Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Warsono Takut Pulang

Konflik antara warga dan tentara masih membara di pantai selatan Kebumen. Kepentingan perusahaan tambang menambah ruwet masalah.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kusriyanto tak menduga barisan tentara akan menyerbu. Pagi Sabtu Legi 16 April itu, ia bersama 30-an warga dari Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan tengah berziarah. Mereka mendatangi makam lima anak korban ledakan mortir 14 tahun silam. Warga setempat lekat mengingat hari nahas, juga pada Sabtu Legi, ketika anak-anak bermain mortir yang mereka temukan di area latihan tentara Angkatan Darat. Mortir meledak dan menghancurkan sebuah rumah. ”Dua dari lima korban adalah adik saya,” kata Kusriyanto. Pada Sabtu siang dua pekan lalu, kenangan akan tragedi itu bertambah pahit. Tentara menembaki penduduk dengan peluru karet, juga ­memukuli mereka dengan popor senjata.

Peluru karet menancap di pantat kanan Kusriyanto. Pekan lalu, peluru itu sudah bisa dikeluarkan. Pria 29 tahun ini masih beruntung, lukanya tak separah yang dialami empat rekannya, yang sampai akhir pekan lalu masih tergolek di Rumah Sakit Daerah Kebumen, Jawa Tengah. Satu di antaranya Surip Supangat, 38 tahun, Kepala Desa Setro Jenar, Kecamatan Bulus Pesantren. Yang paling parah Mustofa, 65 tahun. Memar terlihat di sekujur tubuhnya. Ia ditendangi dan disodok popor senjata serdadu.

Lokasi latihan tentara memang tumpang-tindih dengan area aktivitas warga. Selain lahan pertanian produktif, di kawasan yang membentang sepanjang 22,5 kilometer dari Sungai Mawar sampai Sungai Luk Ulo itu terdapat pantai wisata. Kawasan ini menyumbangkan puluhan juta rupiah ke kas desa setiap hari raya seperti Lebaran dan tahun baru.

Kebun cabai, melon, dan pepaya berselang-seling di kanan-kiri berbagai fasilitas latihan tempur. Kolam lumpur yang terbuat dari beton semen untuk berlatih manuver tank dan panser pun kini ditanami padi oleh petani. Tak aneh bila peluru berbagai kaliber yang tercecer setelah latihan kerap ditemukan penduduk. Puluhan mortir aktif sebesar betis pria dewasa yang terkubur di pasir bahkan pernah terbentur cangkul yang diayunkan Imam, 42 tahun, ketika ia hendak menanam semangka pada akhir Mei 2009 di kawasan Pantai Bocor, Setro Jenar.

Ancaman bahaya yang membayang setiap saat dan benturan kepentingan itulah yang membuat pantai selatan Kebumen di tiga kecamatan, yakni Mirit, Ambal, dan Bulus Pesantrenkerap disebut sebagai bagian kawasan Urut Sewusejak 1982 acap kali diwarnai ketegangan.

Pada 11 April lalu, ratusan penduduk memblokade akses masuk kompleks Dinas Penelitian dan Pengembangan Angkatan Darat. Batang-batang pohon yang ditebang dilintangkan di tengah jalan. Mereka menolak rencana tentara yang hendak menguji coba meriam howitzer KH-178 kaliber 105 buatan Korea Selatan di wilayah itu.

Malam harinya, digelar mediasi antara warga dan tentara, yang difasilitasi Bupati Kebumen Buyar Winarso. Hadir pula Panglima Komando Daerah Militer IV/Diponegoro Mayor Jenderal Langgeng Sulistiyono dan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Edward Aritonang. Meski tak ada kata sepakat, penolakan penduduk membuat TNI menggeser lokasi uji coba ke Lapangan Tembak TNI Angkatan Udara di Lumajang, Jawa Timur. Latihan lain yang tadinya akan dilakukan di Setro Jenar pun dialihkan ke Kecamatan Ambal, yang berjarak hampir satu kilometer.

Ketegangan memuncak setelah pembongkaran barikade oleh tentara di sekitar markas pada Sabtu pagi dua pekan lalu. Warga menganggap itu provokasi militer. Selepas zuhur, ratusan orang mulai berkumpul, termasuk puluhan anggota Forum Paguyuban yang paginya berziarah ke makam. Sebagian dari mereka baru pulang dari sawah dan kebun, sehingga masih menenteng arit atau pacul. Massa yang marah ini melampiaskannya dengan merusak pagar gudang senjata dan mendobrak menara tiga lantai di kompleks itu.

Aksi perusakan inilah yang kemudian dijadikan alasan penyerangan oleh tentara dengan menyalakkan senjata dan memukuli para petani. Belasan orang terluka, beberapa ditangkap untuk diinterogasi, enam di antaranya dijadikan tersangka. Sedikitnya 12 sepeda motor mereka juga dirusak oleh pasukan yang tak kalah berangnya. Dan sepanjang peristiwa itu, tak tampak polisi berseragam di lokasi kejadian.

l l l

SEJARAH sengketa lahan antara tentara dan warga di Urut Sewu bisa ditarik jauh ke belakang. Markas Besar TNI mengklaim lahan itu adalah milik Angkatan Darat, bahkan telah dijadikan lokasi latihan militer sejak masa pendudukan Belanda dan berlanjut di masa kemerdekaan. "Sejak 1949, lahan tersebut sudah dijadikan tempat latihan menembak," kata Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul, sehari setelah bentrokan.

Meski pemeriksaan oleh polisi masih berjalan dan penyelidik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia masih di lapangan, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal George Toisutta berkukuh pasukannya yang menembaki dan memukuli warga itu tak menyalahi prosedur. "Penanganan sesuai dengan aturan standar. Prajurit sudah diperiksa dan tak ada pelanggaran," katanya setelah melantik Panglima Kodam Jaya, Rabu pekan lalu.

Jenderal Toisutta dan para petinggi militer lain menuding para petani itu dimanfaatkan pihak lain sehingga melawan tentara. "Mereka itu perusuh karena membakar gudang senjata dan amunisi," ujarnya. "Itu daerah latihan kami."

Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, yang juga pensiunan jenderal Angkatan Darat, mengarahkan tudingan serupa. "Masyarakat gampang terprovokasi," katanya saat menjadi inspektur upacara Hari Ulang Tahun Ke-49 Satuan Perlindungan Masyarakat di Lapangan Rindam IV Diponegoro, Kota Magelang, Rabu pekan lalu. "Yang menjadi korban adalah masyarakat sendiri."

Para petani Urut Sewu sepertinya akan menjadi korban dalam kasus ini. Bupati Kebumen pun dalam suratnya kepada Komnas HAM pada 30 Juli tahun lalu menegaskan bahwa lahan yang menjadi sengketa di 15 desa di tiga kecamatan itu adalah tanah negara.

Dalam surat tanggapan atas laporan organisasi para petani tersebut, Bupati menegaskan lahan itu memang diperuntukkan sebagai area latihan militer sejak 1937. Lokasinya meliputi wilayah sepanjang 22,5 kilometer, dengan lebar sekitar 500 meter dari garis pantai ke arah utara. Klaim ini pula yang kemudian dikukuhkan dalam rancangan tata ruang wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan menyebut lahan itu sebagai "kawasan pertahanan dan keamanan".

Di dalam kawasan ini ada lapangan uji coba senjata seluas 385,3 hektare. Lokasinya terletak di Desa Entak, Kenoyojayan, Kaibon Petangkuran, Kaibon, dan Sumberjati di Kecamatan Ambal. Nantinya, selain kegiatan militer, aktivitas apa pun akan dilarang di wilayah ini.

Sebaliknya, warga tak kalah ngotot. Mereka pun mengaku siap dengan berbagai fakta dan kesaksian mengenai sejarah tanah yang bisa ditarik mundur hingga 1932. Mereka berkukuh tanah yang mereka tempati dan garap adalah warisan leluhur secara turun-temurun. Dan ini dikuatkan dengan pemetaan lahan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1932 itu, yang mereka sebut sebagai "zaman klangsiran".

Mangun Sastro, 94 tahun, warga Desa Kaibon Petangkuran, mengaku memiliki tanah sejak masa pendudukan Belanda. "Sejak zaman Londo, saya sudah membayar pajak," katanya. Ia pun mengantongi bukti petok D. Kisah dan bukti yang sama disampaikan Karto Mihardjo, warga lain yang mengalami masa itu.

Keduanya pun mengakui tentara Belanda memang sudah memanfaatkan sebagian lahan di Urut Sewu sebagai area latihan. Tapi luasnya dihitung sekitar 250 meter dari garis pantai, bukan 500 meter seperti klaim TNI. "Kalau TNI mau membuat sertifikat tanah, harusnya jaraknya 250 meter itu," ujar Karto.

Cerita lebih mendetail tentang sejarah tanah disampaikan Samidja. Pria kelahiran 1937 ini adalah bayan atau kepala dusun Godi di Setro Jenar pada 1962-2006. Ia ingat, latihan TNI pada 1960-an dan 1970-an di Urut Sewu selalu dilakukan atas izin warga dan didahului dengan konsultasi. Tapi semua itu perlahan berubah sejak 1980-an. Sejak itu pula tentara mulai mengklaim lokasi latihan lebih luas hingga 500 meter dari garis pantai, dengan meminjam sebagian dari tanah warga.

Padahal, katanya, pernyataan dari "Ndoro Klangsir" pada 1932 jelas ditegaskan dengan keberadaan tapal batas, yang mereka sebut sebagai pal budheg, yang masih berdiri hingga kini. Pal dengan kodifikasi Q216, Q222, dan seterusnya itu menjadi patokan untuk menegaskan tanah negara di sebelah selatan dan tanah warga di sebelah utaranya. Patok itu berada pada titik sejauh 216 meter, 222 meter, dan paling jauh 250 meter dari garis pantai.

l l l

Ketegangan sengketa ini semakin ruwet dengan munculnya kepentingan lain dari pihak swasta, yakni PT Mitra Niagatama Cemerlang, yang kepincut dengan potensi pasir besi yang melimpah di kawasan pantai Urut Sewu. Asisten I Sekretaris Daerah Kebumen Adi Pandoyo mengakui izin penambangan untuk PT Mitra sudah keluar empat tahun lalu dan selalu diperbarui untuk berlaku sepuluh tahun kemudian. Ia berjanji, "Kami akan terus mengedepankan dialog dengan masyarakat."

Tapi warga agaknya tak mudah diyakinkan. Mereka telanjur curiga bahwa sikap keras TNI dan pemerintah daerah dalam penguasaan lahan tak melulu demi urusan latihan. Apalagi setelah mereka tahu bahwa salah satu komisaris perusahaan tambang yang berkantor di Gedung Inti Centre di Taman Kemang, Jakarta, itu adalah seorang purnawirawan mayor jenderal.

Penduduk juga mempertanyakan masuknya sebagian kawasan yang diklaim TNI dalam wilayah penambangan yang mencapai 984,79 hektare. "Selain untuk tambang, kami menolak penggunaan lahan untuk latihan perang," kata Seniman, Ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan.

Jenderal Toisutta, ketika dimintai komentar, mengaku tak tahu mengenai penambangan pasir besi di wilayah latihan tentaranya itu. Ia kembali menegaskan bahwa yang terjadi di Urut Sewu adalah para petani menggarap lahan milik TNI.

Adapun Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan mendengar soal itu. "Di sebelah pantainya ada pertambangan, ada yang bilang (masalah) properti, satu sisi masalah tanah ulayat," ujarnya. Tapi, kata dia, sengketa tanah antara TNI dan warga atau perusahaan memang banyak terjadi, tak hanya di Kebumen.

Menurut dia, sebidang tanah yang sama bisa memiliki lebih dari satu sertifikat kepemilikan, bahkan bisa empat hingga lima. "Sengketa tanah itu banyak sekali. Selama saya jadi Menteri Pertahanan, masalah aset dan tanah tersebar dari Kodam I Bukit Barisan sampai Kodam Cenderawasih."

Melihat keruwetan ini, boleh jadi ketegangan di Urut Sewu belum mencapai klimaksnya. Dan karena itulah hingga kini sebagian warga Urut Sewu masih belum berani pulang ke rumah. Salah satunya Warsono, yang sampai akhir pekan lalu masih menginap di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. "Kami takut pulang," katanya.

Tomi Aryanto, Bunga Manggiasih, Alwan Ridha (Jakarta), Aris Andrianto (Kebumen)


Akhir Ziarah Hujan Peluru

Warga yang membentuk Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan bentrok dengan tentara Sabtu dua pekan lalu. Bentrokan akhir pekan ini merupakan puncak dari sengketa tanah berkepanjangan antara penduduk dan TNI Angkatan Darat.

Penduduk mengklaim punya bukti kepemilikan sah atas tanah di garis Pantai Urut Sewu sepanjang 22,5 kilometer. Karena itu, warga menolak tanah itu dijadikan tempat latihan militer. Sebaliknya, TNI AD mengklaim telah mendapatkan izin dari Pemerintah Kabupaten Kebumen sejak 1980-an untuk memakai tanah pantai sebagai tempat latihan.

09.30

Sekitar 30 warga berziarah ke makam lima bocah yang tewas pada 1997. Lokasi makam di Dukuh Godi, Setro Jenar, sekitar 400 meter dari kantor TNI.

12.00

TNI membongkar blokade yang dibikin warga.

12.30-14.00

Sekitar 150a petani berkumpul. Mereka kembali membuat blokade di empat titik jalan menuju kompleks TNI. Mereka merusak gapura lapangan tembak. Petani kemudian menuju gudang senjata dan mencoba merobohkan bangunan. Hanya berhasil merusak pagar bangunan, petani lantas mendobrak menara intai di dekat gudang.

14.0a0-15.00

Petani bergerak lagi menuju kantor kecamatan. Di tengah jalan, tentara bersenjata lengkap menghadang. Tak lama, tentara menyerbu. Menurut warga, tentara menembaki penduduk. Beberapa orang dipukul dengan popor senjata. Enam penduduk ditangkap, lalu diserahkan kepada polisi.

15.00-17.00

Tentara menyisir rumah warga.

Korban:

Semua korban yang terluka dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kebumen. Mereka adalah Samsudin, 27 tahun, Kusriyanto (29), Mustofa (65), Surip Supangat (38), Sarwadi (29), Aris Panji, Mulyanto (21), Ilyas (35), Kasantri (19), Martijo (32), Bajuri (37), Ahyadi, Samirin, dan Sarmo.

Ruwet Sejak Dulu

Menurut warga, konflik bermula pada 1982. Awalnya lahan latihan militer TNI Angkatan Darat hanya 500 meter dari garis pantai. TNI lantas memperluas area latihan menjadi 750 meter. Mereka mengklaim pantai itu sudah menjadi tempat latihan sejak 1937. Warga berkeras batas tanah TNI sebenarnya hanya 220 meter dari garis pantai.

22 Maret 1997

Lima bocah tewas akibat ledakan mortir TNI.

11 April 2011

Warga memblokade jalan menuju tempat latihan.

Selain menyerang, tentara merusak harta benda warga. Ada 12a sepeda motor yang dirusak. Kerugian ditaksir Rp 60 juta.

Di Sana Konflik, di Sini Konflik

Selain di Kebumen, konflik warga dengan tentara terjadi di sejumlah tempat. Berikut ini di antaranya.

Kampung Cibitung, Rumpin, Bogor (Januari 2007)

Bentrokan dipicu rencana TNI Angkatan Udara menjadikan lahan di sana sebagai tempat latihan militer. Warga yang merasa sebagai pemilik tanah pun menolak. Seorang warga tertembak pada leher dan empat lainnya mengalami luka-luka kena pukul.

Cililitan, Jakarta Timur (2001)

Kodam Jaya memperkarakan tanah seluas 1,9 hektare di kawasan Kalisari, Cililitan, ke pengadilan. Gara-garanya, 102 wargaa Kalisari mengklaim sebagai pemilik sah tanah itu dengan bukti sertifikat tanah. Sengketa terjadi sejak 1995.

Tegalburet, Wates, Yogyakarta (2001)

Panglima Kodam Diponegoro Mayor Jenderal Sumarsono menggugat tanah 1,8 hektare yang diakui milik TNI. Warga, salah satunya Pargiwati, berkeras tanah tersebut berasal dari leluhur mereka. Bahkan para ahli waris itu mengantongi surat-surat tanah itu, berupa leter C.

Desa Alas Tlogo, Pasuruan
(30 Mei 2007)

Ratusan warga bentrok dengan TNI Angkatan Laut. Belasan orang terluka dan empat orang tewas terkena timah panas. Warga dan Marinir berebut tanah seluas 300 hektare.

Naskah: Anton Septian | Sumber: Pusat Data Analisa Tempo, Kontras

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus