DI bawah sorotan sekitar 100 ribu pengunjung Gelanggang Olah Raga Haji Agus Salim, Padang, Kamis pagi pekan lalu gubernur Sumatera Barat Azwar Anas yang didampingi gubernur Jawa Tengah Ismai dan gubernur Jawa Timur Wahono melangkah pasti mendekati podium. Tak banyak yang melihat mata Azwar berkaca-kaca ketika Presiden Soeharto menyerahkan pataka Parasamya Purnakarya Nugraha ke tangannya. "Bapak terharu sekali waktu itu," ujar Jusmeini Azwar Anas, istrinya. Sejak Sumatera Barat santer disebut-sebut masuk Tiga Besar, bersama Jawa Barat dan Bengkulu, dua pekan sebelum pidato kenegaraan Kepala Negara di depan Dewan Perwakilan Rakyat, tidur Azwar, yang kadangkadang empat iam sehan, sudah tak nyenyak. Maka, sewaktu Presiden menyebut nama Sumatera Barat sebagai penerima tanda kehormatan yang diberikan sekali lima tahun itu, tiap akhir Pelita, Azwar, yang mengikuti pidato Kepala Negara dari ruang sidang DPRD, bagaikan terlonjak dari kursinya. "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar," ucapnya yang diikuti oleh anggota Dewan. Setelah itu Azwar menganjurkan agar setelah salat Jumat, 17 Agustus jemaah masjid di Sumatera Barat melakukan sujud syukur. "Bagi saya dapat Nomor Tiga saja syukur," kata Azwar, "apalagi Nomor Satu." Sumatera Barat adalah provinsi ketiga, dan pertama di luar Jawa, yang menerima tanda kehormatan tertinggi itu. Pendahulunya adalah Jawa Timur (1974) dan Jawa Tengah (19793 - keduanya tahun ini menerima tanda kehormatan Prayojanakriya Pata Parasamya Purnakarya Nugraha, lambang keberhasilan mempertahankan prestasi. Di mana letak rahasia kemenangan Sumatera Barat? "Selama Pelita III daerah ini telah menunjukkan karya tertinggi dalam melaksanakan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Presiden Soeharto dalam pidato sambutannya pada hari Denyerahan Parasamya Purnakarya Nugralia. Dasar penilaian, menurut kepala Humas Depdagri Feisal Tamin, antara lain, keberhasilan dalam Delapan Sukses - meliputi peningkatan produksi pangan, pelaksanaan program inpres, sukses koperasi, pemecahan masalah kependudukan, pemasyarakatan P4, pelaksanaan Keppres 14A, masalah pertanahan, dan peningkatan ekspor nonmigas. Delapan Sukses, di Sumatera Barat dilengkapi menjadi Sepuluh Program Pokok dengan tambahan, antara lain, ketahanan nasional, memang telah mengubah wajah provinsi itu. Laju pertumbuhan ekonomi tercatat 6,9%-0,9% lebih tinggi dari capaian nasional. Bahkan di tengah hebat-hebatnya resesi dulu, 1982, angka pertumbuhan Sumatera Barat masih 6,1%. Di desa, jumlah orang miskin, menurut Dr. Alfian Lains dari Universitas Andalas, kini tinggal sekitar 29% pada Pelita II hampir dua kali itu. Melonjaknya pendapatan rakyat, kini pendapatan per kapita tercatat US$ 400 setahun, membuat simpanan masyarakat di Sumatera Barat ikut naik. Selama Pelita III tabungan masyarakat itu terkumpul Rp 74 miIyar - sebelumnya Rp 24 milyar. Tapi untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% itu, menurut Alfian, penyumbang penyusunan kerangka dasar Pelita IV Sumatera Barat, dibutuhkan investasi sebesar Rp 1.800 milyar - lebih dari 20 kali simpanan masyarakat. Dari mana investasi sebanyak itu dikumpulkan? Gubernur Azwar Anas, antara lain mengimbau pengusaha-pengusaha Minang di perantauan untuk mau menanamkan modal mereka di Sumatera Barat. "Kami juga terbuka untuk penanaman modal asing," katanya. Menurut Alfian, dana yang mungkin digali dari provinsi, antara lain, 22% dari pemda, 7% tabungan masyarakat, 8% swasta lokal. Sisanya diharapkan dari pemerintah pusat dan swasta luar daerah. Kunci sukses tak terlepas dari penumbuhan suasana keterbukaan di kalangan pemimpin. Sebab, menurut Azwar, masyarakat Minang sangat kritis. "Di sini pemimpin hanya didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting," katanya. "Kalau perbuatan kita kena di hati mereka, apa pun akan mereka lakukan untuk kita. Saya pernah membebaskan tanah sepanjang 140 kilometer untuk pelebaran jalan tanpa mengganti rugi sepeser pun," kata Azwar lebih lanjut. Sosiolog Mochtar Naim dari Universitas Andalas melihat, keberhasilan pembangunan di Sumatera Barat banyak ditopang oleh struktur kemasyarakatan yang sudah berakar lama. Sistem pemerintahan nagari, sebagai eselon pemerintahan terendah, merupakan lembaga pemerintahan demokrasi yang berhasil menempatkan rakyat sebagai subyek pembangunan. Rakyat melalui Kerapatan Nagari, semacam DPRD, mendampingi wali nagari menentukan arah pembangunan desa. "Kerapatan Nagari beranggota ninik mamak, ulama, dan cerdik pandai. Dengan demikian, semua suara tersalurkan," kata Mochtar. Maka, tak mengherankan bila kecintaan warga terhadap nagari sangat tinggi. Buktinya, pada Lebaran tahun lalu masyarakat Nagari Balingka, Kabupaten Agam, mendapat bantuan Rp 10 iuta untuk pembangunan masjid setempat. Perantau Silungkang, Kabupaten Sawahlunto - Sijunjung, membangun sekolah dengan biaya Rp 40 juta. Kini, sudah dua tahun, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5/1974, Sumatera Barat mengenal lembaga desa - setingkat kelurahan. Kepala desa ada yan dipilih dan ada pula berdasarkan penunjukan. Karena itu, Mochtar, untuk masa datang, agak merisaukan kemungkinan mempertahankan partisipasi masyarakat selama ini. "Sebab, di desa, sekaran, masyarakat berubah menjadi obyek pembangunan," tambah Mochtar. Mawardi Yunus, bekas ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, juga membenarkan masalah ini. "Kebanggaan terhadap nagari menjadi motivasi dan munculnya partisipasi," katanya. Tapi setelah nagari menjadi desa, lembaga yang mendudukkan semua unsur dan berfungsi terhadap nagari tak hidup lagi. Tapi Azwar Anas tetap optimistis menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pem.bangunan. Caranya adalah dengan memberikan pendidikan pada mereka. Maka, sekolah-sekolah diperbanyak olehnya. Jumlah SD dalam Pelita III melonjak jadi 3.792 buah - sebelumnya 2.755 buah. Juga sekolah lanJutan sampai perguruan tinggi menaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini