WARUNG kopi di Pulau Galang itu bisa menampung sekitar 100
pengunjung. "Dan selalu penuh tiap malam. Padahal enam bulan
lalu tempat ini masih berwujud hutan belukar," ujar Dennis
Blair, seorang petugas Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi
(UNHCR) Kantor Cabang Tanjung Pinang pekan lalu.
Warungnya memang sederhana. Bangunan terbuat dari papan dengan
meja dan bangku kayu panjang. Dinding belakang berupa rak yang
dipenuhi makanan dan minuman kaleng, buah-buahn serta rokok
luar negeri yang hampir semua didatangkan dari Singapura. Di
halaman depan ada tempat reparasi jam. Sedang di sepanjang jalan
yang penuh dengan orang lalu lalang berserakan kios penjual
makanan kecil dan buah-buahan.
Pulau Galang sekarang memang telah jauh berubah. Semula hanya
dihuni sekitar 100 orang karyawan penggergajian kayu PT
Mantrust, kini lebih 14.000 pengungsi tinggal di sana. Ratusan
barak-barak berdinding papabelasan kilometer jalan beraspal,
dermaga dan beton yang hampir rampung dan pipa air minum telah
mengubah wajah pulau ini. Ada juga gereja Katolik dan pagoda
yang dibuka awal Februari lalu. Dan rumahsakit dengan 28 kamar
serta 40 tempat tidur. Galang tidak hanya sekedar tempat
penampungan dan pemrosesan pengungsi, tapi nyaris telah menjadi
sebuah kota kecil.
Sejak 1975 tercatat sekitar 52.000 pengung si Vietnam yang masuk
ke Indonesia. Sejak 1979 sampai pekan lalu telah diberangkatkan
ke negara ketiga 25.815 pengungsi, hingga sisa pengungsi yang
masih tinggal di sini sekitar 27,000 orang. Sejak November tahun
lalu dalam sebulan rata-rata 4.000 pengungsi diberangkatkan,
sebagian besar ke Amerika erikat dan Australia.
Pulau Galang sendiri, bila dikembangkan, bisa menampung sekitar
20.000 pengungsi "Tapi masalah air menyebabkan jumlah yang
tinggal di pulau ini dibatasi," kata Laksamana Pertama Kunto
Wibisono, Pangdaeral II yang menjabat Ketua Panitia
Penanggulangan Pengungsi Vietnam (P3V) Daerah. Selain Galang,
para pengungsi di Kepulauan Riau ditampung di beberapa kamp
pengungsi seperti di Jemaja, Tarempa, Bintan dan Natuna.
Model
Para pengungsi yang tinggal di Galang sendiri tampak sehat dan
gembira. "Kami senang dan menikmati hidup di sini. Air? Memang
belakangan menjadi masalah tapi pemerintah Indonesia bersama
UNHCR telah berusaha keras mengatasinya," kata Phan Ngoc Tuan,
45 tahun, yang kini menjabat Wakil Koordinator Kamp. Tiap
pengungsi menerima satu paket tiap 5 hari berisi antara lain
beras 2 kg, gula 100 gr, garam 50 gr, kacang hijau 100 gr,
lombok, supermie, makanan kaleng dan susu bubuk.
Bisa dipahami bila Poul Hartling, Komisaris Tingi PBB Urusan
Pengungsi yang bersama Menlu Mochtar Kusumaatmadja hari Minggu
lalu meninjau Galang menganggap pusat pemrosesan Galang adalah
tempat penampungan pengungsi yang terbaik yang pernah
dilihatnya. "Galang bisa dijadikan model," katanya di pelabuhan
udara Kijang Tanjung Pinang Minggu sore lalu. Untuk membangun
Galang, UNHCR menyediakan dana US$ 6,5 juta dan juga sejumlah
uang yang sama untuk menjalankannya.
Keluhan umum para pengungsi adalah makanan yang kurang
bervariasi hingga membosankan. Sistem paket itu memang
memudahkan penyaluran makanan, tapi kenyataannya banyak yang
menjual jatah paketnya untuk bisa membeli jenis makanan lain.
Kabarnya sekitar 15R jatah beras dijual kembali sedang makanan
kaleng hampir semua dijual kembali. "Dulu waktu dikoordinir
Pusat Koperasi Angkatan Laut pembagian makanan bervariasi hingga
tidak ada pengungsi yang menjual jatahnya," cerita suatu sumber
TEMPO di Tanjung Pinang. Kini penyediaan dan penyaluran bahan
makanan bagi pengungsi dipegang oleh PT Bawok Sinom, anak
perusahaan PT Puspita yang berpusat di Jakarta.
Beberapa perusahaan dikabarkan bersaing keras untuk menampung
jatah pengungsi yang dijual kembali itu. Barang-barang ini
kemudian dijual pada penduduk di Kepualaun Riau. Kedatangan
pengungsi Vietnam memang telah dimanfaatkan banyak oknum
setempat Konon cukup banyak petugas setempat yang memodali
para pengungsi untuk berdagang. Kebocoran dana "Sampai saat ini
belum kelihatan kebocoran yang menonjol. Sekarang semua
pengeluaran sudah diaudit," kata Dennis Blair.
Makanan yang kurang bervariasi tampaknya juga menimbulkan akibat
lain. "Kasus penyakit yang agak menonjol di sini adalah asma.
Mungkin ini karena alergi terhadap makanan kaleng dan karena
debu dalam barak," tutur dr. Iwan Jusuf yang memimpin Rumah
Sakit Galang.
Tanda Mata
Kapan Indonesia bebas dari pengungsi Vietnam? Berkat adanya RS
Galang serta pebaikan fasilitas RSU Tanjung Pinang dengan
bantuan Australia, pemeriksaan kesehatan para pengungsi yang
dulu sangat lambat sekarang sudah lancar. Jika semuanya beres,
terutama bila sponsor di negara ketiga sudah didapat, seorang
pengungsi dapat diberangkatkan dalam waktu 4 sampai 5 bulan.
Namun banyak pengungsi yang sudah setahun lebih tinggal di Riau.
Mereka yang sakit, cacat dan tidak memiliki ketrampilan umumnya
lebih sulit mendapat sponsor.
Namun sejak Februari ini telah dilakukan survei untuk mencatat
mereka yang cacat, sakit dan kurang trampil agar mereka juga
bisa diberangkatkan dengan mengisi lowongan yang ada. "Yang
jelas tidak akan ada sisa. Swiss dan Swedia bersedia menerima
mereka yang cacat, tua atau kurang trampil itu," kata Menlu
Mochtar.
Di Tanjung Pinang sendiri sekarang sudah banyak
diperbincangkan: mau diapakan Galang bila semua pengungsi sudah
pergi? Bupati Firman Eddy mengusulkan pada Depdagri agar Galang
dengan fasilitasnya yang bagus yang menurut Menlu Mochtar
merupakan "tandamata" -- bisa dijadikan kecamatan. Pengusahaan
tanaman keras serta pariwisata mempunyai prospek baik di pulau
ini. Banyak yang menduga, Galang bisa dikosongkan dari pengungsi
dalam 6 bulan ini. "Saya kok lebih pesimistis. Saya kira paling
tidak masalah pengungsi baru bisa diselesaikan lebih dari satu
tahun," kata Laksma Kunto Wibisono.
Poul Hartling sendiri membayangkan Galang kelak bisa dipakai
sebagai pusat pemrosesan pengungsi yang kini ada di Thailand
atau Malaysia berdasar fungsi Galang yang "dijanjikan
Indonesia". Pemerintah Indonesia tampaknya kurang menyukai
prospek ini. "Pengungsi di Thailand dan Malaysia tidak harus
pergi lewat Galang. Kalau mereka bisa pergi langsung ke negara
penerima ya biar langsung saja. Dan mudah-mudahan keadaan tidak
berkembang hingga hal itu perlu," tegas Menlu Mochtar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini