UNTUK pertama kalinya diperoleh penjelasan dari orang pertama tentang musibah meledaknya gudang mesiu di Bhumi Marinir, Cilandak, Jakarta Selatan. Berikut petikan wawancara wartawan TEMPO - Yusroni Hendridewanto dan Abibullah - dengan Komandan Jenderal Korps Marinir AL, Brigjen TNI (Marinir) Muntaram. Di ruang tamu Markas Marinir Brigade II, Cilandak - yang melompong karena semua kaca jendela runtuh - Danjen didampingi kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan Angkatan Laut dan wakilnya, serta kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut. Dengan aksen Jawa Timur, "Saya lama di Surabaya," Danjen Korps Marinir ini, yang lahir di Cianjur 50 tahun lalu, lancar menjawab pertanyaan. Bapak lima anak yang lulus dari Akademi Angkatan Laut pada 1958 ini merasa, "Musibah gudang mesiu itu saya yang bertanggung jawab." Bagaimana peristiwa sebenarnya hingga gudang peluru itu meledak? Pada malam yang tak berangin itu, 29 Oktober, seorang perwira jaga melihat di gudang nomor tiga terlihat asap dan kilatan api. Itu terjadi sekitar pukul 21.15 WIB. Perwira tersebut langsung melapor kepada Komandan Brigade. Segera pengumuman adanya bahaya kebakaran gudang disebarkan. Beberapa perwira langsung melihat ke gudang yang mengeluarkan asap. Gudang dibuka, mobil pemadam kebakaran marinir menyemprotkan air. Api langsung padam. Tapi tahu-tahu timbul lagi asap diikuti serentetan ledakan kecil. Otomatis kami menyimpulkan bahwa situasi tak mungkin dikuasai lagi. Sebab, pasti segera timbul ledakan besar. Benar. Setelah itu ledakan besar susul-menyusul, dan baru mereda pada 31 Oktober. Sebenarnya, mobil pemadam kebakaran tetap berusaha memperkecil kobaran api, tapi gagal. Ketika api makin besar, dua mobil terpaksa ditinggalkan, dan keduanya hancur berantakan karcna ledakan. Terus terang kami tidak pernah diajari bagaimana mengatasi hal semacam ini. Yang kami pelajari adalah bagaimana menjauhkan diri dan berlindung dari ledakan dahsyat. Tapi, karena penduduk yang tak tahu-menahu juga terancam bahaya, kami berusaha terus mencari jalan keluar. Kami coba lagi dengan mobil pemadam kebakaran, dengan tank sebagai barikade di depan. Tak ada hasilnya. Lalu kami mengalirkan Sungai Krukut yang mengalir tak jauh dari kompleks. Syukur, ada hasilnya. Ledakan mulai jarang, dan berhenti sama sekali pada 1 November. Ada rencana memindahkan kompleks Marinir ini? Ksatrian akan tetap di sini, lengkap dengan penyimpan mesiunya. Sebab, di mana ada kompleks militer, di situ harus ada gudang amunisinya. Benarkah peluru-peluru yang disimpan sudah dilepaskan amunisinya? Benar. Sesuai dengan prosedur penyimpanan peluru kaliber berat, misalnya Howitzer 122, Roket 140, dan mortir 128, amunisinya, atau fusanya istilah tekniknya, dilepas. Tapi untuk mortir 60 dan 81 mm, fusa tetap terpasang. Ini yang berbahaya. Sebenarnya, yang kami simpan itu pelurupeluru buatan 1954. Menurut jaminan pabrik, sekarang sudah lewat batas umur yang disarankan. Tapi secara rutin semua peluru kami periksa. Dan sekitar 50% peluru Howitzer, ternyata masih bisa digunakan, berdasarkan percobaan di Batujajar. Sudah dipilih mana yang bisa dipakai dan yang harus dimusnahkan. Amunisi besar kami buang ke laut. Yang ringan dipendam dalam kedalaman 10 meter, dan bagian lima meter di atas ditimbun batu-batu, lantas disemen. Disumurkan, istilahnya. Berapa batas umur amunisi yang disarankan? Delapan tahun. Lebih dari itu, stabilisator yang mencegah penguraian kimia akibat panas atau kelembapan udara habis. Maka, terjadi penguraian, keluar antara lain gas NO2, yang sangat gampang terbakar. Apakah itu penyebab umum ledakan gudang peluru? Menurut pengalaman memang demikian. Sebab yang lain berasal dari peluru fosfor, yang setelah 10 tahun akan menjadi sangat peka, sangat mudah terbakar hanya karena perubahan udara mendadak panas atau mendadak dingin. Sementara ini, ketuaan dan proses kimiawi itulah yang kami duga menimbulkan letupan kecil, lalu menyambar yang lain. Itu sebabnya setelah ledakan di Bhumi Marinir 23 Juli lalu, yang pertama-tama dipindahkan adalah peluru fosfor. Apakah gudang peluru Cilandak memenuhi persyaratan? Gudang amunisi harus benar-benar kukuh. Yang di Cilandak ini lebih tepat disebut tempat penyimpanan amunisi, belum memenuhi persyaratan Kudang. Namun, tetap ada pengamanan, yakni adanya tanggul tanah setebal dua meter, setinggi dua meter juga. Selain itu, kestabilan suhu dan kelembapan udara seialu dijaga. Juga ada pemeriksaan rutin. Setelah ledakan Juli lalu, sudah kami pindahkan ke Marunda 130 ton peluru yang mempunyai kepekaan tinggi, dan sekitar 6,2 ton yang tak lagi memenuhi syarat kami sumurkan. Semua peluru di lima gudang berjumlah 2.000 ton. Bagaimana tentanglokasi gudang dengan daerah permukiman? Dulu, di Cilandak tak ada apa-apa, kecuali perumahan kompleks Marinir dan gedung Trakindo Utama. Permukiman di belakang gudang mesiu sebenarnya bisa dikategorikan tidak sah. Sudah ditegur, tapi mereka tetap nekat. Idealnya, dalam radius 1 km dari gudang harus kosong. Tapi sekarang ini sudah ada permukiman 300 meter dari gudang peluru. Kami tak menyalahkan penduduk. Ketika gudang didirikan, bukan tak memperhitungkan lokasi permukiman. Adakah kemungkinan sabotase dalam musibah ini? Sampai saat ini tak tercium hal demikian. Meski penelitian belum berhenti. Bila memang ada sabotase, secara seloroh, sebelum timbul kilatan api, terjadi dulu ledakan di luar. Dan tak usah khawatir tentang radioaktif. Kita belum menggunakan peluru beradioaktif di Cilandak ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini