Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Orang kecil

Kita memang tak tahu bagaimana orang kecil dilindungi, dan bagaimana mereka diciptakan. apakah mereka proyek percontohan kemalangan, atau ada sikap lalai dan kesewenang-wenangan di sekitarnya.

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu Guru Isa berangkat pagi-pagi, dengan motornya yang berbunyi sember. Angin dan matahari bagus, tapi dia capek. Lalu lintas Jakarta mulai meradang. Sejumlah kepundan karbondioksida meletup. Guru Isa merasakan otot-ototnya linu. Dia tahu dia semalam kurang tidur: memeriksa hasil ulangan 50 murid untuk kelas pagi, lalu 52 murid untuk kelas sore -- setelah tiga jam sebelumnya memberi les ilmu fisika. Di persimpangan Palmerah, lampu lalu lintas menghentikannya. Ia mengistirahatkan sarafnya sejenak. Tapi hatinya toh gelisah melihat jam. Dia takut telat. Maka ketika lampu kembali menyala hijau, ia memutar pegangan gasnya. Motor itu bergerak ke depan. Tapi di saat itu mendadak sebuah motor lain -- seperti kilatan nasib buruk -- menyambarnya. Seseorang telah melanggar aturan, begitu pikirnya di detik itu. Dari arah sana semua kendaraan semestinya berhenti, tapi seseorang telah melanggar aturan. Ototnya yang linu, matanya yang setengah berat, tiba-tiba bertaut dengan suatu rasa tak berdaya yang terakhir. Guru Isa roboh. Seluruh dunia di sekitarnya seakan serentak memekik, bersamaan dengan datangnya gelap. Tujuh hari lamanya Guru Isa terbaring di ranjang rumah sakit. Di hari kedelapan ia meninggal, dengan otak yang gegar. Kita tak tahu bagaimana orang-orang kecil dilindungi. Siapakah yang menabraknya? "Saya -- memang saya yang menabraknya." Laki-laki itu menundukkan kepala. Di bawah potongan rambutnya yang amat pendek wajahnya sebenarnya wajah yang tegas, tapi kali ini ia seakan habis direndam es. Ia kini tahu siapa yang telah ia celakakan: seorang guru, berumur 47 tahun, yang menanggung empat anak yang harus dapat biaya buat pendaftaran sekolah. Berarti pada saat ia roboh di aspal itu, seluruh masa depan keluarga itu terjungkal. "Memang saya yang menabraknya," suaranya lirih sekali. Beberapa detik setelah tabrakan itu terjadi, laki-laki berambut pendek itu segera meloncat dari sepeda motornya yang juga ambruk. Ia menyingkirkan kendaraan itu ke tepi, lalu mendatangi tubuh Guru Isa. Orang-orang yang berkerumun -- menonton atau mencoba menolong -- memandanginya dengan tajam. Ia tak menatap balik. Ia sadar apa vonnis yang telah dijatuhkan kepadanya. Sejenak ia ingin menjelaskan, memberi dalih, membela diri atau yang semacam itu, tapi kemudian ia lihat wajah pada tubuh yang terbaring di aspal itu. Entah untuk mengelak, entah karena terkesiap, ia segera bertindak. Ia menyetop sebuah kolt yang lewat. Tubuh Guru Isa diangkatnya ke sana. Lalu dengan motornya yang penyok ia ikuti mobil itu ke rumah sakit. Ia urus sang korban sampai rapi terbaring di sebuah sal yang bersih. Dari KTP Guru Isa ia kemudian bisa menghubungi keluarganya. Ia antar mereka ke kamar tempat tubuh Guru Isa tak sadarkan diri. Ia ikut menunggui. Ia mencoba menghibur. Ia berbuat segala-galanya -- kecuali mengakui, bahwa dialah si penabrak. Sampai akhirnya, karena sesuatu hal, rahasianya terbongkar -- hanya beberapa jam sebelum Guru Isa dinyatakan meninggal oleh dokter. Laki-laki itu pun berdiri lemas, oleh rasa malu, cemas dan rasa berdosa sekaligus. Terutama ketika anak sulung sang korban, pemuda berumur 17 tahun, berkata: "Bapak seorang polisi -- bapak kok sampai melanggar lampu lalu lintas, lalu mencoba melepaskan diri ...." Laki-laki itu tunduk. Ia ingin menjawab, tapi tak bisa. Hanya rongga dadanya yang penuh statemen yang tak terucapkan. Benar, Nak. Saya seorang sersan polisi. Tapi saya juga mengenal rasa takut untuk mengaku -- setelah kesalahan seperti itu. Tahukah kau apa yang terjadi? Saya juga seperti bapakmu almarhum. Saya punya tiga anak. Mereka juga harus bayar uang pendaftaran sekolah. Pagi itu saya harus tergesa-gesa, supaya bisa ke kantor cepat-cepat -- setelah semalaman melek. Saya jadi penjaga malam, Nak ....Tanpa begitu, apa yang akan melindungi keluarga saya? Kita memang tak tahu bagaimana orang-orang kecil dilindungi, dan bagaimana pula orang-orang kecil diciptakan. Adakah mereka proyek percontohan kemalangan? Ataukah petunjuk adanya sikap lalai dan kesewenang-wenangan di sekitarnya? Syahdan Tolstoi pernah mendatangi mereka. Ia berikan segala yang ia punya, sampai habis. Tapi orang-orang miskin itu tak habis. Filantropi itu akhirnya hanya seakan memuji dirinya sendiri. Dan di Rusia waktu itu orang pun kemudian menembakkan bedil revolusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus