PERKARA almarhum Haji Thahir nampaknya bakal tambah ramai. Bekas
Asisten Umum Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo itu semasa
hidupnya ternyata tidak saja mewarisi harta karun yang puluhan
juta dollar AS -- dan kini menjadi sengketa di Pengadilan Tinggi
Singapura -- tapi juga meninggalkan banyak istri.
Dari Palembang pekan lalu terdengar bantahan bahwa keluarga
almarhum telah menyerahkan sengketa harta warisan itu kepada
Pemerintah. Sebelumnya menurut Menteri PAN J.B. Sumarlin, salah
seorang anak Thahir dari istri pertama di Jakarta, secara lisan
telah menyerahkan perkara deposito bersama sejumlah US$ 35 juta
di Sumitomo Bank cabang Singapura itu kepada Pemerintah. Jadi
kini yang bersengketa memperebutkan harta karun di bank
Singapura itu adalah Pertamina versus Ny. Kartika Ratna dikenal
sebagai Tante Els, istri muda almarhum H. Thahir (TEMPO, 23
Februari).
Tapi Syahziar Syaarani SH, pengacara, atas nama ahli waris
almarhum menyangkal "seolah-olah kami telah menyerahkan seluruh
harta warisan almarhum H. Thahir yang kini sedang menjadi
perkara di Pengadilan Tinggi Singapura." Sebab, lanjut
pengacara yang berdomisili di Palembang itu, "ini akan mudah
menimbulkan kesan seolah-olah kami mengakui harta itu sebagai
hasil korupsi."
Atas nama keluarga Thahir yang manakah Syahziar berbicara?
Rupanya bukan dari istri pertama, Rukiah ataupun Ibrahim Thahir,
putra sulung almarhum. Pengacara mereka ini adalah Tasrif SH.
Pengacara Syahziar Syaarani menurut pengakuannya bertindak
sebagai penasihat hukum keluarga istri kedua dari almarhum.
"Tetapi saya hanya mengurusi sekitar 12,5% dari seluruh kekayaan
almarhum yang ada di Indonesia," katanya kepada Bastari Asnin
dari TEMPO di Palembang pekan lalu. Namun yang lebih penting,
menurut Syahziar, "kami (maksudnya anak-anak almarhum dari istri
kedua -- Red.) berpendirian, demi kerukunan keluarga ingin
mencari penyelesaian yang terbaik dan terpuji dengan cara
musyawarah dan mufakat, tanpa harus menimbulkan rasa kecewa
kepada salah satu pihak."
Tapi itu pula yang sulit dicapai. Ibrahim Thahir belum tentu
setuju. Di pihak lain Ny. Kartika Ratna, yang bersama almarhum
H. Thahir membuka rekening bersama di 3 bank di Singapura
sejumlah US$ 80 juta -- termasuk yang di bank Sumitomo -- tak
mau berkompromi.
Istri Keempat
Kartika, yang menikah dengan almarhum pada 19 Juli 1974, tanpa
dikarunia anak, ternyata bukan istri ketiga almarhum, tapi istri
keempat. Dari Rukiah, istri pertama, almarhum punya 5 anak. Dan
menurut sebuah sumber yang mengetahui, dari istri kedua almarhum
mendapat 3 anak. Dari istri ketiga, seorang wanita Aceh yang
telah dicerai almarhum, seperti halnya dengan Kartika, tak
lahir anak.
Persoalan ini bisa rumit, mengingat Fatma Sari, putri almarhum
dari istri kedua, dikabarkan jadi kesayangan almarhum. Ia pernah
belajar mode di Paris. Di kota itu Fatma tinggal seapartemen
dengan Kartika Ratna. Fatma sendiri setelah berkeluarga
kabarnya punya usaha bungalow di Puncak bersama suaminya. Tapi
menurut sumber lain yang lekat dengan keluarga almarhum, Fatma
Sari juga menempati pavilyun rumah mewah yang ditempati Rukiah
dan anak-anaknya di Kemang Raya, Jakarta. Ibu kandung Fatma dan
kedua saudara seibunya, Fuad dan Fauzi, telah lama dicerai Haji
Thahir. Wanita itu kini menetap di Cianjur, Jawa Barat.
Semua anak almarhum menetap di Jakarta. Meskipun hampir semuanya
sudah mendapat warisan rumah, rupanya masih terdapat
ketidak-sepakatan antara anak-anak itu mengenai kekayaan yang
ditinggalkan almarhum. Adanya dua penasihat hukum itu, menurut
sebuah sumber, merupakan pertanda adanya ketidak-sepakatan itu
di antara anak-anaknya.
Ketidakcocokan dua kelompok anak almarhum itu bertambah kusut
ketika Kartika Ratna kabarnya menuntut pula warisan almarhum
yang ada di dalam negeri, karena merasa diganggu simpanan
bersamanya yang di bank Sumitomo itu.
Kekayaan Haji Thahir, menurut sumber TEMPO yang lain, sebanyak
70% bersemayam di bank-bank di luar negeri. Sisanya, berbentuk
deposito berjangka di bank, tanah dan rumah, ada di Jakarta.
Salah seorang famili almarhum di Palembang merasa yakin "tak
satu pun kekayaan dia tinggal atau tertanam di Palembang,
kecuali rumah tua itu."
Rumah di mana almarhum dilahirkan dan dewasa di Karang Bengkuang
10 Ilir Palembang masih tetap seperti dulu -- sebuah rumah papan
bertiang, tua dan hampir tak dijamah pembaruan. Rumah ini
sekarang ditinggali keluarga adik-adiknya. Almarhum adalah anak
tertua dari 6 bersaudara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini