Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mencermati layar iPad di depannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertanya, ”Mana pernyataan saya yang salah?” Presiden merujuk pada pernyataan yang disampaikannya sesaat sebelum rapat kabinet terbatas, sepekan sebelumnya. Para menteri dan pejabat setingkat menteri, dalam sidang kabinet paripurna di kantor Presiden, Kamis sore pekan lalu, hanya terdiam, begitu pula Wakil Presiden Boediono.
Presiden merujuk pada pernyataannya tentang monarki, yang terlontar sesaat sebelum membuka rapat kabinet terbatas membahas empat rancangan undang undang, antara lain RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam pidato singkat tanpa teks, yang tak sampai sepuluh menit itu, ia mengatakan, ”Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi.”
Seperti api menyambar ilalang kering, pernyataan itu segera menimbulkan reaksi di Yogyakarta. Esoknya, Sri Sultan Hamengku Buwono X langsung menggelar jumpa pers di Kepatihan, kompleks Keraton. Ia mempertanyakan maksud monarki yang disebut Presiden. Sultan bahkan bersedia menyerahkan mandat penetapan dirinya sebagai gubernur, ”Kalau sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan Yogyakarta.”
Setelah itu, sejumlah pendukung Sultan, mulai kepala dukuh, seniman, hingga para politikus, menggelar berbagai unjuk rasa. Sebagian menyatroni gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta, meminta pemerintah pusat langsung menetapkan Sultan sebagai gubernur yang masa jabatannya berakhir pada Oktober tahun depan. ”Kami minta SBY mencabut statement itu,” kata Sukiman Hadi Wijoyo, Ketua Paguyuban Dukuh se DIY.
Sukiman menyesalkan pernyataan yang dianggapnya semakin membebani masyarakat yang sedang tertimpa efek letusan Gunung Merapi. Gusti Bandoro Pangeran Haryo Djoyokusumo, adik tiri Sultan, yang mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, menambahkan, ”Masyarakat Yogya marah karena pemimpinnya dipermainkan pemerintah pusat.” Sebaliknya, politikus Partai Demokrat asal Yogyakarta, Roy Suryo, menyesalkan riuhnya kritik terhadap SBY. ”Saya kira itu semacam testing the water,” katanya. Dengan begitu, sikap masyarakat Yogya bisa diketahui.
Keramaian agak mereda setelah Presiden berpidato sekitar lima belas menit sebelum sidang kabinet, Kamis pekan lalu. Intinya, Presiden menekankan penghormatannya terhadap Kesultanan Yogyakarta. Ia berpendapat Sri Sultan merupakan figur paling pas memimpin provinsi itu untuk lima tahun ke depan. Saat ini Sultan menjabat masa perpanjangan jabatan tiga tahun, sejak masa jabatan periode keduanya berakhir, pada Oktober 2008.
Seusai sidang kabinet paripurna, yang berlangsung sekitar tiga jam dan khusus membahas mekanisme pemilihan Gubernur Yogyakarta, pemerintah memperjelas sikapnya mengenai mekanisme ini. Gubernur Yogyakarta dipilih, bukannya ditetapkan.
KERAMAIAN antara Sri Sultan dan SBY kali ini bukan yang pertama. Dua tahun lalu, lewat sebuah surat kabar lokal di Yogyakarta, SBY melontarkan senggolan pertama. Dalam satu wawancara khusus, ia menyindir ada orang merangkap jabatan dan ingin maju pada pemilihan presiden 2009. Ia menambahkan, rangkap jabatan itu hanya ada di dunia ketoprak. Komentar ini membuat meriang suhu politik di Yogyakarta. Terlebih setelah Sultan ”membalas”, siapa tokoh ketoprak yang dimaksud.
Pada 2004, Sultan maju sebagai calon presiden lewat Partai Golkar, tapi terganjal dalam konvensi. Sebaliknya, Susilo Bambang Yudhoyono melenggang lewat Partai Demokrat, partai yang ketika itu baru lahir, dan terpilih sebagai presiden. Dalam pemilihan presiden tahun lalu, Sultan mendukung Jusuf Kalla, yang bertarung melawan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. SBY lagi lagi menang. ”Hubungan keduanya memang tidak bisa dibilang akrab,” kata Roy Suryo.
Menurut dia, sebetulnya SBY dan Sultan pernah bertemu empat mata, membicarakan posisi gubernur ini, ketika Kabinet Indonesia Bersatu I bersidang di Yogyakarta. Kedua, ketika SBY dan Sultan bermobil bersama setelah meninjau gempa, dari Gunung Kidul ke Yogyakarta, empat tahun silam. ”Keduanya saling memahami penjelasan masing masing,” kata Roy. SBY juga pernah mengutus Andi Mallarangeng, yang ketika itu juru bicara kepresidenan, untuk menjajaki keinginan Sultan. Sumber lain bercerita SBY juga pernah mengutus Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dan Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi.
Meski begitu, Roy yakin aspirasi keduanya mengenai mekanisme pemilihan gubernur ini akan terselesaikan dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat. ”Kearifan lokal akan menentukan,” katanya. Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, draf rancangan undang undang keistimewaan ini akan selesai pekan depan, dan langsung dilimpahkan ke Dewan.
Menurut Gamawan, pemerintah memasukkan poin parardhya, artinya gubernur dipilih secara demokratis sesuai dengan ketentuan konstitusi. Sultan dan Sri Paduka Paku Alam IX, yang saat ini menjabat gubernur dan wakil gubernur, akan mengisi posisi parardhya, ”atasan” gubernur, yang berwenang melantik bupati/wali kota, dan menjadi pelindung budaya. ”Parardhya itu posisinya seperti wali atau suhu,” kata Roy.
Jika Sultan berhasrat juga maju sebagai gubernur, Gamawan melanjutkan, ia tinggal menyatakan keinginan itu. ”Tanpa harus didukung partai politik dan tanpa harus memenuhi aturan formal syarat kandidat,” katanya. ”Inilah keistimewaannya.” Jika mayoritas masyarakat Yogyakarta memang mendukungnya, Sultan bisa langsung ditetapkan sebagai gubernur. Tapi, jika ternyata ada wong Yogya yang berani menantangnya, proses pemilihan harus dilewati. ”Ini amanat konstitusi pasal 18,” kata Gamawan.
Muncul selentingan, upaya pemerintah dan Partai Demokrat ”mengurung” Sultan di posisi parardhya karena keinginan mendudukkan jago mereka di kursi gubernur. Ketua Partai Demokrat Yogyakarta, sekaligus adik tiri Sultan, Prabukusumo, disebut sebut sebagai kandidat yang layak diperhitungkan. Cerita ini tidak bisa dikonfirmasikan kepada Prabukusumo. Namun Roy Suryo membantah. ”Isu itu untuk memojokkan Partai Demokrat saja,” katanya.
Menurut Gamawan, keistimewaan Yogyakarta akan tetap terpelihara dengan mekanisme ini. Ada poin poin lain yang diatur rancangan undang undang ini, seperti soal tanah Sultan dan Paku Alam, hak keuangan, serta kewenangan pemerintah daerah yang dipertegas. Sultan sendiri enggan menanggapi draf rancangan itu. Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Agus Purnomo, mengatakan draf pemerintah itu terbilang baru, meski bisa menimbulkan masalah juga. ”Ada soal protokoler, misalnya,” kata Agus.
Presiden, dalam pidato peringatan ketahanan pangan di Istana, Jumat pekan lalu, meminta secara terbuka agar Sultan bersabar. ”Tidak ada apa apa,” kata Presiden, yang kemudian menyematkan pin penghargaan ke dada kiri jas Sultan.
Budi Riza, Bernada Rurit
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo