganya ketakutan dirundung gempa susulan. Ia dan warga lain yang kebanyakan petani kopi dan cokelat tak berani turun ke kebun. Padahal saat ini waktunya panen. "Kami biarkan kopinya matang di pohon," kata Andi. "Tentu merugi, tapi kami takut ke kebun."
Andi dan keluarganya tinggal di salah satu tenda di Posko 1. Ia memikirkan kebun kopinya, tapi lebih khawatir terhadap anak bungsunya yang baru berusia satu bulan. "Saat gempa pertama pada 29 Juli, anak saya baru berusia satu minggu," ujarnya.
Kini, sehari-hari, Andi dan para pengungsi lain hanya mengandalkan bantuan. Saat gempa pertama, bantuan datang melimpah ke Sembalun, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Mataram. Tapi, setelah gempa?besar kedua pada 5 Agustus, bantuan beralih ke Kabupaten Lombok Utara, yang lima kecamatannya juga boyak digoyang gempa 7 skala Richter.
Gempa besar kembali terjadi pada 19 Agustus lalu, kali ini berkekuatan 6,9 skala Richter dengan episentrum di Lombok Timur. Karena hampir semua bangunan di Sembalun sudah luluh-lantak, lindu itu hanya menambah trauma warganya di pengungsian.
Tiga pekan di pengungsian, mereka mulai terjangkit pilek dan gatal-gatal. Koordinator relawan di Sembalun, Eko Taris, mengatakan telah meminta bantuan Palang Merah Indonesia dan tim medis Muhammadiyah untuk mengecek kesehatan penduduk. "Karena keterbatasan tenaga, kemarin pemeriksaannya hanya sebentar," ujarnya.
Masalah lain adalah bahan makanan. Eko mengatakan persediaan logistik hampir kosong. Beras dan air minum menipis. Ia kini membagikan logistik yang tersisa di tenda relawan untuk para pengungsi seperti Delia dan Eni agar sepiring nasi dengan kuah tanpa lauk bisa dimakan beramai-ramai hingga bantuan datang.
Linda Trianita (Lombok)
Kampung Sunyi di Kaki Rinjani
-
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo