Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono tampak tak kuasa menyeka rasa kecewa di wajahnya. ”Sulit bagi kita untuk menerima campur tangan yang terlalu jauh,” katanya di hadapan warga Indonesia di Shenzhen, Republik Rakyat Cina, akhir Juli lalu.
Pernyataan yang keras dari seorang Yudhoyono ini terucap lantaran ada anggota Kongres Amerika Serikat yang mendukung agar Papua lepas dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Upaya anggota Kongres itu diperjuangkan melalui Rancangan Undang-Undang Otorisasi Hubungan Internasional Amerika yang tengah dibahas di sana.
Itulah lanjutan dari surat yang diteken oleh 36 dari total 435 anggota Kongres, yang ditujukan kepada Presiden Bush, yang isinya meminta Amerika Serikat mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi Papua. Menurut Yudhoyono, tak selayaknya anggota senat negara lain mendukung kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Pelopor dan pendukung utama surat itu adalah dua anggota Kongres, Eni Faleomavaega dan Donald Payne. Mulanya, hanya Faleomavaega yang getol menyuarakan perihal hak pemisahan Papua melalui Kongres Amerika. Ia berjuang sendirian selama beberapa tahun. Upayanya yang gigih kini mendapat dukungan dari Kaukus Kulit Hitam dan itu membuat dia makin percaya diri untuk terus melaju.
Faleomavaega adalah anggota Kongres yang mewakili Kepulauan Samoa yang bukan merupakan negara bagian Amerika Serikat. Karena tak mewakili negara bagian, maka statusnya hanyalah delegate, bukan representative, sehingga ia tak memiliki hak voting.
Menurut Bara Hasibuan, yang pernah mendapat fellowship di Komisi Hubungan Internasional Kongres AS selama setahun, salah satu faktor getolnya Faleomavaega memperjuangkan pemisahan Papua adalah kedekatan geografis. Ia berasal dari Kepulauan Samoa yang terletak di wilayah Samudra Pasifik Selatan, dekat Kepulauan Hawaii, yang bisa dibilang tak jauh dari Papua.
Tak hanya itu, Faleomavaega juga dikenal dekat dengan kelompok-kelompok prokemerdekaan di Papua yang aktif melancarkan lobi hingga ke Amerika Serikat. Maka, di tangannyalah ”pesan-pesan sponsor” kemerdekaan Papua dititipkan.
Hal ini tak dibantah Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha Moh. Alhamid. Menurut Thaha, sebagaimana dikutip Cenderawasih Post, mencuatnya isu kemerdekaan Papua di Kongres bukan sesuatu yang tiba-tiba, namun telah melalui proses dan pemantauan yang lama.
Menurut dia, Payne dan Faleomavaega terus-menerus mengikuti perkembangan di Papua dan mereka bekerja keras membuat berbagai pihak memberi perhatian kepada warga Papua. Bahkan, tutur Thaha, bukan rahasia lagi bahwa di setiap kesempatan anggota PDP yang berkunjung ke AS menyempatkan diri bertemu dengan kedua anggota Kongres AS tersebut dan membicarakan soal Papua.
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menegaskan bahwa dukungan itu hanya cetusan sesaat dari orang Amerika Serikat asal Samoa yang merasa bahwa orang-orang Papua diperlakukan secara tidak wajar. ”Kita jawab bahwa demokrasi dan sentralisasi di Papua sedang kita upayakan—keadilan bisa datang,” ungkap Juwono. Ia menyatakan, sikap itu tak akan berakibat apa pun atas hubungan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Amerika Serikat.
Bahkan dukungan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dikukuhkan saat utusan Kongres AS, Robert Wexler, menemui Presiden Yudhoyono, pekan lalu. ”Kongres tidak akan mendukung gerakan separatis di Indonesia,” ucap Wexler. Ia tak lupa menyisipkan pesan penting: dukungan Papua merdeka hanyalah pendapat pribadi dua anggota, bukan sikap mayoritas Kongres.
Menurut Bara, Rancangan Undang-Undang Otorisasi Hubungan Internasional itu tak cuma memuat soal Papua, melainkan segala masalah internasional. Mulai dari Irak, Bosnia, hingga Myanmar—semua ada di situ. ”Karena jumlah staf yang luar biasa banyak, mereka bisa membagi-bagi konsentrasi pada kawasan tertentu di dunia,” kata Bara.
Jadi, hasil pemungutan suara—351 mendukung dan 78 menolak—bukan cuma pada masalah Papua, melainkan keseluruhan RUU itu. Selain itu, setelah dibaca dengan teliti, RUU itu tidak menyebut kata ”kemerdekaan bagi Papua”, melainkan meminta Menteri Luar Negeri AS menyampaikan laporan kepada Kongres mengenai analisis Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo