Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KODE itu amat ringkas: A15. Tetapi, ”sandi” yang hari-hari ini meluas lewat pesan singkat telepon, perbincangan di warung kopi, hingga pembahasan di rapat-rapat itu sudah dipahami oleh nyaris seluruh warga Papua.
”A15” itu merujuk pada 15 Agustus, saat Dewan Adat Papua menggelar rapat akbar mengumumkan evaluasi mereka terhadap status otonomi khusus Papua. Ketika itu juga akan ditegaskan, status otonomi khusus dikembalikan kepada pemerintah pusat.
Penolakan terhadap otonomi khusus memang kembali mengencang akhir-akhir ini di wilayah paling timur Indonesia itu. Semuanya berawal dari Musyawarah Dewan Adat Papua III di Manokwari, Februari 2005.
Dalam forum yang dihadiri seluruh anggota Dewan Adat Papua itu, tercetus penolakan terhadap otonomi khusus. Sejak itu pula Dewan Adat gencar menyebarkannya ke anggota masyarakat.
Dewan, misalnya, mengharapkan seluruh anak adat Papua berpartisipasi dalam pleno khusus Dewan yang digelar pada 5, 6, dan 8 Agustus di Jayapura. Warga juga diharapkan aktif pada perayaan Hari Bangsa Pribumi Internasional, 9 Agustus. Puncaknya adalah aksi damai pada 15 Agustus 2005 di semua kantor DPRD kabupaten/kota se-Papua.
Perwakilan Dewan Adat Papua bahkan datang ke Jakarta, menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Kapolri Jenderal Sutanto. ”Kami menyampaikan evaluasi pelaksanaan otonomi khusus di Papua,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Adat Papua, Faddal al-Hamid.
Bagi Dewan Adat, pengembalian otonomi khusus ke pemerintah pusat tampaknya tak bisa ditawar lagi. Menurut Faddal al-Hamid, hal itu dilakukan untuk membuka ruang bagi masyarakat adat Papua, dan mencairkan kebekuan komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat adat.
Setelah itu, dialog politik dapat dibuka untuk menyelesaikan masalah Papua secara tuntas. Faddal menjanjikan seluruh upaya itu akan dilakukan secara damai. ”Kami tidak akan mengibarkan bendera Bintang Kejora, atau menggunakan simbol-simbol politik Papua Barat,” katanya.
Otonomi khusus Papua diberikan oleh pemerintah pusat dengan menyusun Undang-Undang No. 21/2001. Berdasarkan undang-undang ini, Provinsi Papua memiliki kewenangan di seluruh bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan.
Provinsi Papua juga dapat mengadakan kerja sama saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri. Guna penyelenggaraan otonomi khusus itulah akan dibentuk Majelis Rakyat Papua, yang merupakan representasi kultural orang asli Papua. Maksudnya, agar hak-hak orang asli Papua terlindungi.
Kini otonomi khusus menuai gugatan. Dewan Adat menilai otonomi khusus ternyata sudah tidak relevan dan obyektif. Pada sidang yang dipimpin Ketua Dewan Adat, Tom Beanal, itu juga dinyatakan bahwa pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi tidak sesuai dengan mekanisme dan tahapan seperti tertera dalam Undang-Undang Otonomi Khusus. Justru timbul konflik yang berdampak langsung pada stabilitas keamanan di tanah Papua.
Hari-hari ini warga Papua menunggu dengan waswas. Beredar isu macam-macam bersamaan dengan munculnya tuntutan Dewan Adat itu. Ketua ElsHAM Papua, Allosysius Rewarin, mensinyalir ada upaya pihak-pihak tertentu untuk memperkeruh suasana.
Misalnya, ada yang menyebarkan selebaran yang menyatakan pada 15 Agustus 2005 akan dilaksanakan referendum bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri. Ada pula isu yang menyatakan pasukan PBB akan tiba di Papua pada 12 Agustus.
Itulah sebabnya Ketua Komisi A DPR Papua, Yance Kayame, menyatakan pemerintah pusat tetap konsisten menerapkan otonomi khusus. Dia yakin hal itu dapat meredam desakan pemisahan Papua. Dia juga meminta pemerintah menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang No. 45/1999 tentang Pemekaran Provinsi Papua.
Apa respons pemerintah pusat? Wakil Presiden Jusuf Kalla justru menegaskan telah didatangi sejumlah perwakilan masyarakat Papua belum lama ini. ”Mereka minta otonomi khusus diawasi agar berjalan efektif,” katanya, Jumat pekan lalu.
Andari Karina Anom, Lita Oetomo (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo