MINGGU dini hari, di ujung pekan lalu. Acara terakhir sidang
pleno Kongres ke-15 Himpunan Mahasiswa Islam di Medan,
pembacaan keputusan kongres.
Alex Tofani, ketua umum Badan Koordinator HMI Sumatera Utara
yang menjabat ketua Presidium Kongres tampil ke depan. Ada 11
materi keputusan yang dibacanya. Ketika ia sampai pada bagian
Anggaran Dasar pasal 4, bahwa asas HMI "tetap Islam", teriak
"Allahu akbar" gemuruh menyambutnya.
Gegap empita itu tampaknya lebih merupakan "unjuk perasaan" 163
peserta kongres. Mereka toh sudah tahu hasil keputusan itu
sebelumnya. Komisi Organisasi beberapa hari sebelumnya telah
memutuskan bahwa HMI tidak akan mengubah asasnya. Dengan kata
lain, asas tunggal Pancasila yang diimbaukan kalangan
pemerintah ditolak.
Telah jadi pembangkang yang ekstrimkah HMI -- sebuah organisasi
yang dalam sejarahnya terkenal luwes? Ada kesan memang bahwa
imbauan dari atas justru menyebabkan reaksi yang mengeras. Tapi
para pemimpin HMI cukup punya jawab nampaknya untuk menjelaskan
posisinya.
"Membicarakan soal Pancasila bagi HMI jelas merupakan setback,"
kata Ahmad Zacky Siradj, bekas ketua umum HMI yang pekan lalu
diganti oleh Harry Azhar Aziz. Menurut Zacky, HMI -- yang
berdiri dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan ketika Republik
dalam ancaman dijajah kembali bertujuan antara lain untuk
mempertahankan dan menegakkan RI. "Maknanya HMI tetap
mempertahankan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,"
katanya. Lagi pula sejak Kongres HMI di Palembang pada 1971,
Mukadimah anggaran dasarnya telah mencantumkan Pancasila.
Tapi kenapa sekarang jadi perkara lagi? Soal asas tunggal
Pancasila memang merupakan salah satu masalah paling menonjol
dalam Kongres HMI ke-15 ini. Tatkala memberikan sambutan --
tanpa teks -- dalam kongres tersebut, Menteri Pemuda & Olah Raga
Abdul Gafur antara lain menguraikan sebuah rancangan
undang-undang yang kini tengah digodok Departemen Dalam Negeri.
Di situ ada keharusan bagi semua organisasi massa menerima
Pancasila sebagai asas tunggalnya. Ini tentu sejajar dengan yang
berlaku di partai politik.
Namun yang berlangsung mulus di partai seperti PPP tak dengan
sendirinya mulus pula di Kongres HMI di Medan itu. Tanggapan
hadirin ternyata lantang. Belasan orang menganggap diterapkannya
asas tunggal itu akan "menghilangkan identitas" banyak
organisasi. Atau bahkan "mengganggu kebhinekaan" -- suatu
kenyataan yang tak terelakkan di masyarakat.
Gafur membantah. Dia percaya betul penerapan asas tunggal tidak
akan sampai menghapus identitas, juga untuk HMI. "Identitas itu
pasti terlihat nyata pada mukadimah Anggaran Dasar HMI, pada
program seperti dakwah Islamiyah dan sebagainya," kata Gafur --
yang juga dulu anggota HMI ketika masih mahasiswa Fakultas
Kedokteran di UI.
Toh akhirnya imbauan Gafur itu tidak masuk ke gawang. "Kita kan
belum tahu wujud rancangan undang-undang itu. Jangan-jangan
nanti kita bagai sekumpulan orang buta yang meraba gajah," kata
Zacky.
"Gajah" itu sebenarnya mungkin tak teramat aneh dan besar. Namun
rupanya banyak pihak gamang juga menghadapinya dan itu tak cuma
di kalangan HMI. Juga organisasi mahasiswa lain. Ada kesan
sejumlah organisasi mahasiswa yang lazim disebut "ekstra" (dari
kata ekstrauniversitas) ingin mempertahankan independensi
mereka, setidaknya mereka tak mau terlampau "diatur".
Sikap serupa secara tak langsung juga diunjukkan Sunggul
Siahaan, 28 tahun, sekretaris umum Pengurus Pusat Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Ia ingin generasi muda mampu
memperlihatkan sikap mandiri. Maka, kata Sunggul, hendaknya
dihindari tiap bentuk "pembinaan" yang lebih mengarah pada "pola
yang represip". Terjemahannya: jangan didesak-desak.
Di Yogyakarta, ketua GMNI -- Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia -- cabang setempat, Amir Sutoko, mengemukakan hal yang
sama. Ia bicara sulitnya GMNI untuk mengubah dasar
"marhaenisme"nya yang dulu diterima dari gagasan Bung Karno.
Dalam anggaran dasarnya tercantum, kongres sekalipun tak bisa
mengubah anggaran dasar.
Tapi bagaimana mereka bertahan, itu masih jadi pertanyaan.
Organisasi mahasiswa ekstra pernah mengalami masa meriah di masa
lampau, sampai awal Orde Baru, persisnya sampai 1974. Boleh
dikata mereka, yang besar perannya waktu menghadapi PKI, selalu
terlibat dalam semua kegiatan politik mahasiswa.
Tapi setelah Peristiwa 15 Januari 1974, pemerintah mulai
membatasi kegiatan politik mahasiswa. Pukulan berikutnya terjadi
pada 1978 setelah diberlakukannya NKK (Normalisasi Kehidupan
Kampus) yang menutup pintu bagi kegiatan organisasi mahasiswa
ekstra dalam kampus. Sejak itu suara mereka dan gerak mereka --
seperti ulangan sebuah film lama yang buram di tengah kekuatan
politik yang berubah ke tangan birokrasi pemerintah.
Pekan lalu mungkin merupakan perkecualian. Kegiatan mereka
banyak diberitakan di pers. Selain HMI yang berkongres di Medan,
PMKRI juga mengadakan Konperensi Studi Nasional selama seminggu
diJakarta (dihadiri 13 cabangnya). Beberapa surat kabar pekan
lalu juga secara panjang memberitakan ceramah bekas Wakil
Presiden Adam Malik pada acara diskusi GMKI Jakarta.
Sudah habiskah makna mereka, selain dengan hal-hal rutin? Lalu
apa? Dibanding dasawarsa yang lalu, memang ada perubahan yang
menyolok pada organisasi eksura: kurve kegiatan politik mereka
melorot. Ketua Umum HMI Harry Azhar Aziz misalnya mengakui, pola
gerakan HMI sudah berubah: dari "meneriakkan yel-yel," menjadi
gerakan kelompok belajar, pengabdian masyarakat dan penalaran
ilmu. "Itu yang sekarang dibutuhkan mahasiswa, maka itulah menu
yang kami hidangkan," katanya, dengan kiasan dari dunia rumah
makan.
Di Yogyakarta, misalnya HMI punya beberapa "desa binaan". Asal
mulanya, pengurus cabang menugaskan anggotanya yang melakukan
program "Kuliah Kerja Nyata" atau KKN membuat deskripsi desa,
berikut potensi yang bisa dikembangkan di sana. Setelah KKN
rampung, laporan itu dipelajari. Proyeknya pun dibuat. "Kami
lalu rutin ke sana memberi bimbingan berupa kerajinan tangan,
beternak, sekaligus memberi dakwah Islam," kata Ikrar Muhammad
Saleh, ketua Bidang Kemahasiswaan dan Perguruan Tinggi HMI
Yogyakarta.
Menurut Ikrar, adanya berbagai kegiatan itu ternyata menyedot
minat mahasiswa masuk HMI. Diakuinya, dulu sebagian mahasiswa
mendaftar jadi anggota dengan tujuan mencari "status" di kampus.
Maksudnya: bisa duduk di senat atau dapat "prioritas" tertentu.
Tapi sejak 1980 jumlah "pencari status" itu sangat berkurang.
Yang menarik, kata Ikrar, dari penelitian yang tiap tahun
diadakan, sekitar 60% anggota baru ternyata anak pegawai negeri.
"Artinya anak anggota Korpri atau Golkar," kata Ikrar.
Pengalaman PMKRI Medan lain lagi. Kalau ada acara piknik,
berkemah atau mendaki gunung barulah banyak anggota muncul.
"Motif untuk mendapatkan rekreasi ini yang paling banyak
dirasakan di Medan," kata Osman Sitorus, wakil Sekjen PMKRI
cabang Medan. Karena itu meski anggota yang terdaftar lebih
dari 1.000 orang, yang aktif cuma seratusan saja.
Yang menarik, pada 1980, tatkala di Medan ada "gerakan" yang
menghalang-halangi mahasiswa keturunan Cina ke kampus, jumlah
anggota PMKRI naik pesat. Ini juga terjadi di Ujungpandang.
"Jumlah anggota kami memang kembang kempis," kata ketua
cabangnya. Pada waktu terjadi aksi antiCina, marga (kantor pusat
kegiatan), penuh dengan anggota. Tapi kalau tak ada ramai-ramai
itu, marga sepi-sepi saja."
Dari situ nampak juga bahwa terkadang masuk organisasi berarti
mencoba mendapatkan proteksi, seperti yang terjadi di kalangan
mahasiswa keturunan Cina di cabang PMKRI Medan dan Ujungpandang
itu. Atau, mereka masuk untuk mencari -- dan juga meneguhkan --
identitas yang mereka anggap cocok bagi latar belakang sosial
mereka. Ini pun semacam proteksi, yang lebih bersifat kejiwaan
-- suatu hal yang dibutuhkan ketika seorang muda lepas dari
rumah dan menghadapi keanekaragaman kelompok sosial dan
nilai-nilai.
Itulah agaknya yang banyak terjadi di kalangan HMI, yang
anggotanya umumnya berasa dari kalangan santri atau keluarga
Islam di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat, dan Kalimantan.
Tapi tentu ada motif lain -- yang terkadang unik. Bursah, ketua
Senat Mahasiswa Fakulus Ekonomi Universitas Jayabaya, Jakarta,
mengaku masuk HMI dengan alasan "ingin mengenal Islam lebih
dalam, karena dulunya saya bekas pemabuk." Sementara itu buat
Heru Wibowo, mahasiswa tingkat terakhir Fakultas Teknik Mesin
ITS, manfaat yang paling dirasakan setelah masuk PMKRI: ia kini
bisa lancar berbicara di depan umum. Ia juga merasa lebih
memahami masalah sosial, merasa lebih bertanggung jawab dan
lebih faham bagaimana proses mengambil keputusan dalam
perbedaan.
Melihat itu semua, kehadiran organisasi ekstra di kampus secara
tidak langsung tetap akan terus juga. Ini nampak pada anggota
mereka dalam senat-senat mahasiswa. Karena itu, persaingan
antara berbagai organisasi ekstra juga masih sangat terasa di
saat pemilihan pengurus senat, meskipun setelah NKK hal itu
secara resmi dilarang.
Toh suasana zaman dulu masih bisa disaksikan: di kampus IAIN
Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, pekan lalu misalnya
spanduk HMI, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dan PMII bebas
terpampang. Di ruangan pendaftaran mahasiswa baru ada meja kursi
memanjang yang dipakai HMI melayani para calon mahasiswa.
Aktivis PMII dan IMM berlalu lalang melambai calon mahasiswa --
sembari menawarkan buku soal ujian masuk IAIN.
Tiap calon mahasiswa pun disambut manis, diantarkan,
didaftarkan, bahkan diisikan blanko pendaftarannya. Mereka juga
diajak mampir ke rumah aktivis atau ke asrama. Si calon yang
belum dapat tempat tinggal dipersilakan tidur di asrama atau
tinggal sementara di pemondokan para aktivis.
Ketiga organisasi ini, yang berkantor di kompleks IAIN, juga
menyelenggarakan bimbingan tes. Dan ini rupanya dengan
sepengetahuan pimpinan. "Mereka diberi fasilitas kantor itu
karena sejak dulu telah memakainya. Jadi tidak usah dicabut,
cukup diarahkan. Kalau mereka disuruh pergi mudlaratnya jauh
lebih besar dari manfaatnya," kata Hisam Zaini, Wakil Rektor III
IAIN Syarif Hidayatullah.
Hisam punya pendapat yang nampaknya penting dicatat: organisasi
ekstra masih diperlukan, sebab mereka bisa melengkapi apa yang
tidak bisa dijangkau IAIN. Yakni latihan kepemimpinan, suatu hal
yang memang efektif di situ. Dengan ruang lingkup mereka yang
lebih luas, pendidikan kepemimpinan yang mereka berikan pasti
jauh lebih bermanfaat dibanding kehidupan di senat-senat di
kampus yang terbatas ruang geraknya.
Adakah dengan itu mereka bisa dianggap sebagai sumber yang baik
atau kalangan yang mencemaskan, tergantung keadaannya. Mungkin
bisa disimak hasil penelitian Direktorat Kemahasiswaan, Ditjen
Perguruan Tinggi, Departemen P & K yang terbit pada 1979.
Penelitian yang dilakukan di hampir semua perguruan tinggi di
Indonesia antara 1977-1978 itu menunjukkan: hampir separuh dari
populasi mahasiswa adalah anggota organisasi ekstra, bahkan
hampir 17% pernah menjadi pimpinan.
Yang menarik, penelitian itu juga menyimpulkan: mahasiswa secara
potensial bukanlah sumber keresahan. Keresahan yang terjadi
lebih disebabkan oleh tekanan pengaruh dari luar, khususnya
karena saluran untuk menyatakan pendapat kurang terbuka.
Mahasiswa dapat juga resah kalau merasa hak-hak dan eksistensi
mereka terancam dan kalau mereka merasa kebebasan mereka
dibatasi.
Kini, dari pendapat seperti yang diutarakan Rektor UI dan
Menteri P & K Nugroho Notosusanto, nampak bahwa organisasi
ekstra tak akan secara a priori dimusuhi. Yang jadi soal di
masa depan barangkali bagaimana sesuatu yang konstruktif bisa
lahir dan kondisi itu.
Banyak pengamat memuji bahwa suasana kampus yang tenang kini
bisa memberi banyak kesempatan untuk tekun. Tapi bukan berarti
tanpa tanda yang menyedihkan. Seperti kata Dr. Sarlito Wirawan,
ahli psikologi yang pernah meneliti kalangan muda di kampus itu,
"Saya kasihan pada mahasiswa sekarang. Jiwa mereka kebanyakan
miskin, sempit dan terbatas, tidak sekaya dulu. Sekarang banyak
keterbatasan. Bahkan mau berkemah atau membuat majalah kampus
saja susah."
Ada yang didapat, tapi ada yang hilang, dan itu wajar. Tapi bila
dari suasana riuh rendah yang ekstrim mahasiswa beralih ke sikap
membisu yang ekstrim, tentu ada sesuatu yang tak beres sedang
terjadi. Memperbaiki hal itulah nampaknya tantangan organisasi
mahasiswa, baik ekstra maupun intra, dan sejumlah menteri yang
kini bertugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini