Mereka jelas bukan hendak belajar menari. Apalagi sekadar bernostalgia sambil mendengar alunan Denpasar Moon dari Elva's Group, yang mendapat order mentas sebulan penuh di sana. Para warga keturunan Cina itu tentu punya alasan kenapa memilih masuk Bali. Tak usah repot-repot mengurus paspor dan visa ini-itu. Dan, tentu saja, secara umum, lebih murah ketimbang harus melancong ke Singapura, Hong Kong, atau negeri sekultur lainnya. "Kalau ke luar negeri, ongkosnya berat," kata Susana, bukan nama sebenarnya, seorang perempuan Tionghoa asal Jakarta.
Sudah sejak akhir Januari silam ibu berusia 41 tahun ini menetap di tempat tujuan wisata populer itu bersama dengan tiga anaknya. "Saya tinggal dari satu hotel ke hotel lainnya," katanya. Ia terpaksa mengungsi ke Pulau Dewata karena trauma. Ketika kerusuhan Mei lalu meletus, ia dan keluarganya nyaris menjadi korban keberingasan massa. Untung, suaminya yang orang Bandung asli selalu berjaga di depan, sehingga rumahnya tak ikut dibakar. "Tapi saya sudah takut setengah mati," ujarnya mengenang. Rumah para tetangganya di Jakarta Barat sudah mengepulkan api.
Susana bermaksud menetap dan membeli rumah di Bali. Namun, mencari rumah ternyata tidak semudah mengedipkan mata. Walau sudah bertanya ke sana-kemari, melihat sana-sini, Susana tak juga mendapatkan kediaman yang diidamkannya. Ia ngotot minta pindah ke Bali setelah suaminya dipindahtugaskan ke Medan. Sebuah risiko besar tinggal di Jakarta, dalam momen gawat ini, tanpa suami. Atas bantuan kantor cabang tempat suaminya bekerja, Susana berhasil mendapatkan rumah kontrakan di kawasan Renon, Denpasar, dengan harga sewa Rp 60 juta per tahun.
Jadilah Susana dan tiga anaknya pindah ke Bali. Si sulung duduk di bangku SMP, sedangkan dua adiknya masih di sekolah dasar. Mereka terpaksa ikut meninggalkan Jakarta juga karena khawatir. Apalagi sekolah anak-anak sering mengadakan persiapan menghadapi kerusuhan, misalnya latihan evakuasi. Pengelola sekolah pun sudah membangun pintu-pintu darurat yang siap digunakan sewaktu-waktu seandainya kerusuhan benar-benar mengoyak Ibu Kota. Arsip-arsip sekolah, katanya, juga sudah dibereskan untuk mengantisipasi keadaan yang memburuk. "Makanya mereka sempat mogok sekolah karena stres," Susana berkisah.
Untuk hidup sehari-hari, keluarga ini mesti merogoh kocek sampai Rp 3 juta per bulan. Belum lagi ongkos sosial yang sulit dihitung dengan rupiah. Ia, misalnya, kangen berat karena kehilangan kontak dengan kerabat. Cuma di sekolah anaknya, ia sesekali bertemu dengan beberapa kenalan yang juga baru pindah dari Jakarta. Meski demikian, ia toh merasa untuk sementara Bali merupakan tempat paling aman bagi keluarganya. "Kampanye-kampanye juga belum saya lihat di jalan-jalan," tuturnya.
Susana hanya salah satu contoh. Saat ini di Bali ada ribuan Susana lain yang ikut "mengungsi". Selama tiga bulan terakhir ini, menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Bali, I Gde Wiratha, jumlah pengunjung kawasannya meningkat cukup tajam, mencapai 30 persen dari rata-rata kunjungan turis domestik, yang jumlahnya 55 ribu pada bulan-bulan sebelumnya. "Kebanyakan WNI keturunan kelas menengah," tambah Wiratha.
Gelombang kedatangan pendatang kali ini tampak lebih terencana. Sejumlah warga etnis Cina asal Jakarta banyak yang sengaja memesan sejumlah bungalow jauh-jauh hari guna ditempati pada Mei-Juni. Tarif hunian keren ini rata-rata US$ 80 per hari atau sekitar Rp 600 ribu. Sebagian lain mengontrak rumah-rumah di beberapa kawasan elite seperti di Renon, Denpasar, persis di sebelah kantor gubernur—mungkin bisa lebih aman. Harga sewa rumah di daerah mentereng itu Rp 50 juta sampai Rp 70 juta per tahun.
Wiratha memperkirakan jumlah pendatang bakal meledak pada pekan-pekan ini. Kecenderungan ini gampang dilihat. Angka pemesanan tiket pesawat Garuda dari Jakarta tujuan Denpasar terus melonjak. Kepala Kantor Distrik Garuda Denpasar, Maman Sunarsa, menjelaskan bahwa jumlah tempat duduk yang dipesan naik 30 persen, terutama pada 14, 15, 16, dan 17 Mei. Permintaan ini disambut Garuda dengan tambahan layanan. Pesawat yang biasa diterbangkan, Boeing 737 berkapasitas 124 tempat duduk, diganti DC-10 yang punya 200 kursi. Inikah tanda bahwa rasa aman makin mahal harganya?
Wicaksono (Jakarta), Munib Rofiqi (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini