Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Babah Seng, Kuda Dan Kerbau

Pulau rote berpenduduk 76.000. penghidupan mereka bertani dan beternak hewan. perekonomian dikuasai orang tertentu, diantaranya babah seng yang memonopoli hasil pertanian dan peternakan penduduk.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROTE hanya sebuah pulau kecil terpencil nun di lintang paling selatan Nusantara ini. Meskipun demikian nama beberapa orang sarjana terkenal lahir di sini. Dua bersaudara Yohannes yang profesor, misalnya. Dulunya mereka itu belajar di SD beratap daun lontar dan dinding batu di sana. Tentu saja mereka maju, karena melanjutkan sekolah bukan di pulau terpencil berukuran 60 x 30 km itu. Dan mereka tak pernah kembali ke daerah kelahirannya. Sebab toh di sana tak ada sesuatu yang cocok atau dapat mereka perbuat. Perikehidupan di Rote hanya berkisar: bertani dan berkebun secara tradisionil -- di sawah atau di ladang mengolah nira dan gula lontar serta beternak hewan. Kecuali kehidupan kepegawaian, dunia perdagangan dan usaha dikuasai segelintir orang saja. Terkenal umpamanya babah Seng. Bukan saja karena rumah dan pabrik minyak kelapa serta kandang babinya beratap seng -- semacam lambang hidup berkecukupan di sini -- tapi juga lantaran dianggap sebagai juru selamat para petani kelapa. Sebab dari 1 1/2 juta batang kelapa yang ada di pulau ini -- seperduanya sudah berbuah -- mengalir ke pabrik sang babah ini. Dimonopoli, begitulah. Hingga harga kelapa pun dengan mudah dijungkir-balikkannya, tentu dengan dalih yang dibuatnya sendiri. "Waa, saya baru rugi Rp 5 juta karena harga kopra di Surabaya jatuh" -- begitu babah Seng dapat berucap kepada siapa saja. Maka para gadis remaja dan ibu-ibu yang menjual kelapanya tentu saja tak dapat berkutik di hadapan si Seng. Kalau Ada Hus Saja Padahal para wanita itu telah tertatih-tatih memikul sebanyak 10 hingga 15 kg kelapa dengan lelepak (kayu pemikul) di bahu dan tengkuknya dari jarak yang lumayan jauh: 20 sampai 40 km. Mereka harus puas menerima bayaran Rp 55 untuk tiap kg barang dagangan itu. Lalu begitu uang terselip di tangan, para remaja kemudian buru-buru menyerbu toko kelontong -- yang si empunya adalah sang babah jua adanya. Tapi cukup mengherankan juga kebiasaan para wanita Rote memikul kelapa itu. Sebab dengan penduduk hampir 76.000 pulau ini memiliki tak kurang dari 10.000 ekor kuda. Hewan-hewan ini hanya dibiarkan berkelana dari sabana ke sabana. Agaknya belum terfikirkan untuk memanfaatkan mereka sebagai pembawa beban, melintasi jarak puluhan km yang harus ditempuh dengan kaki telanjang. Hanya sesekali saja yaitu apabila ada Hus (pacuan kuda), kuda-kuda itu ditangkap untuk turut berlomba. Sebagaimana halnya kuda, kerbau di Rote tak berfungsi sebagai patner membajak sawah bagi petani. Padahal jumlahnya tercatat 18.876 ekor. Hewan yang satu ini biasanya digunakan di sawah dengan mengumpulkannya menjadi satu sebanyak 50 sampai 100 ekor di sepetak sawah. Dengan aba-aba tertentu, hewan-hewan itu menghentak-hentakkan kaki mereka, sampai tanah sawah hancur luluh, siap ditanam. Tetapi sastrawan Gerson Poyk, kelahiran pulau Rote dan yang mengirim laporan ini, juga dengan teliti mencatat angka-angka hewan peliharaan yang terdapat di seluruh pulau ini: sapi 26 ribu, babi 87 ribu, domba 123 ribu, kambing 85 ribu dan ayam lebih dari 200 ribu ekor. Tak pelak lagi pulau ini cukup kaya akan protein. Namun belum banyak terdengar usaha membenahinya secara rapi Di bidang pendidikan misalnya. Hampir semua gedung sekolah di pulau Rote tak ubahnya bagaikan kandang atau gudang, meskipun mutu pelajarannya dapat dibilang boleh juga. Terutama pada tingkat SD dan sekolah-sekolah Kristen. Dengan adanya SD Inpres, tak heran akhir-akhir ini mulai tampak gedung sekolah yang beratap seng, meskipun tetap berdinding bebak (pelepah gebang). Kalaupun ada yang berdinding papan, jangan heran kalau beberapa minggu kemudian terbaca merk sabun pada dinding sekolah Inpres itu. Jangan dikata pula "partisipasi" anak-anak sekolah sendiri dengan keharusan menyumbang pasir kepada pemborong yang membangun sekolah mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus