IRING-IRINGAN mobil pengantar jenazah melaju pelan di Jalan Urip Sumo harjo, Solo. Kembang ditaburtaburkan ke jalanan. Melihat itu, Wali Kota Solo, Hartomo, menyuruh sopirnya menghentikan kendaraan persis di depan barisan mobil pelayat. Hartomo pun bergegas turun dan menegur, "Bunganya jangan dibuang di Jalanan. Nanti saa ditaburkan dl kuburan biar kota kita tetap bersih." Para pelayat dan keluarga Mendiang Tan Hauw Oen kaget sebentar dan kemudian mematuhi "perintah" itu. Teguran Hartomo ternyata tidak mainmain. Bukan cuma sawur saja yang dilarangnya dibuat di jalan. Juga kembarmayang. "Itu semua termasuk sampah," katanya. Padahal program Solo berseri, yang bertujuan membuat Solo bersih, sudah dikibarkannya sejak awal 1985, setelah ia menjabat walikota. Sawur adalah taburan kembang bercampur beras dan beberapa keping uang logam, mengiringi pemberangkatan jenazah. Dalam masyarakat Indonesia keturunan Cina, taburan itu masih disertai guntingan kertas-kertas kecil bertuliskan huruf Cina. Selain dipercaya sebagai penolak bala untuk melempangkan jalan bagi yang tiada, sawur juga dimaksudkan sebagai sedekah. Adapun kembarmayang - yang terbuat dari rangkaian bunga - merupakan salah satu kelengkapan upacara pernikahan. Kembarmayang, yang dibuang di perempatan jalan besar itu, dimaksudkan semacam "pengumuman" bahwa telah berlangsung upacara pernikahan. Dalam masyarakat Jawa, rangkaian bunga ini juga mengandung nilai sakral, lambang kesatu-paduan. Tradisi seperti itu sudah berlangsung turun-temurun - dan Wali Kota Hartomo bukannya tak tahu. Tapi karena ingin mempertahankan prestasi - tahun lalu Solo berhasil memperoleh anugerah Adipura sebagai kota yang bersih - Hartomo agaknya ingin menertibkan adat warisan itu. Dan itu mengundang reaksi. Darmanto Yatman, budayawan dan dosen Universitas Diponegoro Semarang, menyesalkan ulah Hartomo. "Upacara tradisi yang sakral itu sangat penting bagi kedamaian batin orang Jawa, jadi jangan diubah-ubah," katanya. "Pak Hartomo sebaiknya berpikir dengan cara pikir orang Tawa. Tapi oran-Tawa sendiri harus diajari menjalankan tradisi yang benar." Misalnya, tidak menaruh kembarmayang di tengah perempatan jalan, tapi di tempat tertentu yang disediakan untuk itu. Ahli budaya Jawa, Karkono Partokusumo yang juga tokoh Javanologi Yogya, menyarankan agar cara menjalankan tradisi lebih disederhanakan. "Sawur, yang antara lain dimaksudkan sebagai sedekah, misalnya, disumbangkan langsung ke panti-panti asuhan," katanya. Yang jelas, tradisi itu perlu dipertahankan. Seperti yang dikatakan juga oleh K.P.H. Mloyomiluhur, ahli spiritual keraton Kasunanan Solo, "sangat penting untuk menjaga keselarasan dengan alam semesta agar hidup kita tetap harmonis". Di bawah "tekanan" itu, Hartomo, akhirnya berkompromi. Di depan peserta pena taran kebudayaan Jawa yang diselenggarakan Pawiyatan Jawi Widya Budaya, pekan lalu, Hartomo menegaskan tetap menghargai tradisi dan sama sekali tidak bermaksud menghapus budaya Jawa yang harus dipelihara itu. Kepada TEMPO, Hartomo menjelaskan sikapnya. "Silakan menabur-naburkan sawur di sepanjang jalan. Tapi setelah itu usai, harus ada yang bertanggung jawab untuk membersihkan jalan dari sampah sa7ur itu. Silakan bikin kembarmayang sebanyak-banyaknya. Tapi setelah diletakkan di tengah perempatan jalan dan dimantrai sebentar, hendaknya dipindahkan ke pinggir jalan. Malah jadi pajangan yang asri," kata Hartomo. "Saya 'kan hanya mengajak masyarakat melaksanakan tradisi dalam lingkungan yang bersih. B.S.H., Kastoyo Ramelan, Nanik Ismaini, I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini