Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tidak, mereka tidak akan bubar tidak, mereka tdk akan bubar

Peranan dan kondisi hmi sebagai organisasi ekstrauniversitas. kongres hmi ke-15 di medan menolak azas tunggal pancasila. nkk dan bkk menutup kegiatan organisasi tersebut. (nas)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINGGU dini hari, di ujung pekan lalu. Acara terakhir sidang pleno Kongres ke-15 Himpunan Mahasiswa Islam di Medan, pembacaan keputusan kongres. Alex Tofani, ketua umum Badan Koordinator HMI Sumatera Utara yang menjabat ketua Presidium Kongres tampil ke depan. Ada 11 materi keputusan yang dibacanya. Ketika ia sampai pada bagian Anggaran Dasar pasal 4, bahwa asas HMI "tetap Islam", teriak "Allahu akbar" gemuruh menyambutnya. Gegap empita itu tampaknya lebih merupakan "unjuk perasaan" 163 peserta kongres. Mereka toh sudah tahu hasil keputusan itu sebelumnya. Komisi Organisasi beberapa hari sebelumnya telah memutuskan bahwa HMI tidak akan mengubah asasnya. Dengan kata lain, asas tunggal Pancasila yang diimbaukan kalangan pemerintah ditolak. Telah jadi pembangkang yang ekstrimkah HMI -- sebuah organisasi yang dalam sejarahnya terkenal luwes? Ada kesan memang bahwa imbauan dari atas justru menyebabkan reaksi yang mengeras. Tapi para pemimpin HMI cukup punya jawab nampaknya untuk menjelaskan posisinya. "Membicarakan soal Pancasila bagi HMI jelas merupakan setback," kata Ahmad Zacky Siradj, bekas ketua umum HMI yang pekan lalu diganti oleh Harry Azhar Aziz. Menurut Zacky, HMI -- yang berdiri dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan ketika Republik dalam ancaman dijajah kembali bertujuan antara lain untuk mempertahankan dan menegakkan RI. "Maknanya HMI tetap mempertahankan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," katanya. Lagi pula sejak Kongres HMI di Palembang pada 1971, Mukadimah anggaran dasarnya telah mencantumkan Pancasila. Tapi kenapa sekarang jadi perkara lagi? Soal asas tunggal Pancasila memang merupakan salah satu masalah paling menonjol dalam Kongres HMI ke-15 ini. Tatkala memberikan sambutan -- tanpa teks -- dalam kongres tersebut, Menteri Pemuda & Olah Raga Abdul Gafur antara lain menguraikan sebuah rancangan undang-undang yang kini tengah digodok Departemen Dalam Negeri. Di situ ada keharusan bagi semua organisasi massa menerima Pancasila sebagai asas tunggalnya. Ini tentu sejajar dengan yang berlaku di partai politik. Namun yang berlangsung mulus di partai seperti PPP tak dengan sendirinya mulus pula di Kongres HMI di Medan itu. Tanggapan hadirin ternyata lantang. Belasan orang menganggap diterapkannya asas tunggal itu akan "menghilangkan identitas" banyak organisasi. Atau bahkan "mengganggu kebhinekaan" -- suatu kenyataan yang tak terelakkan di masyarakat. Gafur membantah. Dia percaya betul penerapan asas tunggal tidak akan sampai menghapus identitas, juga untuk HMI. "Identitas itu pasti terlihat nyata pada mukadimah Anggaran Dasar HMI, pada program seperti dakwah Islamiyah dan sebagainya," kata Gafur -- yang juga dulu anggota HMI ketika masih mahasiswa Fakultas Kedokteran di UI. Toh akhirnya imbauan Gafur itu tidak masuk ke gawang. "Kita kan belum tahu wujud rancangan undang-undang itu. Jangan-jangan nanti kita bagai sekumpulan orang buta yang meraba gajah," kata Zacky. "Gajah" itu sebenarnya mungkin tak teramat aneh dan besar. Namun rupanya banyak pihak gamang juga menghadapinya dan itu tak cuma di kalangan HMI. Juga organisasi mahasiswa lain. Ada kesan sejumlah organisasi mahasiswa yang lazim disebut "ekstra" (dari kata ekstrauniversitas) ingin mempertahankan independensi mereka, setidaknya mereka tak mau terlampau "diatur". Sikap serupa secara tak langsung juga diunjukkan Sunggul Siahaan, 28 tahun, sekretaris umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Ia ingin generasi muda mampu memperlihatkan sikap mandiri. Maka, kata Sunggul, hendaknya dihindari tiap bentuk "pembinaan" yang lebih mengarah pada "pola yang represip". Terjemahannya: jangan didesak-desak. Di Yogyakarta, ketua GMNI -- Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia -- cabang setempat, Amir Sutoko, mengemukakan hal yang sama. Ia bicara sulitnya GMNI untuk mengubah dasar "marhaenisme"nya yang dulu diterima dari gagasan Bung Karno. Dalam anggaran dasarnya tercantum, kongres sekalipun tak bisa mengubah anggaran dasar. Tapi bagaimana mereka bertahan, itu masih jadi pertanyaan. Organisasi mahasiswa ekstra pernah mengalami masa meriah di masa lampau, sampai awal Orde Baru, persisnya sampai 1974. Boleh dikata mereka, yang besar perannya waktu menghadapi PKI, selalu terlibat dalam semua kegiatan politik mahasiswa. Tapi setelah Peristiwa 15 Januari 1974, pemerintah mulai membatasi kegiatan politik mahasiswa. Pukulan berikutnya terjadi pada 1978 setelah diberlakukannya NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang menutup pintu bagi kegiatan organisasi mahasiswa ekstra dalam kampus. Sejak itu suara mereka dan gerak mereka -- seperti ulangan sebuah film lama yang buram di tengah kekuatan politik yang berubah ke tangan birokrasi pemerintah. Pekan lalu mungkin merupakan perkecualian. Kegiatan mereka banyak diberitakan di pers. Selain HMI yang berkongres di Medan, PMKRI juga mengadakan Konperensi Studi Nasional selama seminggu diJakarta (dihadiri 13 cabangnya). Beberapa surat kabar pekan lalu juga secara panjang memberitakan ceramah bekas Wakil Presiden Adam Malik pada acara diskusi GMKI Jakarta. Sudah habiskah makna mereka, selain dengan hal-hal rutin? Lalu apa? Dibanding dasawarsa yang lalu, memang ada perubahan yang menyolok pada organisasi eksura: kurve kegiatan politik mereka melorot. Ketua Umum HMI Harry Azhar Aziz misalnya mengakui, pola gerakan HMI sudah berubah: dari "meneriakkan yel-yel," menjadi gerakan kelompok belajar, pengabdian masyarakat dan penalaran ilmu. "Itu yang sekarang dibutuhkan mahasiswa, maka itulah menu yang kami hidangkan," katanya, dengan kiasan dari dunia rumah makan. Di Yogyakarta, misalnya HMI punya beberapa "desa binaan". Asal mulanya, pengurus cabang menugaskan anggotanya yang melakukan program "Kuliah Kerja Nyata" atau KKN membuat deskripsi desa, berikut potensi yang bisa dikembangkan di sana. Setelah KKN rampung, laporan itu dipelajari. Proyeknya pun dibuat. "Kami lalu rutin ke sana memberi bimbingan berupa kerajinan tangan, beternak, sekaligus memberi dakwah Islam," kata Ikrar Muhammad Saleh, ketua Bidang Kemahasiswaan dan Perguruan Tinggi HMI Yogyakarta. Menurut Ikrar, adanya berbagai kegiatan itu ternyata menyedot minat mahasiswa masuk HMI. Diakuinya, dulu sebagian mahasiswa mendaftar jadi anggota dengan tujuan mencari "status" di kampus. Maksudnya: bisa duduk di senat atau dapat "prioritas" tertentu. Tapi sejak 1980 jumlah "pencari status" itu sangat berkurang. Yang menarik, kata Ikrar, dari penelitian yang tiap tahun diadakan, sekitar 60% anggota baru ternyata anak pegawai negeri. "Artinya anak anggota Korpri atau Golkar," kata Ikrar. Pengalaman PMKRI Medan lain lagi. Kalau ada acara piknik, berkemah atau mendaki gunung barulah banyak anggota muncul. "Motif untuk mendapatkan rekreasi ini yang paling banyak dirasakan di Medan," kata Osman Sitorus, wakil Sekjen PMKRI cabang Medan. Karena itu meski anggota yang terdaftar lebih dari 1.000 orang, yang aktif cuma seratusan saja. Yang menarik, pada 1980, tatkala di Medan ada "gerakan" yang menghalang-halangi mahasiswa keturunan Cina ke kampus, jumlah anggota PMKRI naik pesat. Ini juga terjadi di Ujungpandang. "Jumlah anggota kami memang kembang kempis," kata ketua cabangnya. Pada waktu terjadi aksi antiCina, marga (kantor pusat kegiatan), penuh dengan anggota. Tapi kalau tak ada ramai-ramai itu, marga sepi-sepi saja." Dari situ nampak juga bahwa terkadang masuk organisasi berarti mencoba mendapatkan proteksi, seperti yang terjadi di kalangan mahasiswa keturunan Cina di cabang PMKRI Medan dan Ujungpandang itu. Atau, mereka masuk untuk mencari -- dan juga meneguhkan -- identitas yang mereka anggap cocok bagi latar belakang sosial mereka. Ini pun semacam proteksi, yang lebih bersifat kejiwaan -- suatu hal yang dibutuhkan ketika seorang muda lepas dari rumah dan menghadapi keanekaragaman kelompok sosial dan nilai-nilai. Itulah agaknya yang banyak terjadi di kalangan HMI, yang anggotanya umumnya berasa dari kalangan santri atau keluarga Islam di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat, dan Kalimantan. Tapi tentu ada motif lain -- yang terkadang unik. Bursah, ketua Senat Mahasiswa Fakulus Ekonomi Universitas Jayabaya, Jakarta, mengaku masuk HMI dengan alasan "ingin mengenal Islam lebih dalam, karena dulunya saya bekas pemabuk." Sementara itu buat Heru Wibowo, mahasiswa tingkat terakhir Fakultas Teknik Mesin ITS, manfaat yang paling dirasakan setelah masuk PMKRI: ia kini bisa lancar berbicara di depan umum. Ia juga merasa lebih memahami masalah sosial, merasa lebih bertanggung jawab dan lebih faham bagaimana proses mengambil keputusan dalam perbedaan. Melihat itu semua, kehadiran organisasi ekstra di kampus secara tidak langsung tetap akan terus juga. Ini nampak pada anggota mereka dalam senat-senat mahasiswa. Karena itu, persaingan antara berbagai organisasi ekstra juga masih sangat terasa di saat pemilihan pengurus senat, meskipun setelah NKK hal itu secara resmi dilarang. Toh suasana zaman dulu masih bisa disaksikan: di kampus IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, pekan lalu misalnya spanduk HMI, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dan PMII bebas terpampang. Di ruangan pendaftaran mahasiswa baru ada meja kursi memanjang yang dipakai HMI melayani para calon mahasiswa. Aktivis PMII dan IMM berlalu lalang melambai calon mahasiswa -- sembari menawarkan buku soal ujian masuk IAIN. Tiap calon mahasiswa pun disambut manis, diantarkan, didaftarkan, bahkan diisikan blanko pendaftarannya. Mereka juga diajak mampir ke rumah aktivis atau ke asrama. Si calon yang belum dapat tempat tinggal dipersilakan tidur di asrama atau tinggal sementara di pemondokan para aktivis. Ketiga organisasi ini, yang berkantor di kompleks IAIN, juga menyelenggarakan bimbingan tes. Dan ini rupanya dengan sepengetahuan pimpinan. "Mereka diberi fasilitas kantor itu karena sejak dulu telah memakainya. Jadi tidak usah dicabut, cukup diarahkan. Kalau mereka disuruh pergi mudlaratnya jauh lebih besar dari manfaatnya," kata Hisam Zaini, Wakil Rektor III IAIN Syarif Hidayatullah. Hisam punya pendapat yang nampaknya penting dicatat: organisasi ekstra masih diperlukan, sebab mereka bisa melengkapi apa yang tidak bisa dijangkau IAIN. Yakni latihan kepemimpinan, suatu hal yang memang efektif di situ. Dengan ruang lingkup mereka yang lebih luas, pendidikan kepemimpinan yang mereka berikan pasti jauh lebih bermanfaat dibanding kehidupan di senat-senat di kampus yang terbatas ruang geraknya. Adakah dengan itu mereka bisa dianggap sebagai sumber yang baik atau kalangan yang mencemaskan, tergantung keadaannya. Mungkin bisa disimak hasil penelitian Direktorat Kemahasiswaan, Ditjen Perguruan Tinggi, Departemen P & K yang terbit pada 1979. Penelitian yang dilakukan di hampir semua perguruan tinggi di Indonesia antara 1977-1978 itu menunjukkan: hampir separuh dari populasi mahasiswa adalah anggota organisasi ekstra, bahkan hampir 17% pernah menjadi pimpinan. Yang menarik, penelitian itu juga menyimpulkan: mahasiswa secara potensial bukanlah sumber keresahan. Keresahan yang terjadi lebih disebabkan oleh tekanan pengaruh dari luar, khususnya karena saluran untuk menyatakan pendapat kurang terbuka. Mahasiswa dapat juga resah kalau merasa hak-hak dan eksistensi mereka terancam dan kalau mereka merasa kebebasan mereka dibatasi. Kini, dari pendapat seperti yang diutarakan Rektor UI dan Menteri P & K Nugroho Notosusanto, nampak bahwa organisasi ekstra tak akan secara a priori dimusuhi. Yang jadi soal di masa depan barangkali bagaimana sesuatu yang konstruktif bisa lahir dan kondisi itu. Banyak pengamat memuji bahwa suasana kampus yang tenang kini bisa memberi banyak kesempatan untuk tekun. Tapi bukan berarti tanpa tanda yang menyedihkan. Seperti kata Dr. Sarlito Wirawan, ahli psikologi yang pernah meneliti kalangan muda di kampus itu, "Saya kasihan pada mahasiswa sekarang. Jiwa mereka kebanyakan miskin, sempit dan terbatas, tidak sekaya dulu. Sekarang banyak keterbatasan. Bahkan mau berkemah atau membuat majalah kampus saja susah." Ada yang didapat, tapi ada yang hilang, dan itu wajar. Tapi bila dari suasana riuh rendah yang ekstrim mahasiswa beralih ke sikap membisu yang ekstrim, tentu ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi. Memperbaiki hal itulah nampaknya tantangan organisasi mahasiswa, baik ekstra maupun intra, dan sejumlah menteri yang kini bertugas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus