Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAKU Ketua Panitia Pemilihan Indonesia, Mendagri Rudini paling sering bicara tentang perlunya kualitas pemilu ditingkatkan, termasuk kualitas para calon. Ternyata, kini banyak pakar dari intelektual yang berani tampil sebagai calon parpol. Apa kata Rudini? Sabtu pekan lalu, selama satu jam lebih, Rudini berbicara pada Amran Nasution dan Ahmed K. Soeriawidjaja dari TEMPO. Berikut ini rangkumannya. Mengapa banyak orang kini bergairah dan berani terjun ke PPP atau PDI? Ya, sebetulnya ini mungkin juga karena hasil pembinaan, pendidikan politik masyarakat, dan juga keterbukaan yang sudah berkembang, ditambah sudah diterimanya asas tunggal. Asas tunggal. Maksudnya? Menurut undang-undang, dua parpol dan Golkar ini asasnya kan sama-sama Pancasila. Maka, mereka yang di parpol pun sudah tak takut lagi akan dicap anti-Pancasila. Saya menyambut baik hal ini karena akan meningkatkan kualitas pemilu. Sekarang, kriteria untuk menentukan wakil-wakilnya sudah lain. Misalnya, ada kriteria harus pakar. Apakah itu karena imbauan Anda selama ini? Ya, sebagian mungkin benar. Tapi sebagian lain karena ketiga orsospol mendengar kritik-kritik DPR kurang berfungsi. Jadi, bukan sistem dan mekanismenya yang keliru. Ini memang karena personalianya perlu ditingkatkan agar mereka mampu menjadi komunikator antara DPR dan rakyat. Dalam proses pencalonan itu ada yang baru. Daerah lebih diberi otonomi. Mengapa demikian? Saya pantau, banyak kader parpol dari Golkar yang di daerah merasa tidak puas. Bahkan, sebenarnya sudah saya pantau sejak saya menjadi pangdam di Sulawesi Utara. Banyak yang mengeluh: Kita berjuang mati-matian, tapi nyatanya yang muncul di DPR siapa? Karena itu, ketika saya nenjadi mendagri, saya minta parpol dan Golkar memantapkan sistem kaderisasi di jajaran masing-masing. Dalam sistem ini, di antaranya, kader-kader yang muncul hendaknya kader yang melalui pola yang mantap, dibina, diberi pengalaman mulai dari bawah sampai ke atas. Jangan tahu-tahu ada orang-orang yang nyelonong di atas, tanpa tahu daerahnya. Tentu ada kader-kader yang tak pernah mengurusi daerah tapi dibutuhkan oleh organisasi. Misalnya pakar ilmu pemerintah. Itu kriterianya lain lagi, to? Mungkin dalam rangka itu daerah-daerah sedapat mungkin berperan menentukan calon yang mewakili daerahnya itu. Memang ada tarik-menarik, tapi akhirnya semuanya kan harus musyawarah dan mufakat. Hutomo Mandala Putera dicalonkan oleh Sumatera Selatan. Nah, mungkinkah pencalonan ini bisa dipangkas oleh DPP? Pemangkasan itu berdasarkan kriteria yang cukup obyektif. Artinya, kalau orang kena pangkas, itu memang karena kepentingan nasional. Tapi kalau DPD Sum-Sel melihat pencalonan Tommy ini untuk kepentingan pengumpulan suara, misalnya, apakah dengan pertimbangan itu lalu sang calon bisa dipertahankan? Bisa. Tapi harus diketahui bahwa hal itu tergantung dari yang bersangkutan. Mau apa tidak. Masih tetap ada kekhawatiran di kalangan parpol tentang skrining. Soalnya, nanti bisa saja calon mereka digeser atau bahkan hilang dari daftar calon. Hal itu bagaimana? Lo, Pemerintah itu kan melakukan penelitian. Makanya, nanti dibentuk Panlitpus (Panitia Penelitian Pusat), dan Panlitda di daerah. Tapi sekarang skrining itu tidak otomatis. Kalau Pemerintah dan anggota masyarakat mendapat bukti bahwa seorang calon terlibat, organisasinya diberi tahu dan boleh melakukan pembelaan. Namun, kalau dari pihak Pemerintah ada bukti-bukti yang kuat. Ya sudah. OPP-nya diberi tahu. Kriterianya jelas, 'ndak boleh anti-Pancasila, 'ndak boleh menentang UUD '45. Dia harus menyatakan setia pada Pancasila, dan UUD '45. Kalau calon itu sudah mendapatkan amnesti. Misalnya, bekas tokoh PRRI seperti Sumual, Simbolon, Ahmad Husein ...? Ya. Memberontaknya itu apakah anti-Pancasila? Jadi, lihat saja hak-hak sebagai warga negara. Apakah semua hak mereka sebagai warga negara itu dikembalikan? Artinya, kalau-kalau mereka punya hak memilih dan dipilih, tak jadi masalah. Bagaimana dengan orang-orang yang dituduh oleh Pak Sudomo sebagai kelompok dissident seperti Ali Sadikin, Azis Saleh, Hoegeng. Mereka selama ini kan selalu commited dengan UUD '45 dan Pancasila. Kalau mereka dicalonkan, boleh nggak? Panitia pemilihan Indonesia itu sumbernya selalu hukum. Karena itu, kalau ditanya bolehkah dicalonkan, adakah keputusan pengadilan mencabut hak mereka untuk dipilih. Sampai sekarang, setahu saya, nggak ada keputusan itu. Artinya ya, boleh ... ha ... ha ... ha.... 'Ndak usah repot-repot. Biar dituduh ini-itu, pokoknya mana hukumnya. Ya, to? Seperti dulu, sewaktu saya jadi kasad, Pak Mokoginta (anggota Petisi 50) meninggal dunia, dan ditanya: apakah boleh dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Lo, saya berpendapat bukan boleh atau tidak boleh, melainkan berhakkah dia itu? Setelah diteliti, ternyata berhak, ya, dimakamkan di TMP. Lha wong ndak ada yang mencabut tanda-tanda kehormatannya, kok. Seberapa jauh sikap Mendagri ini didukung oleh aparat-aparat di bawah seperti gubernur dan bupati. Menurut pengalaman selama ini, yang overacting itu kan di daerah? Tapi saya kan sudah keliling. Setiap kali brifing tertutup di daerah, saya beri petunjuk teknis secara detail tentang pelaksanaan pemilu. Brifing itu tertutup, karena kalau tidak, belum apa-apa sudah disiarkan pers, kacau semua, dong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo