SUPER Semar disodorkan oleh tiga jenderal kepada Bung Karno.
Benarkah itu? Ini merupakan cerita versi baru yang kontroversial
dibanding versi resmi selama ini. Sebuah tulisan mengungkapkan
pada 10 Maret 1966, Pak Harto sudah mengirim dua orang utusan
sebagai penghubung "agar Bung Karno bersedia menyerahkan
kekuasaan".
Demikian yang ditulis seorang usahawan terkenal yang ketika itu
memany dekat dengan Bung Karno: Hasyim Ning, kini Ketua Umum
Kadin Indonesia. Tulisan berjudul Mengenang Bung Karno itu
dimuat dalam kumpulan tulisan Bung Karno Ealam Kenangan susunan
Solichin Salam, yang terbit akhir tahun lalu.
Versi resmi yang selama ini dikenal umum ialah: 11 Maret 1966
pagi, Bung Karno terbang ke Istana Bogor dengan helikopter
setelah diberitahu adanya se pasukan tentara di depan Istana.
Ketika itu Bung Karno sedang memimpin sidang Kabinet Dwikora
yang disempurnakan. Siangnya tiga orang jenderal menyusul.
Mereka: Menteri Dalam Negeri Mayjen Basuki Rachmat, Menteri
Perindustrian Ringan Brigjen M. Jusuf dan Pangdam V/Jaya Brigjen
Amirmachmud. Sebelumnya mereka minta izin kepada Menpangad
Letjen Soeharto yangsedang sakit di rumahnya, di Jalan Haji Agus
Salim, J akarta. Di Bogor mereka berembuk dengan Bung Karno. Dan
malam harinya lahirlah Super Semar.
Salah seorang pelaku sejarah tersebut, Amirmachmud kini Menteri
Dalam Negeri, menyatakan lahirnya Super Semar tidak direncanakan
di Jakarta melainkan merupakan proses diskusi yang berkembang di
Istana Bogor, "didorong oleh tangan Tuhan".
Ini diungkapkannya di Manado, tepat 11 Maret, Kamis pekan lalu,
seusai meresmikan beberapa proyek pembangunan di Sulawesi Utara.
Ketika menemul ketiga perwira tinggi tersebut, menurut
Amirmachmud, Bung Karno hanya bercelana kolor dan berwajah
cemberut. "Ketika itu tidak ada niat sedikit pun untuk menarik
kekuasaan Bung Karno," katanya. Di sana didiskusikan cara yang
sebaik-baiknya untuk menyelamatkan negara dan bangsa. Caranya,
tutur Amirmachmud "Gampang. Perintahkan saja pada Pak Harto
untuk menyelamatkan semua itu".
Kemudian sebuah tim dibentuk untuk merumuskan surat perintah,
yang rancangannya segera selesai setelah maghrib. "Ketika itu
Bung Karno mengenakan piyama warna biru," Amirmachmud
melanjutkan ceritanya. Karena Bung Karno ragu-ragu membubuhkan
tanda-tangannya, Amirmachmud menganjurkan agar semua yang hadir,
yaitu ketiga Waperdam Subandrio Leimena, Chairul Saleh, ketiga
jenderal, Komandan Resimen Kawal Presiden Cakrabirawa Brigjen
Sabur dan Nyonya Hartini, membaca bismilah. Bung Karno meneken,
dan lahirlah Super Semar.
Versi Brigjen Prof. Dr. Nugroho Notosusanto hampir sama dengan
versi Amirmachmud.
Tapi Nugroho, menyatakan tidak mendengar versi lain sebagaimana
diungkapkan oleh Hasyim Ning. Usahawan ini antara lain menulis,
pada 9 Maret 1966 sekitar pukul 21.00 ia dicelepon Alamsyah Ratu
Perwiranegara (ketika itu Asisten Vll SUAD, kini Menteri Agama)
agar hadir dalam pertemuan di rumah Dasaad. Hasyim Ning dijemput
sendiri oleh ajudan Alamsyah.
Dalam pertemuan itu Alamsyah minta agar Hasyim Ning dan Dasaad
menemui Bung Karno "untuk meyakinkan beliau agar beliau
menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto." Di zaman Bung
Karno, Hasyim Ning dan Dasaad, memang sangat dekat dengan Bung
Karno, bahkan dikenal sebagai "usahawan istana."
Hasyim Ning antara lain menulis: "Saya diberi sehelai surat
keterangan dari Bapak Jen-leral Soeharto, menyatakan saya
diangkat menjadi penghul,ung antara Presiden/Pemimpin Besar
Revolusi dengan Menteri Angkatan Darat.
Esoknya kami berangkat dengan Pak Dasaad ke Bogor memakai mobil
Pak Dasaad B-1000. Kalau saya tidak salah merknya Cadillac." Di
Istana Bogor, "kami sarankan agar Presiden melimpahkan kekuasaan
sementara kepada Jenderal Soeharto."
"Saya katakan rupanya Bapak masih tidak mau mengerti bahwa
jenderal-jenderal yang Bapak sayangi sudah dibunuh PKl. Coba
Bapak pikirkan dan renungkan bagaimana seorang yang dicintai
oleh Bapakbunuh, apa Bapak akan tinggal diam? Dengan tidak
terduga melayang asbak ke muka saya, hampir saja muka saya
kena."
Kira-kira pukul 10 malam, Bung Karno menyatakan dapat menerima
saran kedua utusan tersebut. Maka malam itu juga mereka kembali
ke Jakarta. Hari sudah hampir subuh, 11 Maret 1966, ketika
mereka melapor ke rumah Alamsyah bahwa "presiden mau menyerahkan
kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto."
Bagian akhir Hasyim Ning menulis "Pada tanggal 11 Maret Bapak
Jenderal Soeharto memerintahkan kepada Jenderal Basuki, Jenderal
M. Jusuf dan Jenderal Amirmachmud berangkat ke Bogor untuk minta
kepada Presiden Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret
yang sangat ampuh itu."
Kepada TEMPO, Senin malam kemarin, Hasyim Ning membenarkan semua
pengalaman yang dituliskannya kembali itu. Selain masih
menyimpan surat keterangan Pak Harto bernomor 2/3/1966 tanggal 9
Maret 1966 dengan rapi, "saya juga masih menyimpan asbak yang
dilemparkan kepada saya dulu itu." Semua itu memang perlu
disimpan, barangkali bisa membantu para pelaku sejarah yang kini
masih hidup untuk meluruskan sejarah, sementara naskah asli
Super Semar--menurut sumber Sekneg--konon sudah hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini