HARI-hari ini adalah hari kelam buat Arswendo Atmowiloto. Sejak Jumat pekan lalu, statusnya tak lagi sebagai orang yang "mencari perlindungan" di Polda Metro Jaya. Ia sudah menjadi tersangka dan resmi jadi tahanan polisi. Pada hari itu, pihak kepolisian menerbitkan surat perintah penahanan sementara bagi Arswendo, yang ditandatangani oleh Kaditserse Polda Metro Jaya, Kol. (Pol.) Wagiman. "Sudah cukup alasan untuk menjadikan Arswendo sebagai tersangka," kata Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya Letkol. (Pol.) A. Latief Rabar kepada TEMPO, Jumat pekan silam. Menurut Latief, tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka Arswendo adalah penghinaan terhadap agama, seperti yang diatur dalam pasal 156 dan 156a, pasal 157, serta pasal 171 KUHP. Ancaman hukuman yang tertera dalam 156a KUHP adalah "penjara selama-lamanya 5 tahun". Pada pasal 157 KUHP, ancamannya "dihukum penjara selama-lamanya 2 tahun 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500". Sedangkan pasal 171 ayat (1) KUHP, ancamannya berupa "hukuman penjara selama-lamanya 10 tahun". Pengertian terhadap pasal 156 dan 156a KUHP itu, menurut pakar hukum Oemar Senoadji, intinya adalah: pernyataan tulisan atau menyatakan di muka umum perasaan kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan. "Jadi, obyek pasal 156 adalah golongan, dus golongan agama dan penganutnya. Sedangkan pasal 156a, obyeknya adalah agamanya," kata bekas Ketua Mahkamah Agung (1974-1982) itu. Sedangkan dalam pasal 171 KUHP, di situ tertulis, "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitaan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 10 tahun." Unsur "kesengajaan" untuk menimbulkan "keonaran" itulah yang membuat ancaman hukuman penjara di pasal ini dua kali lipat lebih berat ketimbang pasal 156a KUHP, misalnya. Namun, ancaman penjara dari pelanggaran pasal 157 KUHP memang terhitung paling ringan dibandingkan dengan pasal 156a atau pasal 171 KUHP. Dalam pasal 157, unsur-unsurnya adalah "menyiarkan" surat atau gambar yang isinya menyatakan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap "golongan-golongan penduduk negara Indonesia". Memang, pengadilan yang nanti akan menguji apakah unsur-unsur yang terkandung dalam ketiga pasal KUHP tadi terbukti dilakukan oleh Arswendo. Menghadapi itu, tampaknya pihak kepolisian tak bekerja sendirian. Sejak Selasa pekan silam, Jaksa Agung Singgih telah memerintahkan Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta untuk membantu menangani kasus ini dengan melakukan koordinasi dengan kepolisian -- sekalipun aturan main jelas menunjukkan bahwa penyidik tunggal dalam kasus pidana umum tetap berada di tangan polisi. Tapi, "Kasus ini kan menarik perhatian masyarakat," kata Singgih. Bentuk koordinasinya? "Bisa advis yuridis, pokoknya apa saja yang bisa membantu kepolisian," ujar Singgih lagi. Direktur Reserse Mabes Polri, Brigjen. (Pol.) Tony Sidharta, mendukung kerja sama ini dengan berharap, "supaya berita acara penyidikan tidak bolak-balik dari Kepolisian ke Kejaksaan. Jadi, bisa lebih cepat penyelesaiannya," katanya. Boleh jadi, ini merupakan gelagat dari aparat hukum untuk sesegera mungkin membawa kasus Monitor ini ke pengadilan. "Jika berita pemeriksaan sudah selesai, silakan ajukan ke pengadilan," ujar Ketua Mahkamah Agung Ali Said. Pemeriksaan polisi memang berlangsung intensif. Jumat pekan silam, ada lima saksi yang dipanggil menghadap tim penyidik. Tiga di antaranya adalah staf redaksi Monitor, satu dari bagian produksi, dan seorang lagi adalah pesuruh yang pernah ditugasi menyobek kartu pos yang masuk. Pemeriksaan para saksi berlangsung relatif cepat: dimulai jam 10 pagi dan berakhir jam 3 siang pada hari yang sama. "Malah di saat pemeriksaan berlangsung sempat pula diselingi dengan menonton acara pertandingan tinju Holyfield lawan Douglas," kata seorang sumber. Tampaknya, kalau Arswendo didakwa melakukan tindak pidana umum, ini berarti menggugurkan keinginan sejumlah orang yang menghendaki kasus ini diangkat sebagai tindak subversif (pidana khusus), yang ancaman hukuman maksimumnya adalah hukuman mati. Mumgkinkah itu? "Ya, boleh saja. Tapi itu kan hakim yang nanti menentukan. Jadi, pada prinsipnya, masyarakat atau organisasi Islam tak boleh mempengaruhi hakim dalam memutuskan perkara," kata Oemar Senoadji. Lalu, apakah permintaan maaf yang dilakukan Arswendo secara terbuka lewat televisi Jumat malam dua pekan silam tak cukup? Juga permintaan maaf oleh Monitor sendiri? Menurut Oemar Senoadji, hal itu masih tak cukup. "Bagaimanapun, Arswendo memang salah," katanya. Barangkali itu sebabnya Hakim Agung Bismar Siregar melihat tak ada ruang buat Arswendo untuk mengelak dari tuntutan hukum. Justru Arswendo harus mengaku bersalah dan mengungkapkan secara terbuka ia siap dihukum. "Saya harapkan jiwa besar Arswendo. Dia bukan lagi anak kecil," katanya. Adakah kemungkinan orang lain juga diajukan ke pengadilan? Bismar tampaknya tak menyembunyikan adanya kemungkinan itu. "Tentu Arswendo tak sendirian melakukan itu semua. Ada pelaksana atau pembantunya yang juga mengetahui hal ini. Nah, mereka itu harus ikut bertanggung jawab," ujarnya. Kecuali kalau mereka memang sejak semula sudah menyatakan ketidaksetujuannya atas pemuatan angket itu. Tapi Bismar juga tak menutup kemungkinan kalau Monitor bisa menuntut balik kepada Departemen Penerangan lewat Peradilan Tata Usaha Negara (PUTN) -- PUTN ini, menurut Bismar, akan diberlakukan dalam waktu dekat -- kalau merasa dirugikan karena pembatalan SIUPP-nya. "Pemerintah juga seharusnya memberi kesempatan kepada Monitor," katanya. Dan ia juga percaya, "Departemen Penerangan tak akan sakit hati, karena konsensus kita untuk menegakkan keadilan. Biarlah pengadilan yang menentukannya." Namun, di saat-saat "menunggu Arswendo ke pengadilan" itu, tiba-tiba PWI Jaya mengadakan sebuah "pengadilan kilat". Palu vonis sudah digetok. Arswendo dipecat sebagai anggota PWI Jaya. Tindakan ini disayangkan oleh pakar krimonologi J.E. Sahetapy dari Universitas Airlangga, Surabaya. Menurut dia, PWI Jaya tak menjalankan kaidah asas praduga tak bersalah terhadap Arswendo. "Saya sangat kecewa. Mestinya kan PWI bisa menunggu keputusan pengadilan dulu," katanya. Menurut dia, kalau memang pengadilan memutuskan Arswendo bersalah, "bolehlah PWI memecat dia dari keanggotaannya." Terhadap kasus yang menimpa Monitor, Sahetapy berpendapat bahwa aparat hukum sudah menjatuhkan "hukuman" terhadap Arswendo. Yaitu dalam hal pencabutan SIUPP Monitor. Padahal, menurut Sahetapy lagi, semestinya pemerintah tak perlu melakukan hal itu. Penyelesaiannya cukup dengan mengajukan pemimpin redaksinya -- dalam hal ini Arswendo -- ke pengadilan. Sikap seperti itu juga diperlihatkan oleh Ketua LBH A.H. Garuda Nusantara, yang tak setuju digunakannya lembaga pembatalan SIUPP. "Ini membuat kemunduran dalam perkembangan pers kita," katanya. Ahmed K. Soeriawidjaja, Gabriel Sugrahetty Dyan, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini