Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Suara monsinyur dari wailili

Uskup dili, 36, administrator apostolik untuk timor timur, diwawancarai tempo tentang situasi yang terjadi di timor timur. (nas)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYANYIAN gereja mengalun syahdu di sebuah pelataran terbuka yang rindang dengan pohon beringin, di sebuah kampung di Desa Wailili, Kabupaten Baucau, Timor Timur. Sore itu, 20 Agustus lalu, merupakan hari istimewa bagi penduduk - bukan saja dari Desa Wailili, tapi juga dari desa-desa lain di kabupaten itu. Mereka, pria dan wanita, tua dan muda, hadir menyongsong pemimpinnya, Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, uskup Dili yang menjadi administrator apostolik untuk Timor Timur. Bersama dua pastor asal Italia, Mgr. Belo, yang bertubuh kecil da masih muda, 36, hari itu memberikan Sakramen Kristi (Penguatan), dan misa, yang ia tutup dengan sebuah pidato dalam bahasa Tatum, bahasa orang Timor Timur. Tapi sebelum meninggalkan mimbar, ia sempat mengucapkan "selamat tinggal", yang disambut dengan tepuk tangan oleh umatnya. Begitu ia turun dan mimbar, lebih dari seribu orang yang berkumpul di pelataran itu, tua dan muda, antre berebut mencium cincinnya. Sekalipun termasuk wajah "baru" di Tim-Tim, Mgr. Belo, yang menggantikan Mgr. da Costa Lopes, juga putra sana, tampaknya sudah mendapat tempat di hati umatnya. Ia lama di rantau, dan di saat rusuh tahun 1975 ia berada di Lisabon, ibu kota Portugal, belajar filsafat dan teologi sampai tahun 1978. Lalu melanjutkan studi di Roma, selama dua tahun, dalam Ordo Salesian. Berbeda dengan Mgr. da Costa Lopes yang bernada sumbang terhadap integrasi Tim-Tim, dan kini tinggal di Portugal, Mgr. Belo tampak lebih suka bernada rendah. Tapi, belakangan ini, namanya mendadak menjadi sorotan banyak orang. Beberapa wartawan Barat sempat menemui dan mewawancarainya, ketika sang monsinyur berada di Jakarta, Juli lalu, mengikuti peringatan 450 tahun lahirnya Gereja Katolik di Indonesia. Sebelumnya, pertengahan Februari lalu Mgr. Belo memang ada menulis surat kepada Mgr. Lopes, mengkritik keadaan yang terjadi di beberapa kabupaten di Tim-Tim yang, menurut Mgr. Belo, "memburuk". Entah mengapa surat itu kemudian ramai dikutip koran asing. Tapi ia merasa heran kenapa surat pribadi - yang aslinya dalam bahasa Portugis, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris - itu dimuat di berbagai koran luar negeri. Sore itu juga, di sebuah tempat pertemuan, tak jauh dari lapangan rindang itu, Mgr. Belo, putra Timor Timur yang baru kembali dari Roma pada tahun 1981, menerima lima wartawan senior dari Jakarta, antara lain Fikri Jufri dari TEMPO. Berikut ini beberapa petikan penting dari wawancara dengan Mgr. Belo: Apa kesan Monsinyur setelah tiga tahun bertugas sebagai uskup di Dili, dan berkeliling di Timor Timur? Pertama-tama, semua ini adalah rahmat dari Tuhan. Tuhan bekerja di dalam hati, sehingga orang bisa mengenal jalan-Nya. Saya melihat para pastor dan awam yang bekerja keras di daerahnya masing-masing. Saya juga melihat semua orang di Timor Timur masuk Gereja Katolik. Mereka melihat melalui Gereja, mereka mendapat perlindungan. Mereka merasakan bahwa kami dekat dengan mereka. Apa rakyat sekarang merasa ada kesulitan, sehingga minta perlindungan dari Gereja? Tidak ada kesulitan, tapi ada kekurangan. Apa saja kekurangan itu? Rakyat ingin ada kebebasan untuk berjalan ke pasar, ke sawah, ke kebun, dan ke daerah. Kalau orang-orang dari kecamatan-kecamatan bisa pergi berkeliling, kehidupan sosial ekonomi mereka akan lebih baik. Tapi dari pemerintah 'kan banyak fasilitas untuk membantu rakyat? Memang dari pemerintah ada fasilitas untuk membantu rakyat. Tapi yang pentmg adalah mereka harus bisa merasakan bahwa pembangunan itu adalah untuk mereka, dan bisa mereka nikmati. Orang di sini ingin hidup tenang. Perlu ada iklim kehidupan yang tenang. Ini penting. Apa yang menurut Anda perlu dilakukan pemerintah agar tercipta iklim kehidupan seperti Anda inginkan? Masih banyak orang yang berjaga-jaga, patroli-patroli. Kalau itu dilakukan di hutan-hutan, itu bisa dimengerti. Tapi di kota-kota kecil, orang tidak bisa keluar lebih dari dua kilometer. Setiap kali mau ke sawah, ke kebun, harus sclalu membawa surat jalan. Bukankah masih ada bahaya dari Fretilin? Ya. Sekarang mereka melakukan siasat untuk memprovokasi pemerintah, dengan menembak, membunuh, mencuri, dan membakar milik rakyat. Mereka merasakan bahwa rakyat tidak menvenangi cara-cara mereka, dan rakyat sudah mulai melawan. Dan saya sudah mengatakan bahwa mereka itu salah. Sudahkah Anda menyatakan pada Fretilin bahwa cara-cara mereka itu merugikan rakyat? Atau dalam suatu kesempatan terbuka dalam sebuah misa, misalnya? Semua orang sudah tahu pandangan saya yang tidak menyukai cara-cara yang sifatnya provokatif itu. Tapi saya belum punya kesempatan untuk bertemu muka dengan mereka. Memberi pesan itu melalui orang lain juga sulit karena, selain takut, kita juga tidak mengetahul di mana mereka bersembunyi. Baru-baru ini beberapa pers asing mengutip pendapat Monsinyur yang amat kritis terhadap keadaan dewasa ini di Tim-Tim. Sebuah surat Anda yang bernada kritis itu bahkan dimuat di pers luar negeri, antara lain koran Australia, The Age. Saya juga baca itu. Beberapa hal dalam wawancara itu saya kira telah dikutip di luar konteks permasalahan. Juga terjadi salah tafsir dan wawancara saya itu. Tentang surat saya kepada Mgr. da Costa Lopes, saya juga heran kenapa itu sampai dimuat dalam koran..Sebab, surat itu adalah surat pribadi yang saya tulis pada tanggal 16 Februari. Isi surat itu juga sudah saya bicarakan dengan Brigjen Soetarto (panglima Kodam XVI/ Udayana) sehari sebelumnya, pada 15 Februari, tentang apa yang terjadi di Timor Timur waktu itu. Apakah situasi sudah lebih baik sekarang? Eee, sudah mulai membaik dibandingkan sebelumnya. Tindakan apa yang menurut Anda perlu ditempuh sekarang? Saya kira perlu ada perundingan lagi dengan Fretilin. Mereka perlu berunding- dengan tokoh-tokoh masyarakat, dengan wakil-wakil Gereja, dengan tujuan untuk menciptakan suatu suasana yang tenteram. Dan saya sendiri bersedia bila diminta menjadi perantara. Tapi pimpinan mereka, seperti Xanana Gusmao, menganut doktrin Marxis-Leninis, dan tak mau menerima kenyataan integrasi sekarang. Bukankah percuma untuk berunding dengan mereka? Saya tak tahu apakah mereka benar-benar - Marxis. Saya belum membuat analisa tentang itu. Tapi orang-orang mereka ada yang minta dipermandikan, misalnya kalau ada perkawinan. Tapi tahun ini permintaan seperti itu memang tak ada lagi. Maksud Monsinyur dengan perundingan itu adalah dalam konteks Timor Timur sebagai provinsi ke-27 RI? Adalah suatu realitas bahwa rakyat Timor Timur ingin perdamaian, ingin pembangunan. Penentuan nasib sendiri (seydetermination) seperti yang dimaui Fretilin sulit. Jadi, sekarang marilah kita memikirkan pembangunan untuk masa depan Timor Timur. Untuk itu, pemerintah harus bisa merebut hati rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus