JANJI untuk membotaki kepala boleh dilupakan oleh Arswendo Atmowiloto. Ketika masih berbulan madu dengan Monitor, dia pernah berjanji: kalau Monitor mencapai tiras (oplah) satu juta eksemplar per edisi, dia dan seluruh awak redaksinya akan membotaki kepalanya sampai plontos. Namun, orang toh maklum kalau kini kaulnya bakal tak kesampaian. Di tangan Arswendo, alias Wendo, Monitor melejit menjadi tabloid hiburan yang laris. Empat tahun lalu, nomor perdana dicetak 200 ribu eksemplar, dengan harga Rp 300. Rupanya, tabloid "paling panas di Jakarta" itu berhasil meluncur mulus di tengah persaingan ketat. Hanya dalam 10 edisi, Monitor meroket hingga 450 ribu eksemplar. Lalu pada bulan ke-5, menembus angka 640 ribu. Sesudah itu, laju kenaikannya mulai pelan, dan mencapai puncaknya pertengahan tahun lalu, konon 782 ribu eksemplar, berharga eceran Rp 500. Lalu ada tanda-tanda menurun. Arswendo mungkin bisa memaklumi ihwal kejenuhan pasar. Namun, agar tak berlarut-larut, dia katrol tabloidnya dengan peluncuran Monitor Minggu (MM), yang terbit setiap Sabtu pagi. Suatu gebrakan hebat. Belum ada tabloid yang mengisi akhir pekan. Alhasil, MM meluncur berselang-seling dengan Monitor mulai November tahun lalu. Dari segi penampilan, MM masih tetap perpegang pada pakem Arswendo: paha, dada, dan kode buntut. Namun, agaknya, gara-gara kelahiran sang adik, Monitor reguler sempat terganggu oplahnya, turun jadi 600 ribuan. Tapi Wendo boleh tersenyum. MM punya tiras lebih dari 240 ribu eksemplar. Kalau ditotal, toh lebih dari 800 ribu eksemplar seminggu, cukup dekat dengan angka "keramat" Wendo. Tangan dingin Arswendo kembali diuji ketika dia melahirkan Monitor Anak (MA), baru dua bulan lalu. Dalam empat nomor pertama, konon MA laku sampai 300 ribu eksemplar. Tapi tentu saja angka itu belum stabil. Wendo menerbitkan MA, barangkali lantaran dia tahu anak-anak adalah pencandu TVRI, dan jumlahnya jutaan. Tak pelak lagi, Monitor merupakan salah satu tambang emas bagi para pemiliknya. Dari hasil penjualan saja, paling tidak Monitor bisa menjaring omset Rp 300 juta per minggu. Belum lagi dari iklannya yang pukul rata konon mencapai lebih dari Rp 800 juta setiap bulan belakangan ini. Padahal, setahun silam penerimaan iklan Monitor masih sekitar Rp 600 juta sebulan. Dibanding penerbitan seperti Kompas atau Suara Pembaruan, Monitor memang masih belum seberapa. Kompas, misalnya, dalam satu bulan bisa menjaring Rp 6,8 milyar dari penjualan ruang iklan, dan Rp 3,1 milyar oleh Suara Pembaruan. Tapi dengan karyawan tetap hanya 30 orang, penghasilan Monitor terhitung besar. Namun, kini Monitor telah mati, dan bisnis milyaran rupiah itu menguap sudah. Ratusan ribu pembaca pun kehilangan media yang menghibur dan mengilhami nomor buntut. Siapakah mereka? Secara sadar, Arswendo memang mengincar golongan "menengah bawah". "Kita ini pers kampungan, harus bisa mewakili emosi kelas pinggiran," begitu biasanya Wendo "mendoktrin" anak buahnya. Bahwa mayoritas pembaca Monitor adalah kelompok konsumen yang bukan berkantung tebal, itu antara lain bisa tergambar dari peta iklannya. Masalah perbankan, asuransi, komputer, real estate, misalnya, jarang tampil di situ. Yang banyak dipajang di Monitor adalah advertensi obat batuk, obat pusing, sampo, atau iklan media. Petunjuk lain: kolom ramalan kode buntut itu. Menteri Penerangan Harmoko sendiri, dua tahun lalu, pernah mengimbau agar media massa tak menyajikan ramalan kode buntut. Tapi agaknya imbauan itu tak mampu mencegah pers untuk menyiarkan kode buntut, hal yang rupanya memang disukai oleh sebagian pembaca. Seperti halnya beberapa media lain, Monitor pun tetap melaju dengan kode buntutnya. Tampaknya, kode buntut, itu hanya salah satu kiat Wendo untuk menjaring pembaca lebih banyak. Tapi kiat yang paling pokok, dan dilakukan Arswendo secara konsisten, adalah mengundang, sensasi lewat paha dan dada. Dia mengakui bahwa jurnalistiknya memang berkiblat pada seks. Selain gambar-gambar panas, lewat Monitor Wendo juga menjual gosip di kalangan artis. Untuk menggali gosip-gosip itu secara lebih tuntas, dia kerahkan artis-artis juga. Titiek Puspa, Emilia Contessa, dan Grace Simon adalah artis-artis yang pernah dipakai Arswendo. "Mereka dibayar Rp 2 juta sebulan," ujar Bambang Suwondo dari Litbang Gramedia. Melalui tangan-tangan artis itu, gosip-gosip meluncur lebih seru dan lebih segar. "Mereka bisa menggali lebih dalam dibandingkan wartawan biasa," tambah Bambang. Dengan cara itu pula, citra wartawan Monitor terkatrol lantaran artis-artis itu tak segan-segan mempromosikannya. "Biasanya saya kasih uang pada wartawan, tapi sekarang wartawan yang kasih ke saya," kata Titiek Puspa, suatu kali. Tak semua ide "pembaruan" itu datang dari Wendo. Rubrik "eksklusif' tentang perdukunan, yang biasa muncul di halaman bonus Monitor reguler, misalnya, merupakan gagasan orisinil anak buahnya. "Pada mulanya, ide itu ditertawakan oleh anggota redaksi lain, tapi tetap dilakukan Mas Wendo," ujar Bambang lagi. Ternyata, rubrik perdukunan itu ikut mendongkrak oplah. Dalam ikhtiar pengembangan produk, sebagai anggota grup Gramedia, Monitor juga diperkenalkan dengan konsultan Maynard Karper, 45 tahun, pemimpin umum majalah Playboy edisi Belanda. "Saya diminta membantu majalah lain, Jakarta-Jakarta, Bola, dan Monitor," ujar Karper kepada Ashbari N. Krisna, koresponden TEMPO di Negeri Belanda, pekan lalu. Namun, selama di Indonesia, Karper mengaku tak sempat membuat analisa yang mendalam tentang majalah dan tabloid produk terbitan grup Gramedia itu. Tentang Monitor? "Saya hanya bisa memberikan saran mengenai soal tata letak, pemakaian judul, subjudul, ya sekitar itu," ujar Karper. Siasat menggoyang pasar lewat angket-angketan sebetulnya bukanlah kiat dagang Monitor. Tiga tahun lalu, Wendo telah memulai menyebar angket ke pembacanya untuk menjaring pendapat mengenai penyiar TVRI yang paling digemari. Kemudian ada lagi angket soal mata acara yang digemari pemirsa TVRI. Angket-angketan itu, "Bukannya untuk mendongkrak oplah, tapi mencari masukan untuk mencari bahan liputan," ujar salah seorang bekas wartawan Monitor. Misalnya, Monitor segera menurunkan tulisan soal seluk-beluk Dunia Dalam Berita, setelah pengumpulan angket menunjukkan acara itu digemari oleh banyak pemirsa. Tentang angket "50 tokoh" yang menyebabkan Monitor kehilangan SIUPP itu? Kabarnya, gagasan itu berasal dari Wendo sendiri. "Tapi tujuannya bukan untuk menaikkan oplah," ujar salah seorang bekas anak buahnya, "Apalagi untuk menghina umat Islam. Mas Wendo benar-benar khilaf, dan tak sengaja." Mungkin ini gara-gara sifat Wendo pribadi. Tapi kendati dikenal ugal-ugalan bicara seenaknya, Arswendo kabarnya disukai oleh anak buahnya. "Kerja sama dengan Mas Wendo itu enak banget," ujar seorang bekas wartawannya. "Dia jarang memperlihatkan sikap seorang bos. Tapi setahun belakangan Wendo tak bisa berlama-lama nongkrong di kantor Monitor. Dia diperlukan di kantor grup Gramedia, untuk posisi Wakil Kepala Divisi Penerbitan Majalah dan Tabloid. Melalui posisi itu, tangan Wendo bergerak ke mana-mana. Maka, lahirlah majalah-majalah baru di tengah keluarga Gramedia: Senang, Tiara, Citra Musik, Angkasa, Pramuka, Kawanku, Warta Pramuka, Team, dan Automotive yang akan terbit dalam waktu dekat ini. Dengan itu, tempo hari Gramedia mengasuh 13 SIUPP (termasuk Monitor). Memang belum semuanya berhasil merengkuh pasar yang mapan, tapi beberapa di antaranya telah tumbuh menjadi usaha penerbitan yang lumayan sehat. Jakarta-Jakarta, misalnya, mengaku beroplah 80 ribu, Intisari 150 ribuan, Bobo lebih dari 200 ribu, dan Nova 330 ribu. Namun, dalam pendapatan iklan di kelompok ini, Monitor-lah yang paling tinggi. Misalnya, pada bulan Agustus lalu Monitor bisa menjaring iklan Rp 830 juta Jakarta-Jakarta cuma Rp 90 juta, Hai Rp 70 juta, dan Intisari Rp 50 juta. Monitor sendiri punya kisah yang unik. Hingga saat ini, dia boleh dikatakan pernah pingsan tiga kali. Mula-mula terbit 1972-73, dikelola oleh TVRI. Tapi dia hanya bertahan sampai 24 nomor, lalu istirahat gara-gara oplahnya cuma 10 ribu. Monitor mencoba bangkit lagi pada 1980, tapi kembali terempas. Setelah enam tahun Monitor pingsan, datanglah Arswendo bersama PT Gema Tanah Air, dan didukung oleh Kelompok Gramedia. "Jangan salah, TVRI tak punya saham di Monitor," ujar sebuah sumber TEMPO di Departemen Penerangan. Memang nama yang tercatat sebagai pendiri perusahaan penerbitan itu, antara lain, Arswendo, Jakob Oetama, M. Sani, dan Harmoko. Gramedia kabarnya cuma punya 30%. Kemudian, berkat sentuhan jurnalistik bergaya lheer ala Arswendo, jadilah Monitor sebagai tabloid seks yang paling ser di Indonesia. Putut Tri Husodo dan Gabriel Sugrahetty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini