MENTERI P & K Daoed Joesoef, sebelum berangkat ke Padang pekan
lalu, menyesalkan adanya penulisan karya ilmiah yang merupakan
jiplakan. "Ini perlunya digalakkan kebudayaan tulisan," katanya.
Dengan mengambil kesempatan belum terbinanya tradisi tulisan,
tradisi membaca orang lalu seenaknya saja menjiplak tulisan
orang lain.
Sejauh wewenangnya, "akan saya tindak kalau memang terbukti
melakukan penjiplakan," lanjut Daoed. Itu sehubungan dengan
kasus d Pusat Sejarah dan Kebudayaan, Sul-Sel, dan kasus karya
ilmiah di Fak Hukum Unair (TEMPO, 28 April).
Prof Dr Achjani Atmakusuma, Direktur Pembinaan Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat, Ditjen Pendidikan Tinggi, menolak
memberikan informasi sejauh mana pemerintah sudah turun tangan
mengenai salah satu kasus tersebut. "Kami sudah membentuk tim
dan sudah selesai melakukan penelitian. Tapi itu wewenang
Menteri atau Dirjen PT untuk mengumumkannya dan mengambil
tindakan," katanya.
Toh, Achjani sempat bercerita, untuk menentukan satu tulisan
merupakan plagiat dari tulisan lain, sulit. "Kmi harus
hati-hati sekali. Misalnya, hanya ada satu alinea yang sama,
apakah sudah cukup untuk dijadikan bukti?" tutur Achjani. "Tapi
kami tak segan-segan mengambil tindakan, untuk membersihkan nama
ilmiawan Indonesia. angan karena nila setitik rusak susu
sebelanga."
Ada yang sudah mengkaji kasus di Fak Hukum UNAIR. Ditemui di
rumahnya, Prof Dr Selo Sumardjan, mengatakan: "Mengutip karya
orang lain itu bebas dan baik. Tapi harus menyebut sumber
dengan jelas: karangan siapa, buku mana, siapa penerbitnya."
Lanjut Ketua Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial itu: "Kalau tidak, itu
plagiat namanya."
"Pada pembaca, tulisan si Anu dari UNAIR, memberi kesan itu
tulisannya sendiri. Ini tidak benar," kata Selo.
Bahasanya Jelek
Jadi perlukah semacam kode etik untuk ilmiawan? "Tidak perlu.
Sebagai intelektual harus sadar sendiri," kata Achjani. Meski
begitu, menurut Selo Sumardjan, tahun 1977 pemah ada seminar
tentang etika ilmiah di Medan. Yang dibicarakan antara lain:
"Bahwa mengutip harus jelas-jelas disebut sumbernya bahwa tak
boleh memasukkan istilah kasar, misalnya untuk memaki-maki dalam
karya ilmiah. Dan penulis harus jujur." Untuk menetapkan hasil
seminar itu menjadi semacam kode etik, menurut Selo "sulit
dicapai kesepakatan."
Padahal salah satu syarat mendapatkan titel sarjana, penulisan
skripsi, ternyata mempunyai lubang-lubang yang memberi
kesempatan penjiplakan dilakukan. Seorang penulis skripsi dari
UI misalnya, bisa saja menjiplak skripsi salah seorang mahasiswa
UGM. Dan bagaimana pihak dosen penguji mengetahuinya, temyata
memang susah. "Itu kelemahan kita. Belum ada sistim komunikasi
antar universitas dalam tukar menukar informasi," kata Achjani.
Itu dibenarkan drs Harsono Suwardi, Pembantu Dekan Bidang
Penelitian FIS UI. "Kalau hanya dalam satu fakultas, gampang
menceknya. Tapi kalau sudah antar fakultas? apalagi antar
universitas memang sulit."
Sekretaris Fak Sastra & Kebudayaan UGM pun tak menolak
kemungkinan skripsi jiplakan. Tapi menurut Djoliosumitro,
sekretaris itu, kalau terjadi pasti akan diketahui. "Kalau yang
bersangkutan bahasanya jelek, tahu-tahu skripsinya lancar, patut
dicurigai," katanya.
Lalu bagaimana cara mencegahnya? Harsono menyarankan, "Dalam
skripsi kutipan dari tulisan lain tak boleh lebih dari lima
kalimat dan diketik dalam spasi berbeda dengan tulisan penulis
skripsinya." Juga disarankannya, kalau ada persamaan pikiran
antara si penulis dengan tulisan lain yang pernah ada, harus
disebutkan secara jelas.
Ada usaha lain yang mungkin lebih praktis. Kata Achjani: "Saya
dalam pertemuan dengan rektor-rektor selalu meminta mereka
menerbitkan daftar skripsi masing-masing universitasnya, untuk
kemudian diadakan tukar menukar antar universitas."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini