KAUM Cina perantauan sedang mengulang sejarahnya sendiri. Pada 1610, "huakiao"?demikian kalangan ini disebut?mengarungi samudra menuju Nusantara. Kala itu, daratan Cina diguncang perang saudara. Hampir empat abad kemudian, mereka berpindah negeri lagi. Kali ini mereka dicekam isu: Republik di ambang kerusuhan. Kebetulan, pada Mei-Juni tahun ini, rakyat punya kenduri besar berupa kampanye partai peserta pemilu.
Berbagai jurus dan rute "eksodus" tengah disiapkan. Negara "pelarian" paling favorit masih Singapura. Selain dekat (satu seperempat jam penerbangan dari Jakarta), Negeri Singa itu bebas visa, sebagai sesama anggota ASEAN. Dari sana, kata Kepala Humas Direktorat Jenderal Imigrasi, Mursanudin Ghani, kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO, mereka bisa memohon visa untuk bertolak ke berbagai negara. Pendek kata, inilah tempat ideal untuk berlama-lama di luar negeri. Sekali masuk, warga Indonesia bebas tinggal selama sebulan. Setelah itu, bisa diperpanjang sampai tiga bulan.
Pesawat pun melimpah ruah. Tiap hari, dari sekitar 30 jadwal penerbangan ke luar negeri, rute ke Singapura dilayani enam maskapai dengan 12 jadwal. Yang paling diminati, menurut Diana Pratiwi, staf PT Jasa Angkasa Semesta, adalah Thai Airlines, yang mematok tarif terendah: cuma Rp 700 ribu. Pakistan Air juga jadi pilihan jenis murah. Lebih murah ketimbang Jakarta-Surabaya, yang Rp 800 ribu.
Jauh-jauh hari, banyak keturunan Cina telah memegang tiket pulang pergi-siap pakai. Tanggal keberangkatan dipilih menjelang kampanye. Hitungannya, mereka baru akan kembali setelah pemilu usai. Christin Susianto, misalnya. Warga Perumahan Danau Indah Sunter di Jakarta ini sudah memegang tiket open book. Sekeluarga, mereka siap hengkang ke Belanda atau Amerika. Caranya, dengan visa wisata yang memberi peluang mengungsi selama 60 hari.
Langkah serupa ditempuh seorang ibu dari Kebonjeruk, Jakarta. Dengan putrinya semata wayang, ia akan "melancong"?juga dengan visa wisata?ke Heemstede, Belanda. Mereka terbang Jumat pekan lalu dan baru akan pulang 12 Juni mendatang. Sang suami, yang sudah memegang tiket dan visa Belanda, menyusul belakangan.
Jangan kaget jika sejak pertengahan Mei ini, seperti dikatakan Haditono, Presiden Direktur Golden Rama Express Tour and Travel kepada Dwi Wiyana dari TEMPO, semua kursi pesawat ke Singapura sudah ludes dipesan. Pada sekitar tanggal yang sama, pesanan juga membanjiri jalur Malaysia, Hong Kong, dan Eropa. Sementara itu, Amerika dan Australia, yang dulu banyak dituju?karena ada kebijakan pengetatan visa bagi WNI?sekarang agak sepi.
Visa pelajar adalah alternatif lain. Ambil contoh Yovanka (bukan nama sebenarnya). Sejak Februari lalu, remaja lencir asal Jakarta ini memilih "kuliah" di sebuah institut di Kuala Lumpur, Malaysia. Apa pasal? Ya itu, ketar-ketir kegentingan kampanye. Melalui jasa konsultan pendidikan asing, ia memperoleh visa pelajar, yang berlaku setahun. Ongkosnya 136 ringgit (sekitar Rp 380 ribu). Dilengkapi multiple entry visa, ia bebas keluar masuk Jakarta-Malaysia, dan bebas fiskal setahun dua kali.
Cara serupa ditempuh banyak temannya dari Indonesia. "Penang sudah seperti kampung Medan," katanya lagi. Buntutnya, untuk masuk ke Kuala Lumpur saat ini sulit bukan main. Kalau dari Batam? Sami mawon. Tapi, Yovanka punya alternatif: lewat Thailand.
Mempersiapkan "rumah pengungsian" adalah soal berikut. Buat yang berdompet tebal, tinggal di hotel tak terlalu jadi soal. Apalagi, kalangan ini biasanya punya satu-dua rumah pribadi di mancanegara. Yang berkantong pas-pasan masih untung jika bisa numpang di rumah kerabat. Di luar itu, ya, harus putar otak.
Apartemen di Singapura, misalnya, sedang kebanjiran peminat dari Indonesia. Tapi, mereka bukan membeli, cuma mau menyewa barang satu-dua bulan. Karena itulah, menurut Rita Affandy, agen properti di sana, pihaknya membuat penawaran khusus. Apartemen dua kamar bisa disewa minimal dua tahun. Tarifnya: S$ 1.500 per bulan (sekitar Rp 7,5 juta). Jelas lebih murah dari hotel mentereng sebangsa Marriots atau Hyatt, yang paling tidak bertarif S$ 400 semalam.
Golongan cekak pun tak perlu khawatir. Banyak sumber TEMPO bilang, sejumlah agen di sana menawarkan apartemen murah yang bisa disewa di bawah tangan. Yang dimaksud, semacam kos-kosan jangka pendek. Tarifnya murah meriah: cukup S$ 50 semalam. Jenis ini terserak di seputar kawasan Orchard, Geylang, Katong, dan People's Park. Di sinilah warga Tionghoa Indonesia ramai berlalu lalang. Tak percaya? Mereka seketika akan merubung jika Anda berteriak, "Jakarta rusuh!"
Karaniya Dharmasaputra, Arief K. (Jakarta), Wahyu Muryadi (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini