Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak nama kondang masuk dalam daftar calon Pemilu 1992. Antara lain, Hutomo Mandala Putera, Guruh Soekarnoputra, dan Mochtar Naim. Kualitas DPR/MPR akan meningkat? MEREKA pernah dijuluki "Empat D". Sekumpulan orang yang kerjanya hanya datang, duduk, diam (lalu menerima menerima) duit. Kali lain ada juga yang menyindir mereka kerjanya hanya "tukang stempel": Siapa mereka? Siapa lagi kalau bukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR). Tapi, lain dulu lain sekarang. Kini, citra negatif seperti itu tampaknya pelan-pelan mulai memudar. "Kualitas mereka semakin meningkat. Kini sudah ada yang berani vokal bicaranya," kata tokoh LSM Erna Witoelar, yang bulan lalu terpilih sebagai Ketua Organisasi Lembaga Konsumen Sedunia (IOCU). Hanya, kata Erna -- yang menolak dicalonkan sebagai anggota DPR/MPR oleh Golkar di daerah pemilihan Sulawesi Selatan -- mereka yang vokal masih terbatas pada orang yang itu-itu juga. Maka, dalam pemilu mendatang ia berharap agar lebih banyak orang yang berani ngomong yang terpilih sebagai anggota DPR/MPR. Itu sebabnya Erna juga melihat, "Harapan orang terhadap DPR/MPR mendatang semakin meningkat." Mungkin karena segunung harapan itulah penyusunan daftar calon menjadi amat penting. Lalu, siapa jago-jago yang bakal ditampilkan oleh para kontestan pemilu? Apakah yang bakal terpilih nanti memang orang-orang yang bisa memenuhi harapan itu? Jawabannya harus menunggu setelah 400 anggota DPR/MPR periode 1992-1997 mendatang terpilih. Pemilu yang dijadwalkan akan berlangsung Mei 1992 tinggal sepuluh bulan lagi. Maka, kesibukan yang luar biasa pun kini melanda ketiga organisasi peserta pemilu (OPP): Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mereka sedang menyortir dan memeras ribuan nama yang nantinya bakal ditampilkan sebagai calon anggota DPR/MPR. Penyusunan itu kini memasuki babak akhir. "Saya sampai stres. Akhir Juli ini kami harus menyiapkan 800 nama calon," kata Sekjen Golkar Rachmat Witoelar. Bisa dimengerti kalau Rachmat sampai pening. Sejak Februari 1991, ada 24 ribu nama kader Golkar di 27 provinsi yang masuk nominasi daftar calon. Jumlah itu harus diciutkan secara bertahap menjadi 10 ribu, 8 ribu, 4 ribu, 2 ribu, dan akhirnya 800 (dua kali dari jumlah anggota DPR yang dipilih). "Kursi yang tersedia terbatas. Tapi yang menginginkannya terlalu banyak," kata Rachmat, yang juga suami Erna Witoelar. Di PPP, kesibukan yang sama juga merajalela. "Rabu pekan ini batas akhir penyusunan daftar nama yang disusun oleh Dewan Pimpinan Wilayah PPP," kata Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum. Namun Buya -- begitu panggilan akrabnya -- tampaknya tak mau terlalu berterus terang soal kesibukannya mengutak-atik ribuan nama yang masuk di kantongnya. "Maunya saya sih tinggal melihat saja daftar yang masuk nanti," katanya. Tahap-tahap akhir penyusunan daftar calon juga terjadi di PDI. Menurut Sekjen Nico Daryanto, kantor DPP PDI tinggal menunggu beberapa daerah yang belum memasukkan daftar calon. "Mungkin 20 Agustus 1991 nanti semua daerah sudah menyerahkan daftarnya," katanya. Padahal, batas waktu penyerahan daftar nama ini pada DPP PDI seharusnya 20 Juli 1991 lalu. Menurut jadwal, ketiga OPP paling lambat harus menyerahkan daftar calon kepada Lembaga Pemilihan Umum pada tanggal 8 September 1991 nanti. Artinya, dalam waktu sebulan ini para pengurus OPP harus merampungkan penyusunan 800 nama calon mereka yang bakal didudukkan sebagai anggota DPR. Proses penyusunan memang belum selesai. Tapi sejumlah muka baru tampaknya akan menyegarkan panggung politik Indonesia. Mereka datang dari berbagai macam profesi dan latar belakang. Misalnya saja Hutomo Mandala Putera, yang masuk dalam daftar 2.000 nama calon anggota DPR/MPR dari Golkar. Ia mewakili Sumatera Selatan. Selain Tommy (panggilan akrab Hutomo), partai yang berlambang beringin itu juga menampilkan tokoh-tokoh selebriti lainnya. Seperti pengusaha Fadel Muhammad, Aburizal Bakrie, Ponco Sutowo, dan Fahmi Idris. Ada juga tokoh intelektual seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Atau Soetjipto Wirosardjono, Iwan Jaya Azis, dan Christianto Wibisono. PPP juga tak mau ketinggalan. Mereka kini mengorbitkan muka-muka baru. Seperti Mochtar Naim yang dosen Universitas Andalas di Padang itu. Atau Daldiri Mangoendiwirjo, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya. Kemudian ada Rusjdi Hamka, salah satu ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah. Lalu aktivis Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sri Bintang Pamungkas. Uniknya, tokoh yang terakhir ini adalah adik kandung Sri Edi Swasono yang dicalonkan Golkar. PDI juga mencoba menampilkan calon-calon yang tak kalah hebatnya. Misalnya Guruh Soekarnoputra, bankir Laksamana Sukardi, penyair W.S. Rendra, pengamat ekonomi Kwik Kian Gie, dan pengusaha Soegeng Sarjadi. Belum semua nama itu setuju dirinya dicalonkan. Ada yang masih pikir-pikir dulu. Ada juga yang menolak. Munculnya wajah-wajah baru ini disambut gembira oleh Menteri Dalam Neger Rudini. "Ini akibat dari keterbukaan yang sudah berkembang," katanya. Rudini, yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), khususnya menyoroti tampilnya tokoh-tokoh baru yang dicalonkan oleh PPP dan PDI sebagai dampak asas tunggal yang sudah diberlakukan dalam lima tahun terakhir ini. Kini, kalau ada yang masuk parpol, katanya, "Tak takut lagi dibilang anti-Pancasila." Di sisi lain, tampilnya nama-nama kondang itu tampaknya dimungkinkan karena proses pencalonan yang datang dari bawah. Artinya, berbeda dengan dulu, pengurus OPP di daerah kini berperan penting dalam menyusun daftar calon anggota DPR/MPR. Semangat otonomi ini, dengan tetap mengakui hak prerogatif fungsionaris pusat, diwujudkan dalam "hak" pengurus daerah menentukan calon dari daerahnya. Dan ini ternyata tak melulu diartikan hanya menjagokan orang daerah, tapi juga orang yang dianggap mampu menampung aspirasi daerah, sekalipun dari daerah lain. Tampilnya para selebriti ini membawa konsekuensi tergusurnya sejumlah orang yang selama ini sudah dianggap mapan sebagai anggota parlemen. Di daftar calon Golkar, misalnya, tak tercantum lagi nama Nugraha Besoes. Di PPP, The Naro's tampaknya akan tergusur: J. Naro, Hussein Naro, Ny. Djailinar Oetomo, Ny. Lina Latief, Ny. Safinah Udin, dan Mardinsyah. Sempat juga santer disebut tergusurnya tokoh kondang Golkar seperti Ben Messakh, Oka Mahendra, Djoko Sudjatmiko dan Gunarijah Kartasasmita Mochdie, karena tak ada daerah yang mencantumkannya dalam daftar 2.000 nama. Tapi keempat fungsionaris DPP Golkar ini tampaknya bakal tetap bertengger, berkat campur tangan DPP Golkar. "Mereka kader Golkar yang tetap akan kami pertahankan," kata seorang pengurus DPP Golkar. Apakah munculnya nama-nama baru dan terempasnya sejumlah muka lama, itu akan lebih meningkatkan kualitas DPR/MPR kita? Semua orang menunggu. Ahmed K. Soeriawidjaja, Sri Pudyastuti, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo