Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI markasnya di tengah Kota Bireuen, Aceh Utara, Sofyan Ali bercita-cita seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), musuh besarnya selama tiga tahun terakhir. Ketua Front Perlawanan Separatis Gerakan Aceh Merdeka itu sudah pasang kuda-kuda kalau perjanjian damai resmi berlaku di Aceh nanti.
Seperti GAM, dia kini bersiap membangun partai lokal. Bedanya, ”Mereka pemberontak, kami bukan,” kata Sofyan, Kamis pekan lalu. Meski bersikap setengah hati dengan perundingan damai itu, Sofyan memang tak punya pilihan lain.
Sepekan lagi perjanjian damai segera diteken pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia. Sejak awal, front pimpinan Sofyan itu dikenal keras menolak perundingan. Bekerja sama dengan TNI, jaringan front itu rajin memburu anggota gerakan bersenjata di kampung-kampung. Tapi, ”Pemerintah kini sudah berdamai dengan GAM, kami terpaksa menerimanya,” ujarnya.
Sejak dibuka pada awal tahun ini, perjanjian di Helsinki sudah berlangsung lima putaran. Hasil akhirnya boleh dikata cukup maju. Yang paling pokok, GAM bersedia tetap berada dalam Republik Indonesia dan memusnahkan semua senjatanya.
Tentu, ini langkah spektakuler. Sejak berdiri pada 1976, gerakan itu angkat senjata dan tak pernah surut dari ide merdeka. Dalam perjanjian damai itu, pemerintah menyetujui sejumlah kompensasi politik, hukum, dan ekonomi bagi Aceh.
SAMPAI pekan ini, detail perjanjian damai itu memang belum dibuka ke publik. Baik pemerintah maupun GAM tampaknya sepakat merahasiakan hasil perjanjian itu sampai acara penandatanganan pada 15 Agustus nanti. Kecuali sejumlah menteri dan Panglima TNI, tampaknya tak semua pejabat Indonesia tahu isi perundingan itu.
Begitu juga di pihak GAM. Tak semua panglima mereka mendapat detail perjanjian itu. ”Kami di hutan, jaringan komunikasi sulit,” ujar juru bicara militer GAM wilayah Peurelak, Aceh Timur, Teuku Cut Kafrawi, Jumat pekan lalu.
Perincian perjanjian, seperti tertulis di dokumen resmi yang diperoleh Tempo, terdiri atas enam pasal. Teks yang berisi hasil final dialog itu tertanggal 17 Juli 2005, terbentang dalam kertas setebal delapan halaman. Di bagian tajuk tertulis ”Memorandum of Understanding between Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement”.
Dalam kata pembuka disebut jelas, motif perdamaian itu adalah membangun kembali Aceh yang luluh-lantak dihantam bencana tsunami, 26 Desember silam. Terekam jelas pula dalam pasal-pasal itu, yang cukup ketat penomorannya, sejumlah kompensasi politik dan ekonomi kepada GAM.
Pasal satu berisi soal pemerintahan Aceh, memuat aturan dan wewenang baru bagi pemerintahan di Bumi Rencong. Tersirat juga napas ”pemerintahan sendiri”, suatu konsep tandingan GAM atas tawaran otonomi khusus dari Jakarta, yang sebetulnya tak begitu jauh dari otonomi khusus yang diperluas wewenangnya.
DALAM soal pemerintahan Aceh nanti, misalnya, akan ada hak bagi Aceh memakai bendera dan himne daerah sendiri. Kanun atau aturan pemerintah daerah setempat akan diperbarui dengan menimbang sejarah, adat, dan hukum kontemporer. Yang menarik, akan didirikan lembaga Wali Nanggroe, semacam simbol wali negeri Aceh, dengan segala atribut dan gelar.
Butir yang sempat mengundang debat nasional adalah soal partisipasi politik. Masih dalam pasal satu, urusan ini berfokus pada hak mendirikan partai lokal bagi semua warga Aceh. Disebutkan, ”dalam waktu satu tahun atau selambatnya 18 bulan setelah penekenan nota ini, pemerintah Indonesia akan membuat syarat politik dan hukum dalam pendirian partai lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan parlemen”.
Dikatakan pula, pemilihan kepala daerah Aceh akan berlangsung pada April 2006. Semua warga Aceh berhak mencalonkan diri dalam pemilihan itu. Tentu, wakil dari GAM bisa ikut mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah Aceh, seturut pemulihan hak politik mereka setelah mendapat amnesti dari pemerintah.
Soal amnesti ini diatur dalam pasal 3. Amnesti, kata pasal itu, akan diberikan kepada semua pengikut GAM sesegera mungkin, dan paling lambat 15 hari setelah perjanjian diteken. Semua tahanan politik gerakan itu juga akan bebas tanpa syarat. Tapi, mulai hari itu juga semua penggunaan senjata oleh GAM akan dianggap sebagai pelanggaran. Mereka yang masih memanggul senjata tak akan diberi amnesti.
Pasal amnesti itu juga disatukan dengan urusan penyatuan kembali anggota GAM ke masyarakat, atau yang disebut ”reintegrasi”. Untuk mendukung reintegrasi itu, pemerintah Aceh akan menyiapkan dana reintegrasi, sedangkan pemerintah Indonesia akan memberikan dana untuk rehabilitasi hak milik warga dan publik yang hancur akibat konflik bersenjata.
MASIH dalam rangka reintegrasi, pemerintah akan menyiapkan lahan pertanian yang cocok, dan juga sejumlah dana, bagi bekas gerilyawan GAM. Pemberian lahan pertanian atau tanah ini bukan cuma bagi gerilyawan. Dalam pasal itu disebutkan juga, tahanan politik dan warga sipil yang menjadi korban konflik juga berhak atas kompensasi itu.
Skema kompensasi ini menarik disimak. Soalnya, ini bukan barang baru. Sebelum bencana tsunami, sekitar Oktober 2004, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menyepakati lahan pertanian sebagai kompensasi ekonomi bagi anggota GAM yang mau kembali ke Republik.
Rencananya, lahan yang akan dibagikan sekitar 53 ribu hektare kebun sawit milik PT Perkebunan I di Aceh Timur dan Aceh Utara. Waktu itu, jalan dialog damai belum lagi terbuka. Proses negosiasi pun berlangsung diam-diam, hanya pentolan GAM di lapangan yang tahu.
Jadi, rencana itu tak sampai dibahas ke pucuk pimpinan mereka di Swedia. Mungkin itu sebabnya, skema ini ditolak bulat-bulat oleh GAM Swedia (lihat Tempo No. 49, 06 Februari 2005).
Belum jelas apakah lahan PT Perkebunan I itu akan tetap menjadi kompensasi bagi GAM. Yang pasti, ihwal tanah kompensasi ini cepat merebak. Bupati Bireuen Musatafa A. Geulanggang, misalnya, buru-buru menyiapkan tanah di dua kecamatan, Jeunieb dan Peudada.
Tanah 1.000 hektare itu rencananya dibagikan kepada anggota GAM yang kembali. ”Tanah itu untuk 500 keluarga,” ujar Mustafa. Ia menambahkan, korban tsunami dan warga miskin juga kebagian.
Meski belum resmi, daftar penerima bantuan itu sudah dibuat. ”Ada 214 bekas anggota GAM yang mendapat tanah,” kata Mustafa, Rabu pekan lalu. Di Jakarta, prakarsa Bupati Bireuen itu disambut gembira.
Pemberian tanah itu, kata Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, sudah masuk ke rencana pemerintah. Tujuannya, memberikan mata pencarian bagi bekas gerilyawan. ”Kalau tak punya lahan, bagaimana mereka bisa hidup normal?” kata Sofyan, yang turut sebagai perunding pemerintah di Helsinki. Tapi Sofyan belum mau bicara terperinci tentang kompensasi itu.
Juru bicara GAM di Swedia, Bakhtiar Abdullah, membenarkan pembagian lahan bagi para anggotanya di Aceh. Apa yang ditawarkan itu, kata Bakhtiar, merupakan bagian dari perjanjian di Helsinki. ”Itu termasuk kompensasi,” ujar Bakhtiar, Jumat pekan lalu. Dia berharap, kesepakatan yang sudah diperoleh di Helsinki bisa berwujud di lapangan.
DI lapangan memang bisa muncul banyak hambatan. Maka, peran pemantau sangat penting bagi berhasil atau gagalnya perdamaian itu. Pada pasal lima naskah perjanjian, tim monitoring dari Uni Eropa dan ASEAN akan berperan membantu mengawasi proses reintegrasi GAM ke masyarakat.
Mereka tergabung dalam Aceh Monitoring Mission, yang akan bertugas enam bulan dan bisa diperpanjang sampai satu tahun. Misi itu akan dipimpin oleh seorang kepala misi pemantau.
Tugasnya berat. Pemantau itu harus mengawasi pemusnahan senjata GAM sekaligus penarikan pasukan TNI dan Polri nonorganik dari Aceh. Mereka juga mengawasi perubahan peraturan, dan mengatasi pertikaian dalam soal pemberian amnesti.
Maklumlah, tak semua anggota GAM bakal mendapat amnesti. Mereka yang ditahan karena melakukan kejahatan, seperti merampok dan membunuh, bakal tetap kena hukuman.
Disepakati sekitar 200 pemantau asing, rata-rata berlatar belakang militer, akan segera berada di Aceh. Sebanyak 23 orang sudah tiba di Banda Aceh, Rabu pekan lalu.
Mereka, kata Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Supiadin A.S., adalah tim logistik. ”Mereka sedang menyiapkan markas para pemantau,” ujarnya. Karena tak bersenjata dan melakukan tugas sipil, para pemantau itu nantinya akan dikawal polisi.
Lalu bagaimana soal pemusnahan senjata? Dalam pasal 4 tentang pengaturan keamanan, dikatakan GAM akan menyerahkan semua senjata dan alat peledak yang dimilikinya untuk dimusnahkan berdasarkan bantuan tim pemantau. Proses penyerahan itu berlangsung dari 15 September sampai 31 Desember tahun ini.
Waktu yang sama juga berlaku bagi penarikan pasukan nonorganik TNI dan Polri. Soal jumlah senjata dan jumlah pasukan organik yang tinggal di Aceh akan ditentukan pada saat penekenan perjanjian.
Yang menarik, dalam perjanjian itu disebutkan, tak ada pergerakan besar kekuatan militer setelah perjanjian itu nanti diteken. ”Semua gerakan di atas satu peleton harus atas setahu kepala misi pemantau,” begitu bunyi ayat pada pasal empat.
Tak semua detail seperti ini diketahui oleh gerilyawan GAM. Anggota GAM di wilayah Aceh Besar, misalnya, belum mengetahui bagaimana proses pemusnahan senjata itu. Juru bicara GAM setempat, Muchsalmina, mengatakan dalam soal begini dia tak pernah kontak langsung dengan Swedia. ”Kami prajurit lapangan, hanya menunggu perintah pusat komando di Tiro,” katanya.
Dari markas besar gerilyawan GAM, juru bicara militer gerakan itu, Sofyan Dawood, rupanya belum mengetahui juga pernak-pernik penyerahan senjata itu. ”Kalau itu diatur dalam kesepakatan, kami akan patuh,” katanya.
Tentang jumlah pasukan GAM dan kekuatan senjatanya, Dawood menolak berkomentar. ”Belum bisa kita umumkan, sebelum kesepakatan ditandata-ngani,” katanya. Dia berharap, setelah GAM berubah menjadi gerakan politik, semua cita-cita mereka bisa diperjuangkan bebas di partai lokal.
Persiapan TNI tampaknya lebih maju. Mayjen TNI Supiadin mengatakan, personel TNI sudah mundur dan tidak lagi berada di hutan sejak 23 Juli 2005. ”Kita tempatkan personel di rute jalan dan permukiman penduduk,” katanya, Rabu pekan lalu.
TNI hanya melakukan kegiatan defensif aktif, sambil patroli terbatas di permukiman. Supiadin mengatakan, dia juga belum mengetahui teknis penyerahan senjata dari GAM.
BAGIAN akhir naskah kesepakatan itu, pada pasal 6, mengatur juga soal penyelesaian sengketa. Jika terjadi pertengkaran dalam pelaksanaan perjanjian, kepala misi pemantau akan menengahi sengketa kedua pihak itu dan membuat peraturan yang mengikat keduanya.
Jika gagal pada tahap pertama, kepala misi akan membahasnya dengan perwakilan senior kedua pihak. Kalau gagal lagi, kepala misi bisa melaporkan kepada tiga pejabat, yaitu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan RI, pemimpin politik GAM, dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative (CMI), yang menengahi dialog damai itu sejak awal. Setelah konsultasi, CMI bisa membuat peraturan yang mengikat kedua pihak.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo A.S. membenarkan proses itu. Hanya, detail mekanisme penyelesaian sengketa ini belum lagi dirumuskan. Widodo menjamin tak ada keterlibatan pihak luar. ”Mereka hanya ikut dalam proses monitoring,” katanya.
Nezar Patria, Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran M.A. (Bireuen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo