HARI itu Guru Isa berangkat pagi-pagi, dengan motornya yang
berbunyi sember. Angin dan matahari bagus, tapi dia capek.
Lalu lintas Jakarta mulai meradang. Sejumlah kepundan
karbondioksida meletup. Guru Isa merasakan otot-ototnya linu.
Dia tahu dia semalam kurang tidur: memeriksa hasil ulangan 50
murid untuk kelas pagi, lalu 52 murid untuk kelas sore --
setelah tiga jam sebelumnya memberi les ilmu fisika.
Di persimpangan Palmerah, lampu lalu lintas menghentikannya. Ia
mengistirahatkan sarafnya sejenak. Tapi hatinya toh gelisah
melihat jam. Dia takut telat. Maka ketika lampu kembali menyala
hijau, ia memutar pegangan gasnya.
Motor itu bergerak ke depan. Tapi di saat itu mendadak sebuah
motor lain -- seperti kilatan nasib buruk -- menyambarnya.
Seseorang telah melanggar aturan, begitu pikirnya di detik itu.
Dari arah sana semua kendaraan semestinya berhenti, tapi
seseorang telah melanggar aturan.
Ototnya yang linu, matanya yang setengah berat, tiba-tiba
bertaut dengan suatu rasa tak berdaya yang terakhir. Guru Isa
roboh. Seluruh dunia di sekitarnya seakan serentak memekik,
bersamaan dengan datangnya gelap.
Tujuh hari lamanya Guru Isa terbaring di ranjang rumah sakit. Di
hari kedelapan ia meninggal, dengan otak yang gegar. Kita tak
tahu bagaimana orang-orang kecil dilindungi.
Siapakah yang menabraknya?
"Saya -- memang saya yang menabraknya."
Laki-laki itu menundukkan kepala. Di bawah potongan rambutnya
yang amat pendek wajahnya sebenarnya wajah yang tegas, tapi kali
ini ia seakan habis direndam es. Ia kini tahu siapa yang telah
ia celakakan: seorang guru, berumur 47 tahun, yang menanggung
empat anak yang harus dapat biaya buat pendaftaran sekolah.
Berarti pada saat ia roboh di aspal itu, seluruh masa depan
keluarga itu terjungkal.
"Memang saya yang menabraknya," suaranya lirih sekali.
Beberapa detik setelah tabrakan itu terjadi, laki-laki berambut
pendek itu segera meloncat dari sepeda motornya yang juga
ambruk. Ia menyingkirkan kendaraan itu ke tepi, lalu mendatangi
tubuh Guru Isa.
Orang-orang yang berkerumun -- menonton atau mencoba menolong --
memandanginya dengan tajam. Ia tak menatap balik. Ia sadar apa
vonnis yang telah dijatuhkan kepadanya. Sejenak ia ingin
menjelaskan, memberi dalih, membela diri atau yang semacam itu,
tapi kemudian ia lihat wajah pada tubuh yang terbaring di aspal
itu. Entah untuk mengelak, entah karena terkesiap, ia segera
bertindak.
Ia menyetop sebuah kolt yang lewat. Tubuh Guru Isa diangkatnya
ke sana. Lalu dengan motornya yang penyok ia ikuti mobil itu ke
rumah sakit.
Ia urus sang korban sampai rapi terbaring di sebuah sal yang
bersih. Dari KTP Guru Isa ia kemudian bisa menghubungi
keluarganya. Ia antar mereka ke kamar tempat tubuh Guru Isa tak
sadarkan diri. Ia ikut menunggui. Ia mencoba menghibur. Ia
berbuat segala-galanya -- kecuali mengakui, bahwa dialah si
penabrak.
Sampai akhirnya, karena sesuatu hal, rahasianya terbongkar --
hanya beberapa jam sebelum Guru Isa dinyatakan meninggal oleh
dokter.
Laki-laki itu pun berdiri lemas, oleh rasa malu, cemas dan rasa
berdosa sekaligus. Terutama ketika anak sulung sang korban,
pemuda berumur 17 tahun, berkata: "Bapak seorang polisi -- bapak
kok sampai melanggar lampu lalu lintas, lalu mencoba melepaskan
diri ...." Laki-laki itu tunduk. Ia ingin menjawab, tapi tak
bisa. Hanya rongga dadanya yang penuh statemen yang tak
terucapkan.
Benar, Nak. Saya seorang sersan polisi. Tapi saya juga mengenal
rasa takut untuk mengaku -- setelah kesalahan seperti itu.
Tahukah kau apa yang terjadi? Saya juga seperti bapakmu
almarhum. Saya punya tiga anak. Mereka juga harus bayar uang
pendaftaran sekolah. Pagi itu saya harus tergesa-gesa, supaya
bisa ke kantor cepat-cepat -- setelah semalaman melek. Saya jadi
penjaga malam, Nak ....Tanpa begitu, apa yang akan melindungi
keluarga saya?
Kita memang tak tahu bagaimana orang-orang kecil dilindungi, dan
bagaimana pula orang-orang kecil diciptakan. Adakah mereka
proyek percontohan kemalangan? Ataukah petunjuk adanya sikap
lalai dan kesewenang-wenangan di sekitarnya?
Syahdan Tolstoi pernah mendatangi mereka. Ia berikan segala yang
ia punya, sampai habis. Tapi orang-orang miskin itu tak habis.
Filantropi itu akhirnya hanya seakan memuji dirinya sendiri. Dan
di Rusia waktu itu orang pun kemudian menembakkan bedil
revolusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini