Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Protes serangan di blackwater

Setelah tim verifikasi diserang di kamp blackwater hubungan RI-PNG sempat tegang. Nota jawaban png tidak memuaskan. Indonesia cenderung membiarkan para pelintas pulang sendiri.(nas)

17 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB 9.000 pelintas batas Irian Jaya yang menyeberang dan kini tinggal di wilayah PNG tampaknya kembali tidak menentu. Sabtu pekan lalu, Menlu Mochtar Kusumaatmadja menegaskan, "Pemerintah tidak akan memaksa para pelintas batas kembali ke wilayah Indonesia. Yang mau pulang akan kita terima. Sedang yang jelas anggota OPM, meskipun kita terima, akan kita proses dulu, dan yang bersalah akan dihukum." Dibanding sebelumnya, sikap itu memang mengendur. Selama beberapa pekan terakhir, berbagai persiapan telah dilakukan untuk segera memulangkan para pelintas tersebut. Ancar-ancar dimulainya pemulangan malah telah ditentukan akhir November ini. Tapi serangan para penghuni kamp pengungsi di Blackwater, Vanimo, 3 November lalu, yang menyebabkan beberapa anggota tim verifikasi Indonesia luka-luka, telah mementahkan rencana tersebut (TEMPO, 10 November 1984). Insiden itu ternyata cukup mengguncangkan hubungan antara Jakarta dan Port Moresby. Di Jakarta, serangan itu menggusarkan tidak cuma pemerintah. Sejumlah anggota KNPI pekan lalu melancarkan protes ke kedutaan besar PNG. Beberapa anggota DPR juga mengeluarkan pernyataan keras. Tatkala 8 November lalu nota jawaban PNG tiba, Menlu Mochtar serta merta menegaskan, "Pemerintah Indonesia belum puas terhadap jawaban pemerintah PNG itu." Selain tidak berisi permintaan maaf atas insiden tersebut, jawaban itu ternyata tidak pula menjelaskan mengapa penganiayaan terhadap tim verifikasi bisa terjadi. Menurut Mochtar, Indonesia juga telah memutuskan untuk sementara waktu tidak akan mengirim tim verifikasi ke PNG. Jelas, ini berarti bahwa proses pemulangan para pelintas batas terkatung-katung. Pertemuan final Border Liason Meeting yang sedianya dilangsungkan di Madang, PNG, 15-16 November, dibatalkan Indonesia, meski PNG tetap ingin menyelenggarakannya. Tampaknya pihak Indonesia kini cenderung membiarkan para pelintas batas pulang sendiri ke desa asalnya, tanpa diurus tim kedua negara. Salah satu faktor pertimbangan: OPM. Aktivis OPM ternyata telah menyebar ke berbagai kamp pelintas batas dan mengintimidasi para pengungsi itu. Pengalaman wakil gubernur Irian Jaya Sugiyono membuktikan itu. Sehari sebelum mengunjungi kamp Blackwater, tim verifikasi Indonesia mengunjungi kamp Green River. Di sini mereka disambut demonstrasi sekitar 40 pelintas batas. "Mereka berteriak mencaci maki Indonesia. Tapi setelah saya menjauh, mereka mendekat secara diamdiam, dan mengatakan bahwa mereka dipaksa OPM untuk berdemonstrasi. Mereka mengatakan, mereka akan pulang berjalan kaki diam-diam, tanpa diemput. Mereka takut, kalau ada jemputan, mereka akan dikerasi gerombo!an OPM yang menguasai kamp," kata Sugiyono. Karena itu, Sugiyono condong untuk mendorong agar para pelintas batas pulang sendiri. "Namun, kalau pemerintah PNG bisa menguasai kamp, dan mengusir gerombolan OPM dari sana, akan kita urus pemulangan mereka secara resmi. Ini khusus buat kamp selain Blackwater," kata Sugiyono. Walau demikian, insiden Blackwater agaknya juga mengagetkan dan menggusarkan pemerintah PNG. Mereka rupanya terkejut karena tidak mengira, gerombolan OPM berani menyerang pejabat PNG. Tindakan penahanan dan peradilan terhadap 10 orang yang diduga memimpin penganiayaan terhadap tim Indonesia, dan eks anggota ABRI yang desersi, menunjukkan sikap tegas pemerintah Somare. Tapi, menurut pembantu TEMPO di Port Moresby, Somare tampaknya bersikap berhati-hati dan tidak ingin merusakkan kepercayaan di masyarakat luas, yang banyak bersimpati pada OPM. Salah satu pertimbangan adalah terjadinya krisis dalam negeri PNG saat ini: pihak oposisi mengancam akan mengajukan mosi tak percaya. Sementara proses peradilan masih berlangsung terhadap 10 tokoh insiden Blackwater, di PNG sendiri makin keras suara yang menyatakan agar para pelintas batas yang tidak ingin kembali ke Indonesia diizinkan tinggal di PNG. Sikap seperti itu disuarakan oleh, misalnya, Uskup Gerard Deschamps dari Daru, serta Uskup John Etheridge di Vanimo. Yang menjadi masalah, apakah pemerintah PNG akan berani mengambil risiko mengizinkan aktivis OPM bermukim di wilayahnya. Selain mungkin akan menimbulkan sengketa tanah dengan masyarakat setempat, yang tanahnya dipakai untuk pemukiman pelintas batas, bermukimnya aktivis OPM itu mungkin sekali akan memusingkan pemerintah PNG sendiri di- masa mendatang. Tidak ada jaminan bahwa para aktivis itu akan menghentikan aksi anti-Indonesia mereka, padahal pemerintah Somare berulang kali menegaskan: tidak mengizinkan wilayahnya dipakai sebagai daerah operasi OPM. Padahal, OPM kini diketahui sedang berusaha membeli peralatan senjata untuk meningkatkan aktivitasnya. (Lihat: Box).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus