Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Super semar, versi baru

Muncul versi baru tentang lahirnya supersemar 11 maret. sementara naskah aslinya, konon, telah hilang. (nas)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUPER Semar disodorkan oleh tiga jenderal kepada Bung Karno. Benarkah itu? Ini merupakan cerita versi baru yang kontroversial dibanding versi resmi selama ini. Sebuah tulisan mengungkapkan pada 10 Maret 1966, Pak Harto sudah mengirim dua orang utusan sebagai penghubung "agar Bung Karno bersedia menyerahkan kekuasaan". Demikian yang ditulis seorang usahawan terkenal yang ketika itu memany dekat dengan Bung Karno: Hasyim Ning, kini Ketua Umum Kadin Indonesia. Tulisan berjudul Mengenang Bung Karno itu dimuat dalam kumpulan tulisan Bung Karno Ealam Kenangan susunan Solichin Salam, yang terbit akhir tahun lalu. Versi resmi yang selama ini dikenal umum ialah: 11 Maret 1966 pagi, Bung Karno terbang ke Istana Bogor dengan helikopter setelah diberitahu adanya se pasukan tentara di depan Istana. Ketika itu Bung Karno sedang memimpin sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Siangnya tiga orang jenderal menyusul. Mereka: Menteri Dalam Negeri Mayjen Basuki Rachmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen M. Jusuf dan Pangdam V/Jaya Brigjen Amirmachmud. Sebelumnya mereka minta izin kepada Menpangad Letjen Soeharto yangsedang sakit di rumahnya, di Jalan Haji Agus Salim, J akarta. Di Bogor mereka berembuk dengan Bung Karno. Dan malam harinya lahirlah Super Semar. Salah seorang pelaku sejarah tersebut, Amirmachmud kini Menteri Dalam Negeri, menyatakan lahirnya Super Semar tidak direncanakan di Jakarta melainkan merupakan proses diskusi yang berkembang di Istana Bogor, "didorong oleh tangan Tuhan". Ini diungkapkannya di Manado, tepat 11 Maret, Kamis pekan lalu, seusai meresmikan beberapa proyek pembangunan di Sulawesi Utara. Ketika menemul ketiga perwira tinggi tersebut, menurut Amirmachmud, Bung Karno hanya bercelana kolor dan berwajah cemberut. "Ketika itu tidak ada niat sedikit pun untuk menarik kekuasaan Bung Karno," katanya. Di sana didiskusikan cara yang sebaik-baiknya untuk menyelamatkan negara dan bangsa. Caranya, tutur Amirmachmud "Gampang. Perintahkan saja pada Pak Harto untuk menyelamatkan semua itu". Kemudian sebuah tim dibentuk untuk merumuskan surat perintah, yang rancangannya segera selesai setelah maghrib. "Ketika itu Bung Karno mengenakan piyama warna biru," Amirmachmud melanjutkan ceritanya. Karena Bung Karno ragu-ragu membubuhkan tanda-tangannya, Amirmachmud menganjurkan agar semua yang hadir, yaitu ketiga Waperdam Subandrio Leimena, Chairul Saleh, ketiga jenderal, Komandan Resimen Kawal Presiden Cakrabirawa Brigjen Sabur dan Nyonya Hartini, membaca bismilah. Bung Karno meneken, dan lahirlah Super Semar. Versi Brigjen Prof. Dr. Nugroho Notosusanto hampir sama dengan versi Amirmachmud. Tapi Nugroho, menyatakan tidak mendengar versi lain sebagaimana diungkapkan oleh Hasyim Ning. Usahawan ini antara lain menulis, pada 9 Maret 1966 sekitar pukul 21.00 ia dicelepon Alamsyah Ratu Perwiranegara (ketika itu Asisten Vll SUAD, kini Menteri Agama) agar hadir dalam pertemuan di rumah Dasaad. Hasyim Ning dijemput sendiri oleh ajudan Alamsyah. Dalam pertemuan itu Alamsyah minta agar Hasyim Ning dan Dasaad menemui Bung Karno "untuk meyakinkan beliau agar beliau menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto." Di zaman Bung Karno, Hasyim Ning dan Dasaad, memang sangat dekat dengan Bung Karno, bahkan dikenal sebagai "usahawan istana." Hasyim Ning antara lain menulis: "Saya diberi sehelai surat keterangan dari Bapak Jen-leral Soeharto, menyatakan saya diangkat menjadi penghul,ung antara Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dengan Menteri Angkatan Darat. Esoknya kami berangkat dengan Pak Dasaad ke Bogor memakai mobil Pak Dasaad B-1000. Kalau saya tidak salah merknya Cadillac." Di Istana Bogor, "kami sarankan agar Presiden melimpahkan kekuasaan sementara kepada Jenderal Soeharto." "Saya katakan rupanya Bapak masih tidak mau mengerti bahwa jenderal-jenderal yang Bapak sayangi sudah dibunuh PKl. Coba Bapak pikirkan dan renungkan bagaimana seorang yang dicintai oleh Bapakbunuh, apa Bapak akan tinggal diam? Dengan tidak terduga melayang asbak ke muka saya, hampir saja muka saya kena." Kira-kira pukul 10 malam, Bung Karno menyatakan dapat menerima saran kedua utusan tersebut. Maka malam itu juga mereka kembali ke Jakarta. Hari sudah hampir subuh, 11 Maret 1966, ketika mereka melapor ke rumah Alamsyah bahwa "presiden mau menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto." Bagian akhir Hasyim Ning menulis "Pada tanggal 11 Maret Bapak Jenderal Soeharto memerintahkan kepada Jenderal Basuki, Jenderal M. Jusuf dan Jenderal Amirmachmud berangkat ke Bogor untuk minta kepada Presiden Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret yang sangat ampuh itu." Kepada TEMPO, Senin malam kemarin, Hasyim Ning membenarkan semua pengalaman yang dituliskannya kembali itu. Selain masih menyimpan surat keterangan Pak Harto bernomor 2/3/1966 tanggal 9 Maret 1966 dengan rapi, "saya juga masih menyimpan asbak yang dilemparkan kepada saya dulu itu." Semua itu memang perlu disimpan, barangkali bisa membantu para pelaku sejarah yang kini masih hidup untuk meluruskan sejarah, sementara naskah asli Super Semar--menurut sumber Sekneg--konon sudah hilang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus