Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bagaimana menutup lobang

Tanggapan prof.dr. achijani atmakusuma, direktur pembinaan penelitian & pengabdian pada masyarakat dep. dikbud dan prof.dr. selo sumardjan tentang masalah plagiat. dijelaskan beda plagiat dengan kutipan. (pdk)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI P & K Daoed Joesoef, sebelum berangkat ke Padang pekan lalu, menyesalkan adanya penulisan karya ilmiah yang merupakan jiplakan. "Ini perlunya digalakkan kebudayaan tulisan," katanya. Dengan mengambil kesempatan belum terbinanya tradisi tulisan, tradisi membaca orang lalu seenaknya saja menjiplak tulisan orang lain. Sejauh wewenangnya, "akan saya tindak kalau memang terbukti melakukan penjiplakan," lanjut Daoed. Itu sehubungan dengan kasus d Pusat Sejarah dan Kebudayaan, Sul-Sel, dan kasus karya ilmiah di Fak Hukum Unair (TEMPO, 28 April). Prof Dr Achjani Atmakusuma, Direktur Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Ditjen Pendidikan Tinggi, menolak memberikan informasi sejauh mana pemerintah sudah turun tangan mengenai salah satu kasus tersebut. "Kami sudah membentuk tim dan sudah selesai melakukan penelitian. Tapi itu wewenang Menteri atau Dirjen PT untuk mengumumkannya dan mengambil tindakan," katanya. Toh, Achjani sempat bercerita, untuk menentukan satu tulisan merupakan plagiat dari tulisan lain, sulit. "Kmi harus hati-hati sekali. Misalnya, hanya ada satu alinea yang sama, apakah sudah cukup untuk dijadikan bukti?" tutur Achjani. "Tapi kami tak segan-segan mengambil tindakan, untuk membersihkan nama ilmiawan Indonesia. angan karena nila setitik rusak susu sebelanga." Ada yang sudah mengkaji kasus di Fak Hukum UNAIR. Ditemui di rumahnya, Prof Dr Selo Sumardjan, mengatakan: "Mengutip karya orang lain itu bebas dan baik. Tapi harus menyebut sumber dengan jelas: karangan siapa, buku mana, siapa penerbitnya." Lanjut Ketua Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial itu: "Kalau tidak, itu plagiat namanya." "Pada pembaca, tulisan si Anu dari UNAIR, memberi kesan itu tulisannya sendiri. Ini tidak benar," kata Selo. Bahasanya Jelek Jadi perlukah semacam kode etik untuk ilmiawan? "Tidak perlu. Sebagai intelektual harus sadar sendiri," kata Achjani. Meski begitu, menurut Selo Sumardjan, tahun 1977 pemah ada seminar tentang etika ilmiah di Medan. Yang dibicarakan antara lain: "Bahwa mengutip harus jelas-jelas disebut sumbernya bahwa tak boleh memasukkan istilah kasar, misalnya untuk memaki-maki dalam karya ilmiah. Dan penulis harus jujur." Untuk menetapkan hasil seminar itu menjadi semacam kode etik, menurut Selo "sulit dicapai kesepakatan." Padahal salah satu syarat mendapatkan titel sarjana, penulisan skripsi, ternyata mempunyai lubang-lubang yang memberi kesempatan penjiplakan dilakukan. Seorang penulis skripsi dari UI misalnya, bisa saja menjiplak skripsi salah seorang mahasiswa UGM. Dan bagaimana pihak dosen penguji mengetahuinya, temyata memang susah. "Itu kelemahan kita. Belum ada sistim komunikasi antar universitas dalam tukar menukar informasi," kata Achjani. Itu dibenarkan drs Harsono Suwardi, Pembantu Dekan Bidang Penelitian FIS UI. "Kalau hanya dalam satu fakultas, gampang menceknya. Tapi kalau sudah antar fakultas? apalagi antar universitas memang sulit." Sekretaris Fak Sastra & Kebudayaan UGM pun tak menolak kemungkinan skripsi jiplakan. Tapi menurut Djoliosumitro, sekretaris itu, kalau terjadi pasti akan diketahui. "Kalau yang bersangkutan bahasanya jelek, tahu-tahu skripsinya lancar, patut dicurigai," katanya. Lalu bagaimana cara mencegahnya? Harsono menyarankan, "Dalam skripsi kutipan dari tulisan lain tak boleh lebih dari lima kalimat dan diketik dalam spasi berbeda dengan tulisan penulis skripsinya." Juga disarankannya, kalau ada persamaan pikiran antara si penulis dengan tulisan lain yang pernah ada, harus disebutkan secara jelas. Ada usaha lain yang mungkin lebih praktis. Kata Achjani: "Saya dalam pertemuan dengan rektor-rektor selalu meminta mereka menerbitkan daftar skripsi masing-masing universitasnya, untuk kemudian diadakan tukar menukar antar universitas."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus