Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Terkatung di Kilometer 37

Keadaan pengungsi Mentawai mencemaskan. Pembangunan hunian sementara menunggu Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

6 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAN bermotor tempel itu menerjang ombak Selat Sikakap, Kabupaten Mentawai, Kamis pekan lalu. Dengan tergopoh, Idal Liver Sagurat, Kepala Dusun Saumanganyak Timur, Desa Saumanganyak, Pagai Utara, naik ke darat. Dia menyerahkan kertas lusuh surat pengantar dari camat. ”Persediaan makanan di tempat kami sudah hampir habis,” katanya kepada Tempo.

Idal keliru: menyangka Tempo yang berdiri di depan gudang darurat World Food Programme petugas yang akan membagikan bahan makanan. Sudah 407 penduduk dusun pindah ke Kilometer Dua, menanti kiriman bantuan.

Penduduk Saumanganyak, yang tepat berada di bibir Lautan Hindia, memutuskan meninggalkan kampung mereka setelah gempa 7,2 skala Richter dan tsunami mengguncang pantai barat Mentawai, 25 Oktober lalu. Gelombang laut yang tingginya mencapai 15 meter menewaskan 510 orang dan meluluhlantakkan ratusan rumah di Kabupaten Mentawai.

Ribuan orang mengungsi dari kampung yang ditempati berpuluh tahun. Belum tuntas urusan Dusun Saumanganyak, Sarmen, pengurus Dusun Bele Raksok, Desa Malakopak, Pagai Selatan, datang dengan ojek membawa ”proposal” serupa. Dia mengatakan 179 keluarga yang kini meng­ungsi ke Kilometer 24 sangat membutuhkan tenda dan makanan. ”Kami sudah berke­liling mendatangi posko bantuan, tapi belum juga dapat,” kata Sarmen, sambil menyeka keringat yang membasahi wajahnya.

Impian Idal dan Sarmen untuk bisa membawa pulang bahan makanan memang tak kesampaian. Gudang makanan milik lembaga internasional itu sedang tidak membagikan bahan makanan pada hari itu. Dua lelaki paruh baya itu balik ke kampung mereka. ”Kami akan datang ke pos bantuan yang lain,” kata Idal, sambil berlalu mengarungi lautan.

Sepekan terakhir, Kecamatan Sikakap, yang dijadikan Pemerintah Kabupaten Mentawai sebagai pos komando utama penyaluran bantuan, menjadi tempat mengadu para kepala kampung. Saban hari mereka tampak hilir mudik mendatangi kantor kecamatan dan gudang makanan. Terkadang ada barang yang bisa dibawa pulang. Tapi tak jarang banyak yang balik dengan tangan hampa.

Sumber Tempo mengatakan distribusi bantuan untuk para korban tsunami tersendat sejak status tanggap darurat dicabut, 22 November lalu. Menurut penggiat lembaga swadaya masyarakat yang berada di Mentawai sejak sebulan lalu, bahan makanan menumpuk di gudang milik pemerintah Mentawai di Sikakap. ”Tapi tidak tersalurkan karena kesulitan transportasi,” katanya. Dampaknya, beberapa tempat pengungsian mulai kekurangan bahan makanan.

Dia mengatakan kekurangan bahan makanan di sejumlah kantong pengungsi sangat mencemaskan. Sebagian besar cadangan makanan mereka hanya cukup untuk sepekan ke depan. ”Jika tidak cepat ditangani, bisa terjadi kelaparan di mana-mana,” kata sumber itu.

Wakil Bupati Mentawai Yudas Sabagalet, satu-satunya pejabat yang bertahan di Sikakap sejak hari pertama bencana, memastikan ketersediaan ­bahan makanan untuk para pengungsi. Menurut dia, saat ini pemerintah berfokus pada para pengungsi yang terkena langsung bencana tsunami. Adapun penduduk yang pindah karena ­khawatir terkena bencana tidak diutamakan mendapat bantuan. ”Kami membuat prioritas,” katanya.

Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta Mandiri Mentawai Kortasius Sabeleake menilai karut-marut penanganan bencana akibat Pemerintah Provinsi Sumatera Barat terlalu cepat mencabut status tanggap darurat. Dengan pencabutan itu, penanganan korban sepenuhnya diserahkan ke Pemerintah Kabupaten Mentawai. ”Mereka tidak siap,” kata Kortasius.

Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengelak dinilai salah dalam mencabut status tanggap darurat. ”Semua unsur sudah terpenuhi,” katanya. Ia memastikan tidak ada masalah dengan penggunaan anggaran bencana, meski status tanggap darurat berganti menjadi keadaan darurat kabupaten.

l l l

KEMAH-kemah pengungsi di Kilometer 37, Kecamatan Pagai Selatan, itu tersusun rapi. Terletak tepat di tengah area hak pengusahaan hutan (HPH) milik PT Minas Pagai Lumber Co., lokasi itu kini menjadi kamp penampungan 500 penduduk Dusun Pourorougat dan Asahan, Desa Malakopak, yang rumahnya habis terlibas tsunami.

Keadaan perkemahan itulah yang kini sangat memprihatinkan. Satu tenda menampung dua keluarga. Satu-satunya dapur umum, sejak Rabu pekan lalu, sudah tidak beroperasi. Beberapa pengungsi memasak di tenda masing-masing dengan peralatan seadanya.

Tak tersedia cukup air bersih untuk minum dan mandi. Mereka menampung air hujan, atau berjalan kaki ke sungai sejauh dua kilometer. Sejak sebulan lalu pemerintah mencanangkan akan membangun 516 hunian sementara untuk pengungsi di Kilometer 37. Proyek ini akan dikerjakan oleh Palang Merah Indonesia.

Proyek lain, 512 unit hunian sementara di Pagai Utara dan Sipora Selatan, akan dibangun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana melalui PT Waskita Karya dan TNI Den Zeni Tempur-2 Korem 032/Wirabraja, Sumatera Barat. Namun, hingga akhir pekan lalu, tak tampak kegiatan PMI. Padahal semula ditargetkan hunian sementara itu akan bisa ditempati sebelum Natal.

Menurut Kepala Markas PMI Provinsi Sumatera Barat Hidayatul Irwan, pembangunan itu terganjal tiadanya pasokan kayu. PMI pernah berencana membeli kayu dari Minas Pagai Lumber, pemilik kayu di hutan Pulau Pagai Selatan. ”Namun harganya terlalu mahal,” katanya.

Ketua Umum PMI Jusuf Kalla sebelumnya meminta kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan agar kayu HPH di Mentawai bisa digunakan sekitar 2.000 kubik. Permintaan itu tinggal permintaan karena rumitnya prosedur pelepasan kayu di hutan tersebut.

PMI kemudian menyerahkan ke masyarakat untuk mencari kayu dengan memberikan dana Rp 5 juta untuk setiap rumah. Alat-alat bangunan seperti seng, paku, dan engsel disediakan PMI. ”Namun itu juga belum jalan,” kata Hidayatul.

Sumber Tempo mengatakan sulit mendapatkan kayu karena penghuni kamp pengungsi Kilometer 37 adalah mitra perusahaan HPH dalam menebang kayu. Selama ini perusahaan hanya membayar Rp 30 ribu per meter kubik kayu dari warga. ”Ketika mereka butuh kayu untuk hunian sementara, perusahaan mematok harga Rp 2,6 juta per meter kubik,” katanya.

Jusuf Kalla, yang menggelar pertemuan dengan Gubernur Irwan Prayitno di Padang, Kamis pekan lalu, geram alang-kepalang. Menurut dia, tidak ada keadilan jika untuk membangun hunian sementara, masyarakat harus membeli kayu dengan harga mahal. ”Itu ibarat ayam mati di lumbung padi,” kata Kalla.

Kalla mendesak Irwan menjamin pengambilan kayu oleh masyarakat tersebut sambil menunggu izin resmi dari Menteri Kehutanan. Dia juga berjanji menjadi beking Gubernur jika kebijakan itu bermasalah di kemudian hari. ”Para korban pasti ingin hunian sementara bisa selesai sebelum Natal,” katanya. Irwan berdalih kepastian penggunaan kayu menunggu ke­datangan Menteri Zulkifli Hasan.

Setri Yasra, Supri Lindra (Mentawai), Febrianti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus