Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tetap Mencari Si Kucing Belang

Pada Muktamar I, susunan DPP lebih banyak diraih oleh MI. J. Naro terpilih sebagai Ketua Umum dan formatir tunggal. Beberapa orang NU anjlok dari kedudukannya. (nas)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUSUNAN Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan hingga kini masih ramai dibicarakan. "NU memang babak belur, kalah total dari MI. Lihat saja, 12 dibanding 23," ujar khatib awal PB Syuriah NU Abdurrahman Wahid pada Kompas pekan silam. Buat orang banyak, DPP PPP hasil Muktamar I itu mungkin mengagetkan dan di luar dugaan. Banyak nama yang diramalkan bakal muncul dalam posisi penting ternyata tersingkir ke samping atau malahan hilang sama sekali. Susunan DPP periode 1984-1989 itu di umumkan pada hari ketiga Muktamar,22 Agustus, oleh J. Naro, yang sebelumnya secara aklamasi terpilih sebagai ketua umum sekaligus formatir tunggal. Sore hari itu, tatkala memasuki ruangan Krakatau di Hotel Horison, Naro disambut lagu Halo-halo Bandung. Berkali-kali teriakan "Hidup Naro" menyela koor lagu perjuangan itu. Mula-mula Naro menjelaskan mengapa ia gembira dengan sistem formatlr tunggal. Dengan sistem ini, ketua umum bisa menyeleksi para pembantunya. "Di sini diperlukan suatu yang kompak. Berdasarkan ini, para pembantu yang ada selalu memiliki moral communication. Sebab, dari sekian banyak orang, ternyata ia yang dipilih oleh ketua umum," kata Naro. Menurut Naro, sejarah membuktikan bahwa partai yang memilih banyak formatir akan menimbulkan dagang sapi dan klik-klik yang memudahkan terjadinya ketegangan. "Dalam muktarnar mendatang, saya harap tetap memakai formatir tunggal," kata Naro. Sebelum menulis nama-nama yang dipilih, menurut Naro, ia selalu membaca "bismillah". Di samping Naro sebagai ketua umum ada sembilan ketua, antara lain Zamroni, Darussamin, Mahdi Tjokroaminoto, Soedardji, Aisyah Amini, dan H.M. Baidlowi. Sebagai sekjen, Naro memilih H. Mardinsyah. Tatkala namanya disebut, Mardinsyah tampak kaget. Ia berdiri, mendekati Naro. Tangannya dirangkapkan ke depan seperti menghaturkan sembah, lalu bergabung dengan barisan orang-orang yang telah disebut namanya. Yang terpilih sebagai sekretaris antara lain Yudo Paripurno, Husni Thamrin, dan Ali Tamin. H.A.A. Malik terpilih sebagai bendahara. Masih ada lagi 12 departemen. Ridwan Saidi ditunjuk memimpin Departemen Organisasi, Anggota, dan Pemilu. Abdy S. Kusumanegara memimpin Departemen Tenaga Kerja. Bila dalam DPP lama terdapat lembaga Presiden Partai dan Majelis Syuro, dalam DPP baru ini dihapus. Yang tinggal ialah suara Majelis Pertimbangan Partai yang diketuai Imam Sofwan. Wakil ketuanya antara lain Mintaredja, Moenasir, Mahbub Djunaidi, dan Syarifuddin Harahap. Menurut Naro, sejumlah ulama "yang masih akan kami datangi dulu" akan melengkapi daftar ini. "Sebab, dalam DPP ini kami ingin satu dapur antara ulama dan cendekia, yang kami angan-angankan dapat memberi bahan bagi DPP mendatang dan bagi para anggota DPR dari PPP," kata Naro. Tak ada upacara formal pada pelantikan DPP baru itu. Darussamin, ketua panitia Muktamar, kemudian mengumumkan bahwa DPP lama dinyatakan bubar disertai ucapan terima kasih atas pengabdiannya selama ini. Naro kemudian memberi sambutan lagi, dan menutupnya dengan pantun: Dua tiga kucing berlari/Tidak sebaik si kucing belang/Nomor dua, nomor tiga, dapat dicari/Tapi aku tetap mencari yang nomor satu sekarang. Lalu teriaknya, "Sekali menjadi PPP, sampai hayat dikandung badan tetap PPP." Yang paling mencolok dari DPP baru ini memang anjloknya jumlah orang NU. amroni, yang sebelumnya santer disebut sebagai calon sekjen, ternyata terpilih sebagai ketua. Sedangkan Mahbub Djunaidi, yang diandalkan tetap menduduki kursi ketua, kali ini hanya menduduki wkil ketua MPP. Kelompok Idham Chalid tampaknya menduduki posisi lebih penting dibanding kelompok ulama. H.M. Baidlowi dari Jombang, menantu pendiri NU, K.H. Wahab Hasbullah, dan Hasan Rahaya, yang duduk sebagai ketua, dlkenal sebagal orang dekat Idham. Begitu juga Imam Sofwan. Satu-satunya posisi cukup penting yang didapat kelompok Situbondo (ulama) cuma kursi ketua, yang diduduki Zamroni. Terpilihnya Mardinsyah sebagai sekjen cukup mengagetkan. "Saya sendiri benar-benar terkeJut, gembira, dan dlbebam tanggung jawab yang besar untuk membantu Bapak Naro," kata Mardinsyah, 44, pada TEMPo. Sarjana biologi UGM lulusan 1967 ini baru mengenal Naro ketika ia menjabat wakil ketua DPRD Sum-Bar pada 1971, yaitu semasa Naro menjabat wakil ketua DPR/ MPR. Sejak 1982 ia menjadi anggota DPR dan duduk di Komisi IV. "Ia sama sekali tidak menonjol," kata beberapa wartawan DPR. Sasaran pertama Mardinsyah, membenahi kantor DPP PPP. "Bagaimana menjadikan kantor itu hidup dan,selalu ada orangnya. Dan partai tidak semu begini," kata Mardinsyah. Ditemui pekan lalu di Asrama Haji Pondok Gede, beberapa jam sebelum ia dan istrinya terbang naik haji, Mahbub Djunaidi mengaku cukup puas atas posisinya sekarang di MPP. "Ya, tugas saya semacam anggota DPA-lah," katanya. Menanggapi kecaman bahwa Muktamar I PPP itu tidak demokratis karena utusan ditunjuk DPP, Mahbub menganggapnya sebagai kelemahan anggaran dasar. "Dan Bun Naro menggunakan peluang itu. Saya kira hal itu bisa terjadi pada diri siapa saja. Ini bisa dijadikan pelajaran untuk muktamar mendatang. Sebab, bagaimana kita mau bicara demokrasi, kalau kita sendiri tidak demokratis," katanya. Penerimaan asas Pancasila oleh PPP rupanya langsung "dimanfaatkan". Moenasir, wakil ketua MPP PPP, pekan lalu mengusulkan perbedaan sebutan partai politik dan golongan karya dihilangkan. "Golkar memenuhi rumusan untuk disebut partai," katanya. Kalau istilah golongan mau dipertahankan, parpol bersedia mengalah dan disebut Golongan Persatuan dan Golongan Demokrasi. Sekjen DPP Golkar Sarwono Kusumaatmadja menganggap usul ini "terlalu pagi", dan persoalan ini tidak prinsipiil. "Buktikan dulu PPP akan menerapkan satu asas Pancasila secara kongkret, murni, dan konsekuen. Baru setelah itu kita bisa perbincangkan tentang nama," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus