Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tawaran dari New York

Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menawarkan bantuan asistensi penyelidikan kasus Munir. Tim baru polisi masih terfokus pada Pollycarpus.

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pulang dari New York, dua pekan lalu, Usman Hamid lembur seminggu penuh. Sementara warga Jakarta bersukaria mudik ke kampung, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (Kontras) itu justru menikam kepala di kantor siang malam. Bersama dua kawannya, Usman mengemas dokumen dan berkas perkara kematian Munir—seniornya dulu di Kontras.

Materi yang dikemas antara lain soal tim pencari fakta, dakwaan jaksa penuntut umum, serta salinan putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Semua berkas itu rencananya dikirim ke Pelapor Khusus untuk pembunuhan tanpa proses peradilan (Special Rapporteur on extrajudicial executions) Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, pada Senin pekan ini.

Di sana dokumen tersebut akan dikaji satu tim khusus. Hasil kajian akan menentukan rekomendasi yang dipilih dewan itu guna membantu mengungkap tabir pembunuhan Munir.

Dewan hak asasi manusia sedunia itu sudah bersedia membantu Jakarta dalam penyelidikan kasus ini, walau masih berupa tawaran lisan. Hal itu disampaikan saat Suciwati, istri almarhum Munir, dan Usman Hamid berkunjung ke New York tiga pekan lalu. Suciwati datang ke sana atas undangan Human Rights First, sebuah organisasi hak asasi manusia yang dihormati dunia dan berbasis di New York.

Adalah Philip Alston, Pelapor Khusus itu, yang secara terbuka menawarkan bantuan penyelidikan. ”Alston menyanggupi membantu penyelidikan kasus Munir dan bersedia datang ke Indonesia,” kata Usman Hamid. Tapi Alston meminta syarat: Pemerintah Indonesia harus memberikan peluang kepada Dewan Hak Asasi Manusia untuk ikut membantu.

Munir tewas dua tahun lalu, 7 September 2004. Aktivis hak asasi manusia itu diracun dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda. Hasil otopsi Netherlands Forensic Institute (NFI) menunjukkan Munir tewas karena racun arsenik.

Polisi menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot pesawat Garuda, sebagai tersangka pembunuhan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis dia 14 tahun penjara. Vonis itu diperkuat di pengadilan tinggi. Tapi Mahkamah Agung menganulir keputusan itu. Para hakim di MA menilai Pollycarpus tidak terbukti melakukan pembunuhan. Dia hanya terbukti melakukan kesalahan administratif. Dan, hukuman yang pantas cuma dua tahun.

Selain mengandalkan polisi, pemerintah juga telah membentuk tim pencari fakta guna menyelidiki kasus ini. Tapi tim ini cuma membantu kerja polisi. Sejumlah anggota mundur karena, ”Kecewa tim ini tidak punya wewenang memadai,” kata Asmara Nababan, salah seorang anggota tim. Kekecewaan itu pula yang disampaikan Suciwati dan Usman Hamid di Dewan Hak Asasi Manusia di New York.

Selain bertemu dengan anggota Dewan, Suciwati dan Usman juga diterima oleh anggota Kongres AS yang tergabung dalam Kaukus Hak Asasi Manusia. Mereka berasal dari Partai Republik dan Partai Demokrat. Antara lain James McDermott dan Patrick J. Kennedy. Anggota Kongres yang bergabung dalam Kaukus menggelar rapat khusus membahas kasus Munir. Hasilnya: mendesak pemerintah Indonesia mengusut pelaku pembunuhan secara serius.

Desakan serupa datang dari Senat Amerika, disampaikan oleh Penasehat Senat untuk urusan Asia, Jonah Blank, dan Tim Riser, juru bicara Senator Patrick Leahy, ketika menerima Suciwati di Washington. Leahy adalah senator dari Partai Republik yang cukup berpengaruh. Dia tokoh di balik petisi embargo persenjataan ke Indonesia beberapa waktu lalu.

Lewat Riser, Leahy berjanji terus memantau penyelidikan kasus Munir. ”Mereka akan mengirim surat ke Presiden Yudhoyono pada November nanti,” kata Suciwati kepada Tempo.

Pemerintah sendiri menanggapi desakan Amerika dengan dingin. ”Menyatakan prihatin sah-sah saja. Tidak ada persoalan,” kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Tanpa desakan dari Kongres pun, menurut Hassan, pemerintah sudah serius melanjutkan penyelidikan kasus ini.

Walau mengaku Kongres AS amat berpengaruh di seluruh jagat, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menjawab desakan itu dengan tenang: ”Kita menghormati mereka. Tapi kita harus juga menjaga kedaulatan hukum, prosesnya menurut hukum kita.” Sejumlah anggota DPR malah menolak tawaran Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk membantu penyelidikan kasus ini.

Usman Hamid mengaku heran atas penolakan itu. Dewan Hak Asasi Manusia itu, katanya, lazim membantu penyelidikan perkara kemanusiaan di negara anggotanya. Umpamanya, pembunuhan mantan Perdana Menteri Libanon Rafiq Hariri dan kasus Timor Leste. Indonesia adalah anggota dewan tersebut. Formulasi keterlibatan lembaga itu, menurut Usman, mestinya bisa didiskusikan. Bisa saja anggota investigator menjadi asistensi tim kepolisian atau formulasi lain. ”Toh, hasilnya diserahkan ke pemerintah Indonesia juga,” kata Usman.

Wenseslaus Manggut dan Dimas Adityo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus