ROTE hanya sebuah pulau kecil terpencil nun di lintang paling
selatan Nusantara ini. Meskipun demikian nama beberapa orang
sarjana terkenal lahir di sini. Dua bersaudara Yohannes yang
profesor, misalnya. Dulunya mereka itu belajar di SD beratap
daun lontar dan dinding batu di sana. Tentu saja mereka maju,
karena melanjutkan sekolah bukan di pulau terpencil berukuran 60
x 30 km itu. Dan mereka tak pernah kembali ke daerah
kelahirannya. Sebab toh di sana tak ada sesuatu yang cocok atau
dapat mereka perbuat.
Perikehidupan di Rote hanya berkisar: bertani dan berkebun
secara tradisionil -- di sawah atau di ladang mengolah nira dan
gula lontar serta beternak hewan. Kecuali kehidupan kepegawaian,
dunia perdagangan dan usaha dikuasai segelintir orang saja.
Terkenal umpamanya babah Seng. Bukan saja karena rumah dan
pabrik minyak kelapa serta kandang babinya beratap seng --
semacam lambang hidup berkecukupan di sini -- tapi juga lantaran
dianggap sebagai juru selamat para petani kelapa. Sebab dari 1
1/2 juta batang kelapa yang ada di pulau ini -- seperduanya
sudah berbuah -- mengalir ke pabrik sang babah ini. Dimonopoli,
begitulah. Hingga harga kelapa pun dengan mudah
dijungkir-balikkannya, tentu dengan dalih yang dibuatnya
sendiri. "Waa, saya baru rugi Rp 5 juta karena harga kopra di
Surabaya jatuh" -- begitu babah Seng dapat berucap kepada siapa
saja. Maka para gadis remaja dan ibu-ibu yang menjual kelapanya
tentu saja tak dapat berkutik di hadapan si Seng.
Kalau Ada Hus Saja
Padahal para wanita itu telah tertatih-tatih memikul sebanyak 10
hingga 15 kg kelapa dengan lelepak (kayu pemikul) di bahu dan
tengkuknya dari jarak yang lumayan jauh: 20 sampai 40 km. Mereka
harus puas menerima bayaran Rp 55 untuk tiap kg barang dagangan
itu. Lalu begitu uang terselip di tangan, para remaja kemudian
buru-buru menyerbu toko kelontong -- yang si empunya adalah
sang babah jua adanya. Tapi cukup mengherankan juga kebiasaan
para wanita Rote memikul kelapa itu. Sebab dengan penduduk
hampir 76.000 pulau ini memiliki tak kurang dari 10.000 ekor
kuda. Hewan-hewan ini hanya dibiarkan berkelana dari sabana ke
sabana. Agaknya belum terfikirkan untuk memanfaatkan mereka
sebagai pembawa beban, melintasi jarak puluhan km yang harus
ditempuh dengan kaki telanjang. Hanya sesekali saja yaitu
apabila ada Hus (pacuan kuda), kuda-kuda itu ditangkap untuk
turut berlomba.
Sebagaimana halnya kuda, kerbau di Rote tak berfungsi sebagai
patner membajak sawah bagi petani. Padahal jumlahnya tercatat
18.876 ekor. Hewan yang satu ini biasanya digunakan di sawah
dengan mengumpulkannya menjadi satu sebanyak 50 sampai 100 ekor
di sepetak sawah. Dengan aba-aba tertentu, hewan-hewan itu
menghentak-hentakkan kaki mereka, sampai tanah sawah hancur
luluh, siap ditanam. Tetapi sastrawan Gerson Poyk, kelahiran
pulau Rote dan yang mengirim laporan ini, juga dengan teliti
mencatat angka-angka hewan peliharaan yang terdapat di seluruh
pulau ini: sapi 26 ribu, babi 87 ribu, domba 123 ribu, kambing
85 ribu dan ayam lebih dari 200 ribu ekor. Tak pelak lagi pulau
ini cukup kaya akan protein. Namun belum banyak terdengar usaha
membenahinya secara rapi
Di bidang pendidikan misalnya. Hampir semua gedung sekolah di
pulau Rote tak ubahnya bagaikan kandang atau gudang, meskipun
mutu pelajarannya dapat dibilang boleh juga. Terutama pada
tingkat SD dan sekolah-sekolah Kristen. Dengan adanya SD Inpres,
tak heran akhir-akhir ini mulai tampak gedung sekolah yang
beratap seng, meskipun tetap berdinding bebak (pelepah gebang).
Kalaupun ada yang berdinding papan, jangan heran kalau beberapa
minggu kemudian terbaca merk sabun pada dinding sekolah Inpres
itu. Jangan dikata pula "partisipasi" anak-anak sekolah sendiri
dengan keharusan menyumbang pasir kepada pemborong yang
membangun sekolah mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini