Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sumur Mengering di Tanah Rumpin

Penggalian pasir dilakukan di lahan yang disengketakan Angkatan Udara dan penduduk Rumpin. Cerita lain konflik tentara dan masyarakat.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria setengah baya itu bertanya dari balik pintu. Ditemui di rumahnya, Kampung Cibitung, Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Bogor, pekan lalu, ia tiga kali mengulangi pertanyaannya: ”Kamu bukan dari TNI, kan?” Trauma terlihat jelas di wajah petani bernama Acep, 54 tahun, itu.

Empat tahun silam, satu peluru bersarang di leher kirinya. Ia roboh bersimbah darah, dan selama dua hari tak sadarkan diri di Rumah Sakit Cikini, Jakarta Pusat. ”Saya enggak menyangka kalau masih hidup,” tuturnya dalam bahasa Sunda.

Kejadian ”Rumpin berdarah” pada 22 Januari 2007 merupakan puncak konflik kepemilikan tanah antara warga Sukamulya dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Kedua pihak mengklaim sebagai pemilik tanah seluas 1.000 hektare di wilayah itu. Sekitar 200 anggota pasukan Angkatan Udara dari Pangkalan Atang Sendjaja, Bogor, dan Pasukan Khas Angkatan Udara siang itu menyerbu warga. Selain Acep, sedikitnya tujuh warga terluka akibat pukulan dan hantaman popor senjata.

Konflik kepemilikan ini bermula dari rencana Pangkalan Udara Atang Sen­djaja membangun fasilitas water training di atas lahan yang dikelola masyarakat. Angkatan Udara menempatkan personelnya di Desa Sukamulya sejak 2006, yang ditentang penduduk setempat. Warga juga melaporkannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada November 2006. Berbagai aksi protes digelar, termasuk memblokade jalan ke lokasi proyek.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bogor pada Desember 2006 pernah meminta Angkatan Udara menghentikan kegiatan dan menarik pasukan dari Desa Sukamulya hingga status kepemilikan tanah jelas. Namun rekomendasi itu diabaikan. Hingga akhirnya kekerasan pecah.

Sehari sebelum tragedi, sekitar 100 anggota pasukan Angkatan Udara sudah bersiaga menggusur warga. Sekitar 500 penduduk Kampung Cibitung menghadang. Negosiasi dilakukan dan berhasil. Pasukan TNI ditarik. Tapi tak demikian pada esok harinya.

Menurut kesaksian korban, tentara melepas tembakan ke arah warga. Selanjutnya, warga yang berhamburan kabur masih dikejar dan dipukuli. Bahkan, setelah kejadian, tentara Angkatan Udara memblokade jalan akses desa, menggeledah rumah warga, menangkap sejumlah orang, dan menganiaya warga. "Ini yang juga membuat warga semakin trauma," kata Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi korban.

Trauma itulah yang juga dialami Entin, 50 tahun. Ia menyaksikan ayahnya, H Amir, digebuki tentara yang menjemput di rumahnya, sehari setelah bentrokan. Amir bersama sepuluh warga lain belakangan diketahui berada di Kantor Kepolisian Sektor Rumpin. "Ayah saya stres," ujarnya. Sebulan berselang, Amir meninggal didera depresi dan hilang ingatan. "Saya masih ngeri kalau ingat kejadian itu," kata Entin pekan lalu.

Korban lain, Usup, 60 tahun, juga dianiaya, yang membuatnya cacat fisik. Ketika bentrokan pecah, ia menjadi bulan-bulanan beberapa orang tentara. Kepalanya dihantam popor senjata. "Saya sudah angkat tangan, tapi terus dipukuli," ia mengenang. Akibatnya, delapan jahitan membekas di kepalanya. Ia sempat dirawat sepuluh hari di Rumah Sakit Cikini. Kini Usup sering sesak napas. Ketika ia berbicara, napasnya tersengal-sengal.

Cacat permanen juga ada pada tubuh Acep. Ia kesulitan menoleh ke kanan. Jika dipaksakan, terasa sakit. Selain itu, rahangnya kaku dan sulit digerakkan. "Kalau menguap, sakit rasanya." Hingga sekarang, Acep selalu menghindari tentara. "Lebih baik sembunyi. Kalau lihat tentara, saya takut," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai penyabit rumput ini.

Kisah pilu warga Cibitung, Desa Sukamulya, tak sampai di situ. Sumber Tempo di Badan Pertanahan Nasional mengatakan tanah yang disengketakan itu sudah terdaftar sebagai aset milik TNI Angkatan Udara. Menurut dia, Kementerian Keuangan sudah mendaftarkan lahan seluas 1.000 hektare itu sebagai aset negara pada Agustus 2009.

Sumber itu menjelaskan, karena tanah sudah menjadi aset negara, Badan Pertanahan tidak bisa berbuat apa-apa, termasuk mengeluarkan sertifikat atas lahan tersebut. "Sudah bukan ranah kami," ujarnya. Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor Jamaludin pun enggan dimintai konfirmasi tentang hal ini. "Saya tidak tahu," katanya singkat.

Warga Kampung Cibitung mengaku tidak tahu soal status kepemilikan tanah tersebut. Mereka masih menganggap tanah itu kepunyaan mereka yang diwariskan turun-temurun. "Tidak ada," ujar Acep singkat tentang bukti kepemilikan. Warga juga bertekad tetap memperjuangkan lahan tersebut dan berencana mengadukan nasib mereka ke Dewan Perwakilan Rakyat pertengahan bulan depan.

Sejatinya, jalan bagi warga Desa Sukamulya untuk menuntut lahan yang diklaim sebagai haknya belum sepenuhnya tertutup. Aturan perbendaharaan negara menyebutkan aset pemerintah bisa dilepas atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setelah adanya putusan pengadilan.

Tempo mendatangi lokasi yang akan dijadikan tempat dibangunnya fasilitas water training tersebut pada pertengahan pekan lalu. Di balik tembok yang memisahkan perkampungan dengan lahan milik TNI Angkatan Udara, berdiri perumahan. Beberapa blok rumah sekelas tipe 21 berderet rapi dengan cat biru. Rumah-rumah itu sudah berpenghuni.

Tak jauh dari perumahan, berbatasan dengan kebun warga, terdapat lokasi penambangan pasir. Dengan lebar 30 meter dan dalam 25 meter, kubangan raksasa itu memanjang ke utara hingga Kampung Cibadak, Desa Suradita, Kecamatan Cisauk, Tangerang. Dua unit alat berat terparkir di dasar kolam raksasa itu. Di seberang bibir galian, berdiri bangunan semipermanen menyerupai kantor proyek penggalian pasir itu. s

Menurut warga, aktivitas penggalian sudah berlangsung selama empat tahun belakangan. Proyek itu membuat lokasi yang semula berupa tegalan berangsur-angsur menjadi kubangan raksasa. Menurut Acep, sedikitnya 60 truk mengangkut pasir setiap hari. "Kalau malam bising. Tapi mau bagaimana lagi?" ujarnya pasrah. Efek lainnya, warga kesulitan air karena sumur mengering. "Kadang cuma mendapat dua ember. Air sumur habis sama galian itu," kata Anah, istri Usup.

Kepala Penerangan Pangkalan Udara Atang Sendjaja Mayor Lubis mengatakan tidak tahu kegiatan penambangan pasir di lokasi itu. "Besok akan saya cek ke lokasi," ujarnya. Kepala Dinas Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Laksamana Muda Iskandar Sitompul juga tak bisa menjelaskan proses kepemilikan lahan. "Tanya langsung ke Angkatan Udara," kata dia. Hingga tenggat tulisan ini, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Marsekal Pertama Bambang Samoedro belum bisa dimintai komentar.

Tito Sianipar (Jakarta), Diki Sudrajat (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus