Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Suplai senjata baru opm?

OPM mendapat suplai senjata dari orang orang tertentu di Australia. Gary Scott, 38, mengaku menjual senjata hanya untuk duit bukan karena ideologi. (nas)

17 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 2 Oktober lalu, pos pasukan ABRI di Muaratami, di dekat Skouw, Kabupaten Jayapura, diserang gerombolan OPM yang berkekuatan 14 orang. Di pos itu ada 16 tentara dari Batalyon 712 Kodam XIII/Merdeka yang sejak Mei lalu bertugas di sana. Serangan itu terjadi sekitar pukul 16.30 waktu setempat. Kontak senjata itu berlangsung sampai malam "Itulah kontak senjata yang terakhir antara TNI dan OPM. Beberapa hari yang lalu Radio Australia memang menyiarkan bahwa TNI kontak senjata dengan OPM di wilayah PNG. "Itu berita bohong," kata panglima Kodam Cenderawasih Brigjen Sembiring Meliala. Dalam pertempuran itu seorang anggota OPM tewas. Mayatnya ditinggal lari para temannya. Pada mayat yang mengenakan kaus bergambar peta PNG ini ditemukan sebuah bom tangan dan sepucuk senapan AKS-74 buatan Uni Soviet. "Senapan dan bom itu semuanya baru. Bukan hasil rampasan dari pos TNI yang selama ini sering digunakan OPM," ujar sumber TEMPO. Adanya bom dan senapan baru itu menimbulkan pelbagai pertanyaan. Antara lain: Dari mana OPM memperoleh berbagai senjata baru itu? Adakah pihak tertentu yang menyuplainya? Kemungkinan adanya pihah tertentu yang menyuplai senjata pada gerombolan OPM memang sudah lama diduga. Sebuah sumber TEMPO, seorang penduduk setempat yang secara tradisional sering melintasi perbatasan RI - PNG, mengaku beberapa kali melihat helikopter yang datang dengan pintu terbuka di dekat kamp pelintas batas di Blac kwater, dekat Vanimo, dan membuang bahan makanan, juga peb peti panjang yang diduga beris senjata. "Semua penumpang heli itu orang asing, bukan orang PNG. Mereka berkulit putih," katanya. Apa yang dilihatnya ini, katanya, sudah dilaporkan pada pihak yang berwaib di Jayapura. Sebuah sumber resmi di Jayapura menanggapi dengan hati-hati. "Kemungkinan adanya pengiriman senjata untuk OPM memang tidak mustahil. Tapi sampai sekarang belum pernah ada bukti yang cukup kuat,' katanya. Namun, diungkapkannya, pengiriman bahan makanan dan pakaian buat gerombolan OPM lewat helikopter telah lama dilakukan. Pengiriman itu, katanya, antara lain dilakukan oleh "orang-orang tertentu di Australia". Tapi diingatkannya, "Suplai untuk OPM itu tak pernah diberikan oleh pihak resmi di Australia, atau pihak yang berhubungan dengan pemerintah Australia. Itu dilakukan atas dasar bisnis antar mereka," tuturnya. Keterlibatan pihak-pihak tertentu di Australia yang secara pribadi membantu OPM sudah lama diketahui. Pemerintah Australia sendiri tampaknya berusaha menekan usaha semacam itu. Kasus Gary Scott, misalnya, bisa dijadikan contoh. Gary Scott, 38, adalah bekas letnan pada angkatan darat Australia. Awal Oktober lalu Scott ditahan polisi federal Australia dengan tuduhan sedang mencoba menyuplai senjata buat OPM. Di rumahnya, di Sydney, polisi antara lain menemukan dokumen yang menunjukkan bahwa Scott telah berhubungan dengan suatu kelompok Melanesia di Irian Jaya. Atas permintaan kelompok ini, Scott telah menyiapkan daftar harga berbagai jenis senjata, untuk dikirim kepada TEMPO. Scott, yang sebelum PNG merdeka pernah bertugas dalam PIR (Pacific Islands Regiment) di Papua Timur, pada 22 Oktober lalu dibebaskan dengan jaminan. Ia diwajibkan melapor sekali seminggu. Belum jelas apakah ia akan diajukan ke pengadilan atau tidak. Dalam suatu wawancara dengan pembantu TEMPO di Sydney. Robin Osborne. Scott menjelaskan, OPM kini memang kekurangan senjata, dan mengharapkan memperoleh atau membeli senjata dari negara mana pun. Tapi ia membantah telah mencoba menyuplai senjata pada OPM. Ia juga membantah, tidak ada senjata buat OPM yang diperoleh atau dibeli dari Australia. Menurut sebuah sumber di Jayapura, usaha Scott bersama sejumlah veteran Australia itu tak sedikit pun melibatkan ideologi. "Scott melakukan itu semata-mata untuk duit. Semacam perdagangan senjata gelap. Ia memang pernah juga menjadi tentara bayaran di Rhodesia dan Afrika Selatan," kata sumber itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus